Jumat 28 Juni 2019, 13:35 WIB
Kolom
Saatnya "Rujuk Politik" Jokowi-Prabowo
Jakarta -
Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan perkara sengketa hasil Pilpres 2019, Kamis (27/6) malam. MK menolak seluruh permohonan yang diajukan pemohon yakni Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi. Seiring dengan putusan MK Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah dapat menetapkan presiden terpilih.
Kendati demikian, usai palu diketuk MK, satu hal lagi yang ditunggu oleh publik adalah upaya kedua kubu melakukan rekonsiliasi atau "islah politik". Rujuk politik tersebut penting karena bisa menjadi oase di tengah kepenatan politik dan ingar-bingar polarisasi yang terus menyembul belakangan.
Nasiruddin Zuhri dalam Ensiklopedi Religi (2015) mengertikan "islah" sebagai perdamaian dan menyelesaikan pertikaian. Sedangkan dalam Bahasa Arab modern, islah digunakan untuk pengertian pembaruan atau memperbarui hubungan. Dalam konteks ini, islah politik bisa dimaknai sebagai upaya menyatukan kembali dua kelompok yang bersitegang dalam sebuah kompetisi politik.
Dalam praktiknya, islah politik akan mudah terjadi ketika ada pihak ketiga yang menengahinya. Jika dikaitkan dengan pertarungan elektoral Pilpres 2019, maka MK bisa diibaratkan pihak ketiga itu. Sebagai pihak ketiga, MK telah membuat keputusan berdasarkan prosedur dan alat bukti yang sahih. Keputusan MK bersifat final dan mengikat sehingga semua kelompok yang bersengketa mau tidak mau harus mematuhinya.
Karenanya, secara substansial, hasil putusan MK menjadi titik tolak meleburnya dua poros pendukung 01 dan 02 sebagai upaya menjaga stabilitas dan suasana batin kebangsaan yang dalam beberapa bulan terakhir terus terkoyak dengan riuh-rendah kebisingan politik.
Tentu upaya meleburnya dua poros pendukung Pilpres 2019 itu harus didukung dengan adanya islah politik di antara elite politik, khususnya Jokowi dan Prabowo, sebagai tokoh sentral dari kontestasi pilpres. Lantas pertanyaannya, sejauh mana potensi islah politik itu akan terjadi?
Tentu upaya meleburnya dua poros pendukung Pilpres 2019 itu harus didukung dengan adanya islah politik di antara elite politik, khususnya Jokowi dan Prabowo, sebagai tokoh sentral dari kontestasi pilpres. Lantas pertanyaannya, sejauh mana potensi islah politik itu akan terjadi?
Potensi Islah
Tanda-tanda alam ihwal adanya islah politik sebenarnya sudah terlihat. Presiden Jokowi saat kunjungan kerja di Bali, 15 Juni lalu misalnya, memberikan pesan teduh dengan mengatakan, "Saya siap selalu melakukan rekonsiliasi kapan dan di mana saja." Ungkapan Jokowi itu seolah gayung bersambut dengan apa yang disampaikan Prabowo melalui tayangan video, 11 Juni dengan menyampaikan, "Saya dan Sandiaga memohon agar pendukung kami tidak berbondong-bondong hadir di MK pada hari-hari mendatang. Kami sama sekali tidak ingin ada kerusuhan apapun di negeri ini."
Tak hanya itu, usai putusan MK, dalam sambutannya Jokowi mengatakan, "Saya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu kembali, bersama-sama membangun Indonesia, bersama-sama memajukan negara Indonesia, Tanah Air kita tercinta. Tidak ada lagi 01 dan 02, yang ada hanyalah persatuan Indonesia." Sedangkan Prabowo usai putusan MK mengatakan, "...kita harus memikirkan kepentingan yang lebih besar, keutuhan bangsa dan negara, kita harus memandang seluruh anak bangsa adalah saudara-saudara kita sendiri."
Ungkapan-ungkapan dua tokoh tersebut semakin meneguhkan bahwa islah politik tinggal menunggu waktu. Apalagi dalam sejarahnya, baik Jokowi dan Prabowo, meskipun kerap bertarung di arena politik, namun keduanya selalu mampu bersahabat dengan baik.
Pada Pilpres 2014 misalnya, meskipun saat itu Prabowo kalah dalam kontestasi politik dengan Jokowi, namun dengan jiwa kesatria Prabowo menghadiri pelantikan Jokowi. Begitu halnya selama Jokowi memimpin. Beberapa kali ia sempat mengundang Prabowo ke Istana untuk makan nasi goreng. Sebaliknya, Prabowo juga mengundang Jokowi dan mengajaknya naik kuda. Bahkan saat Asian Games 2018 lalu keduanya menunjukkan satu mimik sangat menyejukkan dengan saling berangkulan.
Keteladanan Politik
Tentu islah politik antara Jokowi dan Prabowo akan memberikan keteladanan politik bagi publik dan generasi mendatang. Pertama, bahwa pertarungan politik setajam apapun adalah bersifat sementara. Setelah pertarungan selesai, maka semua harus melebur jadi satu. Persatuan bangsa nomor satu, sedangkan perbedaan posisi politik itu nomor dua. Politik adalah urusan kepentingan publik, bukan kepentingan individual dan kelompok.
Kedua, dengan melakukan islah politik, maka Jokowi dan Prabowo telah menunjukkan etika politik yang agung dan sungguh-sungguh memikirkan kepentingan bangsa. Bahwa politik bukan (sekadar) soal "siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana," sebagaimana diungkapkan Harold D Laswell. Namun, lebih ke soal "menciptakan kehidupan yang lebih baik, tidak sebatas dirinya sendiri akan tetapi untuk kepentingan umum," seperti dikatakan filsuf Aristoteles.
Karena itu, baik yang menang ataupun yang kalah, semua punya tanggung jawab untuk menciptakan suasana yang kondusif melalui komunikasi-komunikasi yang menyejukkan dan sikap-sikap yang konstruktif.
Bangsa ini sudah lelah dengan ragam ketegangan dan friksi politik yang tak kunjung selesai. Amat disayangkan jika energi anak bangsa terus terbuang untuk urusan pilpres sementara tantangan ke depan makin kompleks. Setelah putusan MK, kita berharap fokus anak bangsa sudah mulai ke hal-hal yang substansial seperti bagaimana memikirkan soal pendidikan, kemiskinan, pengangguran, tantangan global, dan seterusnya.
Sudah saatnya semuanya berangkulan. Kalau perlu, seperti yang dilakukan Hillary Clinton saat kalah dalam Pilpres AS 2016 dengan langsung menelepon Donald Trump dan memberikan ucapan selamat kepadanya, maka hal sama sesungguhnya bisa dilakukan Prabowo. Tentu ini belum terlambat.
Ali Rif'an ; Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia