Persoalan pembatalan ini sebenarnya tidak perlu menjadi kegaduhan, seandainya hal tentang Abu Bakar Ba’asyir tidak menjadi politisasi untuk meraih suara dengan memanfaatkan simpati dan dukungan umat Islam yang mendukung pembebasan tersebut.
Nasi sudah menjadi basi, sekarang bola opini telah berubah arah menjadi blunder, karena masyarakat juga telah membaca dan mengetahui, sebelumnya setelah presiden menyatakan akan membebaskan Abu Bakar Ba’asyir demi alasan kemanusiaan, pihak Australia telah menyatakan keberatannya, hingga akhirnya menkopolhukam melakukan press realease-nya bahwa pembebasan Abu Bakar Ba’asyir dikaji ulang.
Bagi pemerintah mungkin bisa saja membiarkan blunder ini dan berharap masyarakat melupakan hal ini secepatnya, namaun memori masyarakat seperti menemukan catatan yang lain, pembebasan Abu Bakar Ba’asyir mengingatkan tentang pemberian harapan palsu kepada Mahfud MD dimenit-menit akhir pengumuman cawapres bahkan dikabarkan Mahfud MD sudah melakukan jahit baju yang sama dengan Calon Presiden.
Belum lagi, ingatan tentang PHP (Pemberian Harapan Palsu) yang dilakukan kepada petani Ponorogo dengan pemberian ratusan mesin traktor, yang akhirnya ditarik kembali.
PHP bisa menjadi sebuah kebiasaan dari karakter diri, apabila itu dilakukan dengan mudah secara berulang-ulang, alasan belum ada koordinasi ataupun tekanan dari pihak luar seharusnya menjadi kajian sebelum memberikan PHP sehingga Presiden bukan seperti boneka yang akhirnya menjalankan kebijakan grasa-grusu seperti kata Menkopolhukan Wiranto.
Untuk sebuah kontestasi pilpres, deretan aksi PHP ini, seharusnya menjadi catatan tentang sosok pemimpin yang akan dipilih pada 17 April 2019, apakah akan tetap memilih calon presiden yang grasa grusu dan minim kajian sehingga dengan mudah melakukan aksi yang berbau PHP?
Kalau saya tentu tidak, anda?
(bang dw)