Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, berdalih pihaknya tak dapat membuka 84 kardus yang berisikan uang karena khawatir mengubah bentuk barang bukti. KPK juga mohon pengertian masyarakat atas prosedur hukum yang ada.
"Amplop-amplop di dalam kardus yang ada tadi dalam posisi dilem. Untuk mengubahnya dibutuhkan berita acara karena ada prosedur mengubah barang bukti. Nanti kalau majelis hakim di persidangan membutuhkan untuk dipersilakan dibuka, maka akan dilakukan," kata Febri saat diminta awak media membuka amplop-amplop dalam kardus tersebut saat konferensi pers di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Maret 2019.
Konferensi pers mulanya diumumkan dan dijelaskan oleh Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan. Namun, ketika diminta untuk membuka uang-uang beramplop yang ada dalam kardus yang disita oleh pihaknya, jubir KPK yang angkat bicara.
Awak media mencurigai bahwa amplop-amplop dalam kardus tersebut berkaitan dengan Pilpres 2019. Hal ini mengingat jumlahnya yang sangat banyak.
Namun, Basaria Panjaitan memastikan tak ada stempel ataupun jap jempol yang mengarahkan untuk masyarakat pilih capres dan cawapres tertentu di bagian luar amplop tersebut. Basaria maupun Febri mengklaim sudah melihat isi dalam kardus tersebut.
Tapi, karena penyidik yang sita kardus-kardus tersebut tak ikut konferensi pers, maka kata Febri, tak diperkenankan untuk dibuka depan umum.
"Tapi saya pastikan tidak ada stempel atau jap jempol di amplop," kata Basaria.
Namun, pengamatan wartawan, saat diperlihatkan sebagian amplop-amplop yang turut disita KPK bukan dalam kardus terlihat tanda cap ujung jempol warna hijau di sisi luar amplopnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso dan anak buahnya dari PT Inersia, Indung, selaku tersangka suap distribusi pupuk.
Selain Bowo dan Indung, tim KPK juga menjerat Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia, Asty Winasti sebagai tersangka. Para pihak tersebut ditetapkan sebagai tersangka setelah diperiksa intensif seusai diciduk dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu, 27 Maret 2019 hingga Kamis dini hari, 28 Maret 2019.
Basaria memaparkan, kasus ini bermula saat PT Humpuss Transportasi Kimia berupaya kembali menjalin kerja sama dengan PT Pupuk Indonesia Logistik untuk distribusikan pupuk PT Pupuk Indonesia menggunakan kapal-kapal PT Humpuss Transportasi Kimia. Untuk merealisasikan hal ini, PT Humpuss minta bantuan Bowo Sidik Pangarso selaku pemilik PT Inersia.
"Pada tanggal 26 Februari 2019 dilakukan MoU antara PT Pilog dengan PT HTK (Humpuss Transportasi Kimia). Salah satu materi MoU tersebut adalah pengangkutan kapal milik PT HTK yang digunakan oleh PT Pupuk Indonesia," ujar Basaria.
Atas bantuannya tersebut, Bowo meminta komitmen fee kepada PT Humpuss Transportasi Kimia atas biaya angkut yang diterima sejumlah US$ 2 per metric ton.
Untuk merealisasikan komitmen fee ini, Asty memberikan uang sebesar Rp89,4 juta kepada Bowo melalui Indung di kantor PT Humpuss Transportasi Kimia di Gedung Granadi, Rabu, 27 Maret 2019.
Setelah proses transaksi, tim KPK membekuk keduanya. Suap ini bukan yang pertama diterima Bowo dari pihak PT Humpuss Transportasi Kimia. Sebelumnya kata Basaria, Bowo sudah terima sekitar Rp221 juta dan US$85.130 dalam enam kali pemberian di berbagai tempat, seperti rumah sakit, hotel dan kantor PT Humpuss Transportasi Kimia.
"Uang diterima tersebut diduga telah diubah menjadi pecahan Rp50 ribu dan Rp20 ribu seperti ditemukan tim KPK dalam amplop-amplop di sebuah kantor di Jakarta," kata Basaria.
Selain dari Humpuss, KPK menduga Bowo juga menerima uang dari pihak lain. Saat OTT kemarin, tim KPK menyita uang sekitar Rp8 miliar yang disimpan dalam 84 kardus.
"Hasil pemeriksaan, BSP mengaku amplop-amplop itu untuk dia mencalonkan diri kembali. Istilahnya sebagai serangan fajar," kata Basaria.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Bowo dan Indung disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat (1) ke-1 KUHP. [vva]