KORAN SINDO
Edisi 28-06-2019
Mutu Pendidikan dan Benang Kusut Zonasi
Permendikbud Nomor 21 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang di susul Surat Edaran Mendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang perubahan kuota PPDB tak kunjung mampu menegakkan benang kusut kebijakan zonasi.
Sehari sebelum diterbitkan surat edaran (21/6), Mendikbud Muhajir Effendi sangat meyakini penerapan zonasi dalam PPDB merupakan suatu “cara radikal” dalam pemerataan akses pada layan an dan kualitas pendidikan. Dalam batas tertentu bahkan diyakini se bagai instrumen terwujudnya keadil an sosial. Benar kah demikian? Tulisan ini mencoba mengkritisi pandangan mendikbud terkait zonasi PPDB agar kebijakan ini tidak mengundang gejolak yang meresahkan peserta didik, orang tua, guru, dan pemangku kepentingan lain. Sekaligus mampu membenahi mutu pen - didikan secara sistemik. Kebijakan zonasi dalam PPDB mencerminkan cara pandang “elite” yang cenderung top-down, deduktif, positivis tik, dari umum kekhusus(generalto particular), dan “Descar tesian” dalam melihat masalah pendidikan.
Perspektif ini melihat masalah dan solusi yang ditawarkan berdimensi kuantitatif, teknikal, dan prosedural. Dalam dunia riset dikenal dengan pendekatan kuan - titatif yang hanya “testing the existing knowledge“. Cara pandang kuantitatifdeduktif ini yang dijadikan basis paradigmatik dikeluarkannya kebijakan sistem zonasi dalam PPDB 2019. Berbeda bila pendekatannya bottom up, induktif, dari khusus ke umum (particulartogeneral), konstruktivistik, dan “Baconian”, yang dimulai dari pengamatan empirik setiap aspek pendidikan. Dalam perspektif kualitatifinduktifini, kitabisamendekatimasalah pendidikan secara sistemik karena bertitik-tolak pada masalah-masalah mikro kemu dian menghasilkan jalan keluar yang bersifat sistemik.
Perspektif kualitatif memungkinkan un tuk menghasilkan potret yang sistemik sehingga men dorong pemerintah untuk meng hasil kan kebijakan yang mampu mengatasi masalah secara sistemik pula. Mem bongkar paradigma ber pikir yang menjadi dasar dari kebijakan zonasi ini penting agar kita bisa memetakan masalah secara objektif dan komprehensif.
Benang Kusut Zonasi
Lalu, bagaimana penerapan sis tem zonasi di lapangan? Apakah asas-asas nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan ber keadilan dalam PPDB seperti tertera pada Pasal 2 Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 itu secara nyata bisa dirasakan masyarakat? Secara faktual kita melihat telah terjadi resistensi besar dari para orang tua peserta di dik, guru, dan kepala sekolah di se jum lah daerah. Di Surabaya para orang tua peserta didik bahkan menolak kebijakan zonasi dengan berunjuk rasa hingga larut malam menuntut Mendikbud Muhajir Effendi mundur dari jabatannya.
Dengan sistem zonasi, anak yang dekat dengan sekolah negeri favorit/ unggulan tidak perlu belajar karena dijamin masuk (90%). Anak yang jauh, harus berprestasi sangat tinggi, itu pun peluangnya hanya 5%, sementara perpindahan orang tua 5%. Walaupun di beberapa daerah dilakukan modifikasi persentase, namun ikhtiar itu tidak akan mampu mengurai benang kusut sistem zonasi PPDB. Misi keadilan sosial yang semula mulia mengalami disorientasi karena salah dalam memotret masalah. Hemat penulis, sebelum sistem zonasi ini diterapkan, semestinya dirumuskan terlebih dahulu sebuah solusi kom - prehensif dalam pemerataan kualitas pendidikan.
Pemerataan kualitas pen didikan dimulai dengan pemerataan sarana dan prasarana, sumber daya manusia (SDM), guru dan kepala sekolah, keahlian, pengalaman, kepemimpinan, praktik-praktik terbaik (best practices), dan kesejahteraan. Alih-alih bisa mewujudkan keadil - an sosial, kebijakan zonasi justru melahirkan masalah-masalah baru di dunia pendidikan. Di antaranya me - runtuhkan iklim dan budaya belajar yang sudah terbangun di sekolahsekolah yang sudah bagus. Zonasi juga melahirkan peserta didik yang malas dan tidak tekun dalam belajar, terutama mereka yang dekat dengan se - kolah. Di benak mereka telah tertanam, berapa pun prestasi belajarnya dijamin masuk di sekolah negeri unggulan atau favorit.
Ini tentu akan merusak daya saing SDM kita ke depan karena iklim kompetitif tidak dibangun dari sejak duduk di bangku sekolah. Zonasi juga mengapresiasi rendah para peserta didik yang berprestasi dan bermotivasi tinggi yang jarak ru - mahnya jauh dengan sekolah. Mereka harus bersaing dengan peserta didik lain yang secara zonasi dekat dengan sekolah. Sistem zonasi ini bersifat ambivalen dan tidak selaras dengan spirit zonasi itu sendiri. Pada Pasal 14 ayat (1-3) Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 secara substansial tidak sesuai dengan spirit zonasi yang mendekatkan jarak rumah peserta didik dengan sekolah.
Pasal ini mengatur apabila sekolah kelebihan pendaftar dari daya tampung, maka disalurkan ke sekolah lain dalam satu zonasi, dan jika dalam satu zonasi tidak ada sekolah yang bisa menam - pung, maka disalurkan ke sekolah lain di luar zonasi. Zonasi juga berdampak pada aspek psikologis dan rusaknya iklim dan budayabelajardisekolah. Penulissudah melakukan riset kualitatif ten tang hal ini dengan mengobservasi dan me - wawancarai sejumlah guru, kepala sekolah, dan orang tua peserta didik. Mayoritas mereka menolak sistem zonasi. Menurutmereka, aturanzonasi telah merusak sekolah yang sudah bagus.
Pemerintah hanya berpikir pemerataan atau persebaran entry behavior (input) siswa, bukan peningkat an kualitas pendidikan secara sistemik. Padahal, upaya mendongkrak kualitas pendidikan bukan hanya unsur siswa. Ada unsur kualitas dan kesejahteraan guru, tersedianya fasilitas pembelajaran dan sarpras pendukung, anggaran yang memadai, perbaikan kualitas Lembaga PendidikanTenagaKeguru an(LPTK), serta iklimbelajardanbudayaakademikyang kondusif dan kompetitif.
Zonasi = Trickle Down Effect?
Spirit zonasi ini lebih tepat dilaku - kan dalam rangka pemerataan eko - nomi dalam konteks keadilan sosial sehingga kesejahteraan bisa menetes (trickle down effect) dan merata ke segenap warga negara Indonesia. Kalau distribusi aset dan sumbersumber kesejahteraan dilakukan, kesenjangan dan gini ratio itu tidak akan terus meninggi. Anehnya, dalam hal zonasi PPDB, Mendikbud dan para pemikirnya banyak yang tidak paham masalah di lapangan. Selalu melihat masalah dari sisi makro yang kuantitatif-deduktif tadi. Munculnya sekolah pilihan dan pinggiran sebenarnya gejala alamiahnya saja.
Seperti kaya dan miskin, itu gejala alamiah saja. Yang penting ada instrumen kebijakan yang membuat kesejahteraan menjadi menetes dan meratakesemuazona. Yangdilakukan oleh pemerintah saat ini adalah “meratakan kaum miskin” ke semua zona. Bukan penyebaran guru dan kepala sekolah yang berkualitas, keahlian, pengalaman, praktik terbaik, fasilitas, metode, dan pendekatan mengajar yang bagus. Bila ini sudah dilakukan, baru sistem zonasi dite rapkan. Dengan cara demikian, dipastikan tidak akan ada gejolak di masyarakat karena kualitas menyebar ke semua satuan dan jenjang pendidikan. Bahkan tanpa sistem zonasi, penye - bar an siswa secara alamiah akan terjadi dengan sendirinya.
FAHRUS ZAMAN FADHLY
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Kandidat Doktor Universitas Negeri Jakarta