Menurut Dr Suwardi Endraswara M.Hum, kategori kepemimpinan Jawa terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1) nistha, 2) madya, dan 3) utama. Nah, bagaimana dengan kedua Capres ini menjelang sebulan pemungutan suara?
Kasat mata publik bisa menilai keduanya. Dari peristiwa kedua capres menemui massa ini, maka sangat jelas Jokowi memasuki kepemimpinan nistha. Kepemimpinan yang dihinakan, dan terhina. Terhina dan dihinakan oleh rakyatnya sendiri yang dipimpinnya selama hampir lima tahun ini. Masih lekat dalam ingatan penulis, Jokowi di Bangkalan disuruh mole atau pulang saja, rakyat Madura tidak mau ditemui Jokowi yang masih presiden dan mencalonkan kembali di Pilpres 2019. Kemudian berlanjut pada deklarasi di Pekanbaru, acara Start-up di Jakarta yang ada malah kursi kosong. Bahkan, untuk menghindari rasa “hina” itu, kursi kosong terpaksa disingkirkan Paspampres agar terlihat penuh.
Keadaan hina ini terus berlanjut hingga kemarin rencana pencitraan Jokowi bersama Si Doel Rano Karno dan Mandra, batal karena sepinya massa. Seharusnya, pagi hari Rabu 13 Maret 2019, Jokowi melakukan kampanye – baca : pencitraan – di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan. Sesuai skenario, Jokowi akan datang ke Pasar Ciputat naik oplet bersama Rano Karno dan Mandra (pemeran utama sinetron Si Doel Anak Betawi) Sesuai susunan acara, pada jam 9 pagi, Jokowi mulai naik oplet disupiri Rano Karno (Si Doel) didampingi Mandra sebagai kernet. Di Pasar Ciputat, Jokowi dan rombongan akan mengecek harga sembako, setelah itu makan di warung sambil bikin vlog. Kemudian melanjutkan naik oplet ke Ramayana, Ciputat.
Ternyata.. ??!! Acara tersebut dibatalkan secara sepihak oleh Jokowi. Menurut, panitia lapangan, Jokowi ada acara lain di Bekasi, untuk peresmian ability hub di Telagamurni (stasiun KRL) namun juga tidak jelas. Siangnya, diketahui Jokowi hadir di Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2019 di JI-Expo Kemayoran, Jakarta.
Kenyataan “hina” ini di mana-mana kunjungan Jokowi lebih sering diteriaki dengan salam dua jari. Konon, Jokowi sampai tidak berani membuka kompetisi sepakbola Liga Indonesia, hanya karena takutnya massa yang “beringas” meneriakinya dengan Prabowo. Dan, kenyataannya begitu, Ridwan Kamil yang hadir di Stadion Jalak Harupat Bandung sebagai Gubernur Jawa Barat yang sekubu dengan Jokowi diteriaki “Prabowo, Prabowo, Prabowo …”, sampai-sampai pria yang biasa murah senyum itu cemberut hingga 2 x 45 menit pertandingan usai. Terakhir malam tadi (13/3), Jokowi yang hadir meresmikan Pasar Ikan Modern di Muara Baru, Jakarta Utara disambut dengan teriakan Prabowo lengkap dengan acungan dua jarinya.
Mengamati keadaan ini, Jokowi yang orang Jawa itu sama sekali tidak mengerti keutamaan pemimpin Jawa yang membuatnya banyak disukai oleh rakyat, tapi malah dihinakan oleh rakyat. Karena, Jokowi tidak memegang erat kepemimpinan Jawa sejati yang selalu memegang teguh nilai-nilai: (1) jujur, artinya penuh dedikasi dan ada niat tidak membohongi rakyat, berniat membohongi rakyat pun tidak. Lalu apa yang terjadi dalam kepemimpinan Jokowi ini? Rakyat disuguhi kebohongan terus menerus, mulai dari mobnas Esemka, janji tidak impor pangan malah impor besar-besaran di saat petaninya panen raya, janji tidak menaikkan TDL tapi kenyataannya naik, bahkan di medsos dua tahun lalu sudah ada 66 janji Jokowi yang tidak dipenuhi. Terakhir, Siti Aisah yang bebas oleh pengadilan Malaysia karena secara hukum tidak terbukti terlibat pembunuhan saudara PM Korea Utara diakunya sebagai jerih payahnya yang kemudian dibantah PM Malaysia Mahathir Muhammad.
Jokowi tidak memegang sifat kepemimpinan Jawa sejati yang harus (2) wani, artinya diketengahkan bahwa kepemimpinan Jawa sejati setidaknya berani bertanggung jawa atas segala perbuatannya, ironisnya yang ada hanya menyalahkan menterinya atau bawahannya. (3) temen (serius, beneran atau berkomitmen), artinya tidak ingkar janji, pemimpin yang terlalu banyak mengobral janji, akan melahirkan janji palsu.
Seharusnya disadari pemimpin yang sering ingkar janji, selamanya akan cidera secara politik dan sosial. Jokowi hanya lamis (purahpura), tidak menyatakan yang sebenarnya, menyatakan hebat, ternyata bohong. Bagitulah sikap Jokowi yang penuh dengan “minyak air”, hanya kata-kata yang licin, lalu membangun pencitraan konyol. Dia jelas tidak memiliki profesi sebagai pimpinan yang handal. Pimpinan nistha adalah yang paling banyak dibenci orang, nampaknya inilah yang muncul ke permukaan dan disajikan langsung di hadapan wajah Jokowi.
Menurut Babad Tanah Jawa, pemimpin yang tergolong nistha, adalah biasanya ingin menyunat hak-hak kekayaan rakyat dengan aneka dalih dan cara. Pemimpin nistha tersebut banyak dalih (julig) dan alibi betubi-tubi. Dia pandai bersilat lidah, seakan-akan bisa merebut hati rakyat, padahal ada pamrih. Pemimpin tipe ini hanya akan berpotensi menyengsarakan rakyat terus-menerus. Dari sini, dapat kita teropong jauh –bagaimana pemimpin bangsa yang sedang bergulir ini.
*Prabowo : Bawaleksana*
Sebaliknya, Capres 02 Prabowo Subianto dielu-elukan di mana-mana. Prabowo selalu disambut dengan lautan manusia. Rakyat belakangan menyadari pada sosok Prabowo makin terlihat adanya keutamaan pemimpin, sehingga banyak disukai oleh rakyat. Nampaknya, Prabowo memahami sekali pemimpin utama dalam falsafah kepemimpinan Jawa, untuk tidak jatuh pada kenistaan seperti yang dialami Jokowi. Padahal, selama ini hantaman fitnah, serangan dialamatkan secara pribadi kepada Prabowo yang akhirnya rakyatlah yang membelanya. Ketika diserang Jokowi dalam debat kedua sebagai pemilik lahan 340 ribu hektar itu adalah “dosa”, ternyata rakyat yang menikmati manfaat dari pengabdian Prabowo itu yang membelanya. Ketika Prabowo dituding sebagai pelanggar HAM dan penculik, korban penculikan seperti Pius Lustrilanang lah yang membelanya.
Pimpinan utama jauh lebih membahagiakan rakyat. Pimpinan tersebut akan dihormati, dan dijaga keselamatannya oleh rakyat. Ketika pimpinan tersebut turun ke bawah, meninjau ke desa-desa, yang termasuk utama tidak perlu dipagar betis, rakyat akan menjaga dengan sendirinya.
Prabowo semakin terlihat oleh rakyat memiliki ciri bersikap berbudi bawaleksana (bowoleksono). Artinya, mau memberikan sesuatu kepada rakyat secara iklas lahir batin. Seperti almarhum KH Abdurrahman Wahid menyatakan; “…. yang paling ikhlas Prabowo,” tak mengharapkan apa-apa dari rakyat, kecuali hanya pengabdian yang sesuai kewajibannya. Bahkan, dengan tegas Prabowo nyatakan; akan mewakafkan hidupnya untuk bangsa dan negara ini.
Kontestasi Pilpres 2019 ini pemilih dihadapkan pada pilihan yang sudah sangat jelas, antara Kepemimpinan Nistha dan Kepemimpinan Utama. Sudah nyata, jika sebelum menjadi pimpinan, pada saat kampanye mengobral janji muluk-muluk – setelah memimpin tidak bisa membuktikan. Sudah sepantasnya bangsa ini memiliki pimpinan yang sudah meraih derajat utama, bukan pimpinan yang nyata hina menjadi sampah masyarakat.-end
*) Penulis, Pemerhati Ruang Publik