Melampaui Kebijakan Zonasi
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, dalam pernyataannya menyebutkan dirinya serta-merta bermimpi terus menerapkan kebijakan zonasi. Hal ini menjawab sejumlah kritik yang dialamatkan ke pihaknya terkait dengan kebijakan zonasi yang dinilai kontroversial.
Sejak awal, nama Muhadjir Effendy sudah identik dengan isu-isu kontroversial, seperti full day school, moratorium ujian nasional, dan yang terakhir, zonasi.
Berbagai isu kontroversial ini sesungguhnya ingin menjawab persoalan pokok pendidikan saat ini, yaitu rendahnya kualitas pendidikan nasional. Akses pendidikan secara adil dan merata bagi semua warga negara tentu menjadi pintu masuk pertama untuk memperoleh layanan pendidikan berkualitas. Meskipun akses pendidikan baik bukanlah jaminan layanan berkualitas, bagi anak-anak dari keluarga ekonomi tidak mampu, akses pendidikan merupakan gerbang satu-satunya yang harus dilewati untuk mempertahankan sisa-sisa kemartabatan mereka sebagai manusia.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS), Susenas Maret 2017, ketercapaian angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan berdasarkan status ekonomi menunjukkan bahwa pada tingkat sekolah menengah pertama (SMP) anak-anak dari keluarga paling miskin pada kuintil 1 APK-nya ialah 86,04%, sedangkan pada jenjang SMA/SMK atau sederajat angkanya ialah 65,82%. Ini berarti, baik di tingkat SMP maupun tingkat SMA, anak-anak dari keluarga miskin sulit memperoleh akses pendidikan yang setara dengan keluarga kaya yang APK-nya sudah mencapai 94,27%.
Bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, akses pendidikan merupakan satu-satunya cara memutus rantai kemiskinan dan meningkatkan produktivitas. Karena itu, sejak 2017 muncullah kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi atau sering kali disingkat dengan kebijakan zonasi.
Tiga jalur
Pada awal penerapannya, PPDB 2017 dilakukan melalui beberapa jalur, seperti zonasi, prestasi, perpindahan orangtua, dan surat keterangan tanda miskin (SKTM) yang disahkan pejabat terkait. Sayangnya, saat kebijakan ini diterapkan terjadi banyak manipulasi SKTM. Ironisnya, hal ini dilakukan para pejabat agar anaknya dapat masuk di sekolah favorit. Di banyak sekolah, jalur SKTM banyak disalahgunakan.
Kuota PPDB zonasi dengan SKTM dihapus pada 2018 dan diganti dengan kuota 90% dari bangku yang tersedia berdasarkan jarak sekolah dengan domisili, termasuk untuk peserta didik dari keluarga ekonomi tidak mampu dan berkebutuhan khusus, jalur prestasi dan perpindahan orangtua.
Masih banyak pemerintah daerah yang tidak taat pada ketentuan zonasi. Mereka tetap ingin melanggengkan sekolah-sekolah favorit dengan melakukan PPDN berdasarkan pemeringkatan dan skor untuk tiga faktor, yaitu jarak, nilai rapor/ujian nasional (UN), dan prestasi sehingga anak-anak dari keluarga tidak mampu yang berada dekat dengan lokasi sekolah tidak diterima di sekolah terdekat.
Tahun ketiga implementasi, situasinya sudah lebih baik. Sosialisasi dilakukan sejak Desember 2018. Sudah terjadi saling pengertian antara pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam berbagi tanggung jawab serta tugas. Namun, kini persoalan justru muncul dari orangtua yang merasa dirugikan karena anaknya yang berprestasi tidak dapat masuk ke sekolah yang diinginkan.
Evaluasi implementasi kebijakan zonasi menunjukkan bahwa baik pemerintah daerah maupun masyarakat belum banyak memahami tujuan besar kebijakan zonasi. Demo memprotes kebijakan zonasi menunjukkan bahwa publik belum terosialisasi dengan baik. Pemerintah daerah yang harusnya memberikan layanan pendidikan tanpa diskriminasi tidak rela, bila sekolah unggulan diisi anak-anak dari latar belakang sosial ekonomi rendah dengan kemampuan akademik pas-pasan. Guru pun tidak siap menerima siswa yang heterogen.
Usaha transformasi
Persoalan utama perubahan pendidikan di mana pun, apalagi bila skalanya besar seperti Indonesia ialah dari mana memulai perubahan ini. Sudah banyak usaha untuk transformasi pendidikan ini dan berakhir dengan kegagalan.
Pada 2013, pemerintah mulai mengadakan perubahan dari atas dengan memperkenalkan kurikulum baru, yaitu Kurikulum 2013. Selama hampir 6 tahun kita mempraktikkan Kurikulum 2013, terbukti bahwa prestasi akademis siswa Indonesia dalam tes-tes internasional dan nasional pun tidak banyak berubah. Prestasi kita tetap rendah.
Mengubah kurikulum gagal, usaha lain pun dilakukan, yaitu mengevaluasi kebijakan ujian nasional. Terlebih, ujian nasional tidak lagi menentukan kelulusan. Kewenangan meluluskan diberikan pada sekolah dan penilaian dibagi secara proporsional. Faktanya, di sekolah terjadi penggelembungan nilai. Nilai ujian sekolah sudah didesain sedemikian rupa sehingga sejelek-jeleknya nilai ujian nasional peserta didik, siswa ini akan lulus.
Kebijakan ujian nasional terjadi banyak kecurangan dan manipulasi. Kecurangan ujian nasional coba diatasi dengan kebijakan moratorium. Namun, usaha moratorium ujian nasional pun gagal di tengah jalan. Ujian nasional jalan terus, tetapi muncullah ujian sekolah berstandar nasional (USBN) sebagai jalan tengah yang mencoba membantu sekolah meningkatkan kualitas soal-soal ujian sekolah, sedangkan tetap memberi kepercayaan pada guru dan sekolah. Namun, apa yang terjadi? USBN pun gagal, bahkan USBN lebih rentan bocor. Bahkan, tiga hari sebelum USBN, soal-soal sudah beredar di internet. USBN yang meliputi semua mata pelajaran pun selain gagal, sia-sia, juga malah menjadi beban ganda bagi guru, siswa, dan sekolah.
Tampaknya teknologi bisa menyelamatkan. Kecurangan ujian nasional bisa diatasi dengan pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) yang relatif sulit dicurangi. Untuk mengatasi persoalan moral dalam pendidikan yang menghambat prestasi dan kualitas pendidikan, diluncurkan kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter yang mengutamakan keteladanan, tranformasi dalam pemelajaran di kelas, pengembangan budaya sekolah, dan memperkuat partisipasi masyarakat.
Seluruh usaha ini merupakan perjuangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara sistematis, masif, dan terstruktur dalam skala besar. Sejauh ini, setiap usaha melakukan transformasi pendidikan selalu gagal. Sistem sebaik apa pun, begitu sampai di satuan pendidikan, mudah sekali dimanipulasi.
Dalam teori perubahan pendidikan, untuk skala besar dan konteks plural seperti Indonesia, perubahan dari atas sudah bisa dipastikan gagal di lapangan. Undang-Undang Otonomi Daerah mencoba memberi kewenangan pemerintah daerah mengelola pendidikan. Maka dari itu, kabupaten dan kota memiliki kewenangan mengelola pendidikan dasar 9 tahun, sedangkan untuk pendidikan menengah (SMA/SMK) diserahkan pada provinsi.
Otonomi daerah dalam pendidikan di satu sisi menjamin kontekstualitas pendidikan di daerah, di sisi lain menjamin keharmonisan dengan tujuan besar pendidikan oleh unit teknis kementerian terkait, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 yang kemudian direvisi menjadi Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019 secara esensial telah melakukan harmoni agar kewenangan tidak tumpang-tindih. Hal-hal kontekstual daerah diatur dalam pasal 20 tentang kewenangan pemerintah daerah. Hal-hal yang diprotes, seperti penetapan zonasi, prediksi dan pembagian zona ada pada kewenangan pemerintah daerah, sesungguhnya sudah diatur dalam Permendikbud. Demikian juga dengan hal-hal yang dikecualikan, seperti sekolah swasta, sekolah menengah kejuruan, sekolah kerja sama, pendidikan khusus, layanan khusus, sekolah berasrama, sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, serta persoalan demografis, sudah diatur.
Kebijakan zonasi menjembatani transformasi dari pusat ke daerah dan memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk membagi-bagi wilayah di daerahnya sesuai zona yang lebih kecil sehingga intervensi dalam kebijakan pendidikan bisa lebih spesifik, fokus, dan terarah.
Kita tahu, dalam satu provinsi pun konteks dan demografisnya sangat berbeda. Bahkan, gap kualitas antarsatuan pendidikan dalam satu kota dan kabupaten bisa terjadi. Kebijakan zonasi, selain memberi perlindungan pada keluarga dari ekonomi tidak mampu untuk mengakses pendidikan, juga menjadi cara memahami persoalan dan menyelesaikan persoalan pendidikan di tingkat lebih kecil berbasis zona. Dengan membangun gugus atau zona pendidikan, transformasi pendidikan bisa dimulai dengan sasaran yang lebih kecil dan kontekstual. Harus ada yang memulai perubahan, dan pemerintah telah memulainya dengan kebijakan zonasi.
Berkali-kali Mendikbud mengatakan bahwa zonasi tidak sekadar terkait dengan PPDB, tetapi perlu diintegrasikan dalam berbagai kebijakan lain, seperti peningkatan kualitas dan distribusi guru, kepala sekolah, sarana dan prasaran pendidikan, pengembangan pusat belajar guru melalui kelompok kerja guru (KKG), serta musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).
Muhadjir Effendy telah memulai dengan berbagai macam kebijakan seperti penguatan pendidikan karakter (PPK), penguatan peran kepala sekolah, peningkatan kesejahteraan guru, dan penguatan partisipasi masyarakat dengan mengembalikan peranan Tripusat Pendidikan. Yang terakhir melalui kebijakan zonasi.
Kebijakan zonasi merupakan hasil refleksi dan evaluasi pengalaman jatuh bangun mentransformasi pendidikan di Indonesia. Benar, ia bukan wangsit yang diperoleh saat bangun dari tidur. Kebijakan zonasi visinya melampaui kebijakan zonasi itu sendiri, baik secara sosial, ekonomi, demografi, maupun pedagogis. Kebijakan zonasi justru bisa menjadi awal terwujudnya mimpi perubahan pendidikan di Indonesia. Semoga. ***