Musababnya, ujar Ikrama, selisih elektabilitas Jokowi dan Prabowo saat ini, tak lebih besar dari angka golput 2014. “Angka golput 2014 sebesar 30,42 persen. Sementara selisih elektabilitas dua paslon ini 27,8 persen,” ujar Ikrama di kantornya, Jalan Pemuda, Jakarta Timur pada Selasa, 19 Maret 2019.
LSI memprediksi, angka golput dalam pemilihan presiden 2019 ini meningkat daripada pilpres 2014. Prediksi itu berdasarkan hasil sigi LSI yang menunjukkan kurang lebih sebulan menjelang pemilihan presiden 2019, pemilih yang tahu pelaksanaan pilpres akan dilaksanakan pada bulan April 2019 hanya sebesar 65,2 persen.
Dari mereka yang tahu bahwa pilpres akan dilaksanakan April 2019, sebesar 75,8 persen bisa menjawab dengan benar bahwa tanggal pelaksanaan pilpres adalah 17 April 2019.
“Artinya jika ditotal secara populasi, hanya 49,4 persen dari pemilih Indonesia yang terinformasi dan menjawab dengan benar bahwa pelaksanaan pilpres dan pileg dilangsungkan pada tanggal 17 April 2019,” ujar Ikrama.
Selain minimnya informasi, menguatnya sentimen politik identitas dan hoaks diprediksi semakin menambah angka golput dalam pilpres 2019 ini.
“Pemilih jenuh akan polarisasi yang terjadi, sehingga kecenderungan golput semakin tinggi,” ujar Ikrama.
Survei LSI Denny JA menunjukkan bahwa pemilih pasangan Prabowo-Sandi lebih militan dibanding pemilih Jokowi-Maruf. Mereka ingin datang ke TPS karena merasa suaranya penting untuk menggagalkan Jokowi – Ma’ruf menjabat kembali. “Jadi, PR kubu Jokowi saat ini adalah meningkatkan partisipasi masyarakat,” ujar Ikrama. [tco]