Mimbar Mahasiswa
Melindungi Demokrasi Kita
Jakarta - Mencermati dengan seksama serangkaian tahapan pemilihan umum serentak 2019 mulai dari awal hingga puncaknya pada sidang sengketa hasil pemilihan presiden 2019, agaknya tidak berlebihan jika kita menyodorkan pertanyaan krusial: apakah demokrasi di negeri ini dalam bahaya dan terancam mati?
Sebuah pertanyaan yang mungkin tidak pernah terlintas dalam kepala sebagian besar masyarakat bangsa ini. Meneroka, bagaimana masa depan demokrasi Indonesia, jika praktik yang dimainkan oleh para aktivis demokrasi justru menggerogoti pilar-pilar penopang demokrasi. Sembari meyakinkan kepada publik bahwa keadaan dewasa ini tidak seburuk yang terjadi pada negara-negara demokrasi lain di dunia, yang tercatat dalam sejarah mengalami kematian, yang dibunuh oleh aktivis demokrasi.
Membunuh demokrasi dengan cara-cara yang demokratis, gejala itulah yang sepertinya mulai tampak mencuat dalam hajatan pemilu serentak 2019.
Bagaimanapun, kita perlu pahami bahwa demokrasi itu sistem yang amat rapuh. Karena ia merupakan suatu sistem yang tidak hadir secara tiba-tiba, melainkan harus terus menerus diperjuangkan. Apalagi dalam negara yang memiliki tingkat keragaman etnis yang sangat tinggi, semangat untuk mewujudkan praktik kehidupan yang demokratis akan menemui tantangan yang mahaberat.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu untuk sejenak mundur dari hiruk pikuk pertikaian elite politik kita di berbagai media sosial yang terpantau masih belum menunjukkan tanda-tanda akan usai, meskipun semua proses politik telah berujung di mimbar Mahkamah Konstitusi.
Tindakan untuk mundur keluar dari pusaran itu bertujuan supaya kita dapat memperluas wawasan kita dengan mengais hikmah dari negara-negara demokrasi lain di seluruh belahan dunia dan sepanjang sejarah pergulatannya. Belajar dari negara demokrasi yang tercatat dalam sejarah pernah mengalami krisis, lalu membuat kita mengerti dengan lebih baik tanda bahaya yang dihadapi demokrasi kita.
Negara-negara demokrasi di benua Eropa dan Amerika Latin menjadi sasaran yang tepat. Sebut saja Venezuela, Peru, Hungaria, Ukraina, Polandia, bagaimana di beberapa negara tersebut para aktivis demokrasi dengan sengaja membajak lembaga-lembaga demokrasi yang kemudian berdampak buruk bagi kehidupan demokrasi.
Peristiwa gejolak negara demokrasi yang berujung pada matinya demokrasi di beberapa negara tersebut seyogianya dipahami sebagai luka sejarah demokrasi bangsa-bangsa Eropa dan Amerika Latin untuk tidak digoreskan pada demokrasi di Indonesia.
Memasang Kewaspadaan
Kewaspadaan perlu dipasang sedari kini, apalagi adanya indikasi bahwa beberapa pelaku demokrasi tampak mempertahankan tampilan demokratis namun di sisi lain berupaya menghilangkan substansinya. Erosi demokrasi itu kini hampir tidak disadari oleh masyarakat bangsa ini.
Karena itu, kesadaran itu patut dibangunkan kemudian baru memasang kewaspadaan bahwa ada upaya untuk membunuh demokrasi Indonesia belakangan ini.
Kemampuan mengidentifikasi "para pembunuh" demokrasi merupakan kualifikasi penting. Sebab, "para pembunuh" demokrasi itu berkeliaran, melipatgandakan kekuatan, dan bersenyawa dalam arena demokrasi itu sendiri. Bahkan, pembunuh demokrasi ini bisa berasal dari sosok yang dinilai publik sangat demokratis.
Mencermati beberapa fenomena peristiwa politik sepanjang tahun ini, terdapat beberapa hal yang dapat kita curigai dan waspadai sebagai faktor-faktor yang berpotensi membunuh secara perlahan demokrasi di negeri ini. Para pelaku demokrasi negeri ini harus memiliki komitmen untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, bukan justru melemahkan arsitektur demokrasi.
Jika belajar dari negara-negara di Eropa dan Amerika Latin ada beberapa identifikasi yang disinyalir dapat membahayakan demokrasi kita.
Pertama, pemimpin yang terpilih secara demokratis harus menutup pintu untuk calon pemimpin otoriter sekaligus menjaga agar kelompok ekstremis agar tak berkuasa. Bagaimana pemimpin politik, terutama partai politik tidak memberi mereka tempat penting di partai, menolak menyetujui atau bersekutu dengan mereka. Mengisolasi ekstremis populer membutuhkan keberanian politik, jika tidak, maka demokrasi menghadapi bahaya.
Kedua, mewaspadai dan mencegah upaya "oknum" aktivis demokrasi yang membajak lembaga-lembaga demokrasi. Hal itu bisa dilakukan dengan memperkuat norma-norma demokrasi, pengawasan dan penyeimbangan konstitusional sebagai benteng pertahanan demokrasi.
Terdapat indikasi bahwa lembaga-lembaga demokrasi dijadikan senjata politik untuk membajak demokrasi, menjadikan pengadilan dan badan netral lainnya "senjata", membeli media dan sektor swasta; menggencet keduanya agar diam, serta mengubah aturan politik agar keseimbangan kekuatan berubah arah merugikan lawan politik. Hal ini tampak kentara ketika tahapan pemilu serentak masuk pada fase rekapitulasi hasil suara dan sengketa pemilihan presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.
Ketiga, melemahnya norma-norma demokrasi yang berakar dari polarisasi partisan ekstrem yang meluas melampaui perbedaan kebijakan, menjadi konflik eksistensial terkait etnisitas dan agama. Upaya untuk mewujudkan kesetaraan hak dalam demokrasi dengan fakta keberagaman etnis dan agama yang kompleks selalu disergap dengan reaksi keras yang diikuti dengan polarisasi yang kian meruncing.
Dari realitas itu, banyak masyarakat bangsa ini yang merasakan ketakutan dengan apa yang terjadi selama proses demokrasi tahun ini. Namun, melindungi demokrasi bukan dengan ketakutan dan kemarahan, melainkan dengan keberanian moral dan politik. Kita wajib belajar dari negara-negara lain untuk melihat tanda-tanda peringatan menuju kematian demokrasi. Sebagai generasi penerus bangsa yang tumbuh dalam demokrasi, wajib mencegah kematian demokrasi dari dalam.
Sejarah tidak berulang. Namun kita bisa melindungi demokrasi kita dengan belajar dari sejarah kematian demokrasi negara lain, sebelum terlambat.
Moch Sholeh Pratama ; Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah, Ketua BEM FIB Universitas Airlangga Surabaya
Sebuah pertanyaan yang mungkin tidak pernah terlintas dalam kepala sebagian besar masyarakat bangsa ini. Meneroka, bagaimana masa depan demokrasi Indonesia, jika praktik yang dimainkan oleh para aktivis demokrasi justru menggerogoti pilar-pilar penopang demokrasi. Sembari meyakinkan kepada publik bahwa keadaan dewasa ini tidak seburuk yang terjadi pada negara-negara demokrasi lain di dunia, yang tercatat dalam sejarah mengalami kematian, yang dibunuh oleh aktivis demokrasi.
Membunuh demokrasi dengan cara-cara yang demokratis, gejala itulah yang sepertinya mulai tampak mencuat dalam hajatan pemilu serentak 2019.
Bagaimanapun, kita perlu pahami bahwa demokrasi itu sistem yang amat rapuh. Karena ia merupakan suatu sistem yang tidak hadir secara tiba-tiba, melainkan harus terus menerus diperjuangkan. Apalagi dalam negara yang memiliki tingkat keragaman etnis yang sangat tinggi, semangat untuk mewujudkan praktik kehidupan yang demokratis akan menemui tantangan yang mahaberat.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu untuk sejenak mundur dari hiruk pikuk pertikaian elite politik kita di berbagai media sosial yang terpantau masih belum menunjukkan tanda-tanda akan usai, meskipun semua proses politik telah berujung di mimbar Mahkamah Konstitusi.
Tindakan untuk mundur keluar dari pusaran itu bertujuan supaya kita dapat memperluas wawasan kita dengan mengais hikmah dari negara-negara demokrasi lain di seluruh belahan dunia dan sepanjang sejarah pergulatannya. Belajar dari negara demokrasi yang tercatat dalam sejarah pernah mengalami krisis, lalu membuat kita mengerti dengan lebih baik tanda bahaya yang dihadapi demokrasi kita.
Negara-negara demokrasi di benua Eropa dan Amerika Latin menjadi sasaran yang tepat. Sebut saja Venezuela, Peru, Hungaria, Ukraina, Polandia, bagaimana di beberapa negara tersebut para aktivis demokrasi dengan sengaja membajak lembaga-lembaga demokrasi yang kemudian berdampak buruk bagi kehidupan demokrasi.
Peristiwa gejolak negara demokrasi yang berujung pada matinya demokrasi di beberapa negara tersebut seyogianya dipahami sebagai luka sejarah demokrasi bangsa-bangsa Eropa dan Amerika Latin untuk tidak digoreskan pada demokrasi di Indonesia.
Memasang Kewaspadaan
Kewaspadaan perlu dipasang sedari kini, apalagi adanya indikasi bahwa beberapa pelaku demokrasi tampak mempertahankan tampilan demokratis namun di sisi lain berupaya menghilangkan substansinya. Erosi demokrasi itu kini hampir tidak disadari oleh masyarakat bangsa ini.
Karena itu, kesadaran itu patut dibangunkan kemudian baru memasang kewaspadaan bahwa ada upaya untuk membunuh demokrasi Indonesia belakangan ini.
Kemampuan mengidentifikasi "para pembunuh" demokrasi merupakan kualifikasi penting. Sebab, "para pembunuh" demokrasi itu berkeliaran, melipatgandakan kekuatan, dan bersenyawa dalam arena demokrasi itu sendiri. Bahkan, pembunuh demokrasi ini bisa berasal dari sosok yang dinilai publik sangat demokratis.
Mencermati beberapa fenomena peristiwa politik sepanjang tahun ini, terdapat beberapa hal yang dapat kita curigai dan waspadai sebagai faktor-faktor yang berpotensi membunuh secara perlahan demokrasi di negeri ini. Para pelaku demokrasi negeri ini harus memiliki komitmen untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, bukan justru melemahkan arsitektur demokrasi.
Jika belajar dari negara-negara di Eropa dan Amerika Latin ada beberapa identifikasi yang disinyalir dapat membahayakan demokrasi kita.
Pertama, pemimpin yang terpilih secara demokratis harus menutup pintu untuk calon pemimpin otoriter sekaligus menjaga agar kelompok ekstremis agar tak berkuasa. Bagaimana pemimpin politik, terutama partai politik tidak memberi mereka tempat penting di partai, menolak menyetujui atau bersekutu dengan mereka. Mengisolasi ekstremis populer membutuhkan keberanian politik, jika tidak, maka demokrasi menghadapi bahaya.
Kedua, mewaspadai dan mencegah upaya "oknum" aktivis demokrasi yang membajak lembaga-lembaga demokrasi. Hal itu bisa dilakukan dengan memperkuat norma-norma demokrasi, pengawasan dan penyeimbangan konstitusional sebagai benteng pertahanan demokrasi.
Terdapat indikasi bahwa lembaga-lembaga demokrasi dijadikan senjata politik untuk membajak demokrasi, menjadikan pengadilan dan badan netral lainnya "senjata", membeli media dan sektor swasta; menggencet keduanya agar diam, serta mengubah aturan politik agar keseimbangan kekuatan berubah arah merugikan lawan politik. Hal ini tampak kentara ketika tahapan pemilu serentak masuk pada fase rekapitulasi hasil suara dan sengketa pemilihan presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.
Ketiga, melemahnya norma-norma demokrasi yang berakar dari polarisasi partisan ekstrem yang meluas melampaui perbedaan kebijakan, menjadi konflik eksistensial terkait etnisitas dan agama. Upaya untuk mewujudkan kesetaraan hak dalam demokrasi dengan fakta keberagaman etnis dan agama yang kompleks selalu disergap dengan reaksi keras yang diikuti dengan polarisasi yang kian meruncing.
Dari realitas itu, banyak masyarakat bangsa ini yang merasakan ketakutan dengan apa yang terjadi selama proses demokrasi tahun ini. Namun, melindungi demokrasi bukan dengan ketakutan dan kemarahan, melainkan dengan keberanian moral dan politik. Kita wajib belajar dari negara-negara lain untuk melihat tanda-tanda peringatan menuju kematian demokrasi. Sebagai generasi penerus bangsa yang tumbuh dalam demokrasi, wajib mencegah kematian demokrasi dari dalam.
Sejarah tidak berulang. Namun kita bisa melindungi demokrasi kita dengan belajar dari sejarah kematian demokrasi negara lain, sebelum terlambat.
Moch Sholeh Pratama ; Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah, Ketua BEM FIB Universitas Airlangga Surabaya