Koalisi dalam Presidensialisme Multipartai
BEBERAPA partai politik yang tergabung dalam koalisi pendukung Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin berjaya meraih suara mayoritas dalam Pemilu 2019. Suara mayoritas ini merupakan akumulasi suara yang diperoleh PDIP, Golkar, PKB, NasDem, dan PPP.
Dengan kondisi seperti itu, partai politik koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Amin periode 2019-2024 bukanlah 'koalisi minoritas yang kekecilan' (undersized minority coalition), dengan suara akumulasi partai politik yang menyangga keseimbangan kedudukan pemerintah kurang dari 50% dukungan kekuatan politik di Senayan.
Hal ini berbeda dengan kondisi pada awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla periode 2014-2019, yang hanya didukung suara minoritas kurang dari 50% sebelum masuknya PPP, PAN, dan Golkar.
Politik kontradiktif
Banyaknya partai politik pemilik kursi di parlemen, tetapi tak satu pun yang meraih lebih dari separuh suara dalam pemilu, memaksa mereka membentuk koalisi dalam membangun pemerintahan. Itu dengan maksud menjaga jarak dan relasi politik yang ideal dan produktif dengan parlemen. Keberadaan koalisi menjadi garansi stabilitas pemerintahan dalam kerangka sistem presidensial yang efektif untuk mengeksekusi visi, misi, dan program yang telah ditetapkan.
Banyaknya partai politik pemilik kursi di parlemen, tetapi tak satu pun yang meraih lebih dari separuh suara dalam pemilu, memaksa mereka membentuk koalisi dalam membangun pemerintahan. Itu dengan maksud menjaga jarak dan relasi politik yang ideal dan produktif dengan parlemen. Keberadaan koalisi menjadi garansi stabilitas pemerintahan dalam kerangka sistem presidensial yang efektif untuk mengeksekusi visi, misi, dan program yang telah ditetapkan.
Akan tetapi, kondisi itu tak jarang membuat presiden tersudut pada posisi politik kontradiktif. Di satu pihak, ia memiliki legitimasi kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilu yang seharusnya menjadikannya sebagai entitas kelembagaan yang memiliki kuasa besar. Akan tetapi, di pihak lain, ia harus takzim pada partai politik yang menjadi tulang punggung penyuplai menteri-menteri di kabinetnya, untuk menghindari kebuntuan relasi dengan parlemen agar agenda-agenda politiknya tidak mendapatkan perlawanan.
Tidak seperti sistem parlementer, salah satu kekurangan sistem presidensial merupakan tidak adanya mekanisme yang dapat menjamin penguasaan kursi mayoritas di parlemen. Partai politik pengusung presiden memang sering kali mendapatkan mayoritas kursi parlemen di negara-negara dengan sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem dua partai politik dominan. Akan tetapi, hal ini amat jarang terjadi di negara-negara dengan sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem multipartai ekstrem.
Polarisasi ideologis dan fragmentasi kekuatan politik yang beredar dalam spektrum yang lebar, menyebabkan presiden dalam sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem multipartai harus memiliki kemampuan membentuk koalisi ideal yang tak terlalu tambun, tetapi cukup untuk memenangi mayoritas suara di parlemen.
Arend Lijphart dalam Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (2012) menyebut kondisi ini sebagai 'koalisi kemenangan minimal' (minimal winning coalition), yakni koalisi perlu dibentuk sekadar dapat mengendalikan mayoritas relatif sebesar 50% ditambah satu di parlemen. Tentu saja skenario ini mengharuskan kedisiplinan dan kepatuhan partai politik mitra koalisi terhadap komitmen perjuangan bersama sehingga tidak membelot dan menyeberang ke kubu oposisi dalam isu-isu tertentu.
Mengharapkan terjadinya koalisi yang disiplin dan patuh ini kadang kala tidak mudah diwujudkan seperti tecermin dalam sejarah politik kita. PKS dan Golkar di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PAN di era Presiden Jokowi, misalnya, ialah tiga partai politik yang pernah tercatat sebagai anggota koalisi yang berseberangan posisi dengan presiden dalam isu-isu tertentu. Bahkan, PDIP di awal-awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla pun juga sempat menampilkan diri laiknya oposisi.
Wacana masuknya Demokrat, PAN, dan bahkan Gerindra atas nama rekonsiliasi politik dalam koalisi Jokowi-Amin akhir-akhir ini, dapat dibaca dalam konteks memungsikannya sebagai instrumen untuk mengantisipasi jika salah satu dari partai politik pendukungnya membelot dan menyeberang ke kubu oposisi dalam isu-isu tertentu. Dengan begitu, kendali mayoritas relatif sebesar 50% ditambah satu di parlemen tetap terjaga.
Ruang oposisi
Perlu diingatkan, sebaiknya koalisi pendukung Jokowi-Amin tak perlu mengundang hampir seluruh kekuatan politik sehingga dapat terjerembap menjadi 'koalisi mayoritas berkelebihan dan kebesaran' (oversized surplus majority coalition), yang tak menyisakan ruang bagi suara oposisi dengan jumlah yang berarti untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan.
Perlu diingatkan, sebaiknya koalisi pendukung Jokowi-Amin tak perlu mengundang hampir seluruh kekuatan politik sehingga dapat terjerembap menjadi 'koalisi mayoritas berkelebihan dan kebesaran' (oversized surplus majority coalition), yang tak menyisakan ruang bagi suara oposisi dengan jumlah yang berarti untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan.
Memang, tidak mudah mendesain koalisi ideal agar tercipta sistem presidensial yang efektif sekaligus pemerintahan yang stabil, tetapi tetap menyediakan ruang oposisi. Seperti dicatat Scott Mainwaring dalam Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination (1993), sistem presidensial yang berkombinasi dengan sistem multipartai disebut sebagai 'kombinasi muskil' yang selalu mengandung kerumitan jika dibandingkan dengan sistem parlementer setidaknya dalam tiga hal.
Pertama, dalam sistem parlementer, partai politiklah yang menentukan kabinet dan perdana menteri yang diusung serta selalu berada dalam tanggung jawab besar untuk menyediakan dukungan maksimal pada pemerintah yang berkuasa. Adapun dalam sistem presidensial, presiden berkat hak prerogatif yang dimiliki, dapat menentukan kabinetnya sendiri. Karenanya, partai politik cenderung kurang memiliki komitmen kuat mendukung pemerintahan.
Kedua, berbeda dengan situasi dalam sistem perlementer, dalam sistem presidensial anggota badan legislatif dari partai politik yang memiliki portofolio kabinet, sangat mungkin tidak mendukung pemerintah. Ketiga, dorongan partai politik untuk merusak bangunan koalisi yang telah dibangun lebih besar kemungkinan terjadi dalam sistem presidensial.
Kekhawatiran akan adanya pembelotan dan penyeberangan politik yang dilakukan mitra koalisi, tidak boleh mengorbankan tatanan ideal demokrasi yang meniscayakan kekuatan politik penyeimbang.
Walhasil, membangun koalisi partai politik di pemerintahan tidak boleh sekadar dilatari motivasi politik oportunistis belaka dengan mementingkan dukungan parlemen sebesar-besarnya demi mengamankan setiap pilihan kebijakan. Lebih dari itu, menyediakan ruang yang cukup bagi oposisi sebagai penyeimbang yang menawarkan alternatif pandangan kebijakan ialah kebajikan politik. ***