Edisi 25-06-2019 KORAN SINDO
Penegakan Hukum: Makar dan Ormas Terlarang
Diterbitkannya SK Men kopolhukam Nomor 38/2019 tentang Tim Asisten si Hukum memiliki makna dan tujuan bagi penguatan penegakan hukum terhadap opera siona lisasi aparatur penegak hukum.
Persepsi yang terkandung pa da niat pemerintah adalah memberikan rasa kenyamanan pada masyarakat, arah ketertiban umum yang layak, yang ke semuanya tetap berlandaskan pada sendi dan basis sebagai negara hu kum, yaitutetapmemberikanaten sipa - da due process of law se ba gi pendekatan hokum (legalapproach). Meski ini juga menuai ke berat an dari kajian masyarakat si - pil, yaitu suatu proses de mo kra - tisasi terhadap prinsip ke be basan berekspresi yang justru mewu judkan tindakan yang tidak po puler berupa pendekatan kekuasaan yang represif (power approach). Tampak adanya sua tu perbedaan paradigma antara kodifikasi terhadap peng gu naan aturan positif berupa antara lain ketentuan “makar”, yang da lam literaturan perundangan aslinya di sebut sebagai “aanslag “.
Selain itu, polemik aktivitas ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) terkait Penerbitan Perp - pu Nomor 2/2017 atas Per - ubah an UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakat an (Ormas) tidaklah muncul searah polemik sistem negara khilafah dari HTI, tetapi meng - ubah wajah UU Nomor 17/2013 yang terkesan sebagai administrative rules menjadi suatu atur - an campuran sebagai admi nis - tra tive penal law dengan ber - basis awal pada aturan yang pre - ventif, sebagai kekuatan ber - imbang dari produk regulasi ba - gi penanggulangan ancaman kedaulatan negara. Pemberlakuan Perppu Or - mas sebagai inisiatif dari pe me - rintah ini sudah diterima oleh DPR pada 24 Oktober 2017 yang kemudian disahkan men - jadi UU Nomor 16/2017.
Jadi ke hendak adanya perubahan me lalui Perppu Ormas ini tidak saja berbasis pada hukum pi da - na, tetapi juga berkaitan dengan facet hukum tata negara dan hu - kum administrasi negara de ng - an memperhatikan sisi HAM. Ada dua hal menarik untuk dapat disinggung dalam pe nu li - san ini, yaitu pertama, per masalah an “makar” pascapilpres (dan putusan Mahkamah Kon s - ti tusi) serta implementasinya da lam kehidupan yudisialnya. Kedua, permasalahan HTI se ba - gai ormas dengan segala akti vi - tas berkelanjutan pascapembubar an. Artinya kedua wacana yang menjadikan suatu perkara hukum dengan bungkus po le - mik politik.
Makar dan Penegakan Hukum
Pendekatan objektif dan hukum terhadap permasalahan ma kar menjadi basis kehadiran negara terhadap permasalahan ini. Objek dari istilah “makar” itu sendiri diatur dalam Bab I Buku II KUH Pidana tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara, dan khusus yang di lakukan dengan maksud menggu lingkan pemerintahan (pasal 107 KUHP). Dan, penafsiran oten tik terhadap pasal 87 KUHP hanyalah meletakkan per syaratan terhadap suatu per - buatan yang dapat di ka ta kan “ma kar”, yaitu adanya sua tu “niat” yang diwujudkan da lam sua tu bentuk “permulaan pe lak - sanaan” sebagaimana hal nya de - ngan bentuk “permulaan pe lak - sa naan” yang diatur pada Pasal 53 KUHP tentang Percoba an.
“Niat” itu merupakan ke - hen dak seseorang tersebut yang sifatnya abstraktif, luas, bahkan jarang diketahui de - ngan kasatmata biasa yang di - sam paikan oleh orang tersebut (subjektif). Sementara niat juga dari yang diketahui dan terlihat oleh orang lain sebagai per buat - an yang ditujukan dari niat itu sendiri (objektif). Begitu pula “permulaan pelaksanaan” dari sisi subjektif sebagai niat de - ngan kepastian untuk me la ku - kan tindak pidana tersebut. Se - dangkan dari pemahaman ob - jek tif, permulaan pelaksanaan da pat diukur dari perbuatan yang mendekati potensi ter ja di - nya tindak pidana.
Dari fenomena-fenomena peristiwa yang terjadi pas ca pil - pres ini berupa ajakan me la ku - kan people power yang di la ku - kan dengan cara-cara antara lain mendelegitimasi lembaga negara formal, seperti KPU, mengepung Bawaslu, mengua sai Istana Negara, melakukan re vo - lusi atau perbuatan-perbuatan lain dengan cara-cara inkons ti - tusional, bahkan seruan-se ru - an yang subjektif, tidak kons - truktif, tidak zakelijk , tidak so - pan/kasar dapatlah dikatakan sebagai definitif makar dalam pemahaman hukum dan Pasal 107 KUHP. Karena itu pe me riksaan dan penetapan tersangka terhadap Kivlan Zen, Eggy Sujana dan lain-lain ada lah se suatu yang wajar dalam pene gak an hukum yang berbasis due process of law, terlepas adanya suatu perbeda - an pen dapat. Nanti menjadi oto - ritas peng adilan yudisial untuk menentukan putusannya.
HTI Pascapembubaran
Perlu dipahami bahwa se ca ra universal, ancaman terhadap kedaulatan negara haruslah di - arti kan sebagai kejahatan se rius, se lain diartikan secara ma sif se - bagai kejahatan luar biasa. De ng - an pemahaman sebagai keja hat - an serius dan luar biasa inilah, per lu suatu kebijakan dan kewe - na ng an negara untuk menang - gu langi ancaman kedaulatan yang imperatif sifat nya, suatu keharusan yang tak tertunda, se - hingga negara da pat mem be ri - kan jaminan ke aman an bagi ma - syarakat danna sionalsecara luas.
Dengan memajukan muka baru terkait dengan penegakan hu kum, khususnya melalui bab mengenai sanksi pidana, maka Polri akan menempatkan diri dalam mengawal ormas dalam bentuk apapun yang dalam rea - litas dan kegiatannya telah ber - tentangan dan tidak mengakui eksistensi sistem Pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai ke ta ta - negaraan NKRI . Dengan demikian, ketentuan UU Ormas baru ini dibuat de - ngan pendekatan preventif se - ba gai bentuk kontribusi re gulasi ke dalamnya, sehingga pen de - kat an ini memerlukan beberapa atensi sebagaimana dimaknai di bawah ini . Pertama, seluruh kehidupan kom ponen bangsa dan negara Indonesia, telah berkonsensus dan menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia ber - dasar Pancasila dan UUD 1945.
Perlu dipahami bahwa ancaman radikalisme lokal maupun glo bal yang menolak sistem Pan ca sila untuk memecah kebinekaan dalam sistem negara Pan ca sila tentunya sangat meng gang gu, mengancam kedaulatan ne gara dan merupakan kejahatan serius serta luar biasa sifatnya. Kedua, UU Ormas baru ini me rupakan karakter pen de katanpreventifyangmenjadiacu an, mengingat ternyata pendekatan administratif terhadap UU Ormas tidak dapat dika ta kan sebagai satu-satunya cara untuk mencegah ormas yang di dalam realitas, dan kegiatannya justru bertentangan dengan sis tem negara Pancasila dan UUD 1945. Penerapan sanksi adminis - tra tif melalui Pasal 61 ayat 1 huruf c UU Ormas (pencabutan surat keterangan terdaftar atau pen cabutan status badan hu - kum) adalah sesuai asas Contrarius Actus dalam hukum ad mi - nis trasi.
Sanksi administratif ber jenjang ini diperlukan dan diberlakukan secara umum ter - ha dap semua ormas yang dalam realitas dan kegiatannya ber tentangan dengan sistem ne gar a PancasiladanUUD1945, de ng an tetap memberikan hak ke pa da ormas untuk meng gunakan upaya berdasarkan hu kum me la lui sarana peradilan administrasi (PTUN) maupun Mah ka mah Konstitusi yang te lah men g uji konstitusionalitas perppu ini. Jadi, sarana dan sanksi ad mi - nistratif dari UU ini pun mem - berikan basis perlindungan HAM bagi ormas. UU Ormas ini hanya memberikan lan das an implementasi terhadap tindakan preventif dari ormas yang da - lam kegiatannya ber tentangan dengan tidak meng akui kehi - dup an sistem negara Pancasila dan UUD 1945 dari NKRI.
Atas dasar pertimbangan ter - sebut, segala kegiatan yang tidak me ngakuieksistensiPancasiladan UUD 1945, seperti larangan dan pembubaran HTI, seharusnya masih ranah penegakan hu kum dan dalam rangka meme li hara keamanan dan ketertiban umum atasancamankedaulatannegara. Pertanyaan dari kalangan praktisi maupun akademisi, se - bagai ormas HTI sudah di bu - bar kan, lalu apakah boleh me la - ku kan kegiatan-kegiatan (ter - masuk melakukan posting da - ring) tentang peran HTI di media-media daring? Tentang subjek pelaku ter - can tum pada Pasal 82A yang me nyebutkan “setiap orang” yang menjadi anggota dan atau pengurus ormas, artinya apa - kah si pelaku bisa dianggap se - bagai subjek pelaku dari ang - gota/pengurus HTI, sedangkan HTI sebagai ormas telah dibu - bar kan.
Jika subjek (yang me la - ku kan posting) tetap mengaku se bagai anggota HTI, maka pe - laku secara langsung atau tidak langsung masih menganggap berstatus HTI sebagai subjek pelaku, walaupun kenya ta an - nya status hukum HTI sudah di - bubarkan. Dan, jika substansi posting mengandung gangguan ketenteraman dan ketertiban umum, maka selayaknya pelaku dianggap melanggar UU Nomor 16/2017 dalam pemahaman kon tekstual Pasal 82A ayat 1 jo Pa sal 59 ayat 3 huruf cj yaitu me - la kukan tindakan mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum (pidana paling singkat 6 bulan dan paling lama 1 tahun).
Dengan demikian, per buat - an siapa pun yang dengan se - ngaja mengatasnamakan suatu organisasi masyarakat yang terlarang dan sudah dibu bar - kan, baik langsung atau tidak lang sung, mengganggu ke tertib an umum, apalagi mela ku - kan perbuatan yang mengan - dung suatu penghinaan adalah strafbaar sifatnya. Filosofi terpenting ini ada - lah menjaga kedaulatan negara dari kegiatan keormasan yang realitasnya bertentangan de ng - an Pancasila dan UUD 1945 da - lam bingkai NKRI.
Tentunya ini sebagai basis pencegahan detek si dini secara bertanggung ja wab dan bersifat univer sa li - tas, sehingga setiap pelang garan hukum haruslah dimaknai cul pae poena par esto, suatu peng h ukuman yang setimpal dengan pelanggarannya.
INDRIYANTO SENO ADJI
Guru Besar Hukum Pidana, Pengajar Program Pascasarjana Studi Ilmu Hukum UI