Selasa 16 Juli 2019, 14:16 WIB
Mengawal (Visi) Jokowi 5 Tahun ke Depan
Pada 14 Juli 2019 Jokowi sebagai Presiden terpilih periode 2019-2024 menyampaikan sebuah pidato politik tentang visinya untuk Indonesia di periode kedua berkuasa. Pidato tersebut pada pokoknya menyampaikan visi Jokowi pada sektor pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, reformasi birokrasi, dan ideologi Pancasila.
Visi ini jika kita lihat dan maknai secara dalam ada kecenderungan pada periode kedua pemerintahan Jokowi akan berfokus pada pembangunan manusia Indonesia, tetapi ada beberapa sektor luput diungkapkan pada pidato tersebut. Entah karena kealpaan semata atau bukan menjadi fokus utama, bahkan bisa saja memang tidak menjadi visi Presiden Jokowi.
Sektor pertama adalah Hak Asasi Manusia (HAM). HAM seakan menjadi isu yang dijual ketika kampanye, namun akan tenggelam ketika berkuasa atau bahkan hanya menjadi kata pendamping nama di samping Kementerian Hukum sehingga jadi Kementerian Hukum dan HAM. Pada dasarnya HAM adalah kata yang gampang diucapkan tapi cukup sulit dilaksanakan. Pelanggaran HAM masa lalu pada pemerintahan Jokowi belum menemukan titik terang misalnya peristiwa terkait penghilangan orang pada 1998 atau isu hantu PKI yang muncul terus setiap tahun.
Ancaman HAM di era periode pemerintahan Jokowi pun tidak serta merta bersih dan tidak ada. Pada faktanya pelanggaran HAM akan ada dan selalu ada misalnya kriminalisasi orang-orang pejuang lingkungan, kebebasan menyampaikan pendapat selalu terjebak pada pasal karet Undang-Undang ITE, bahkan kebebasan warga negara dalam menjalankan aktivitas beragama semakin hari semakin pada simpul konflik horisontal yang bersinggungan.
Sektor kedua adalah pemberantasan korupsi. Pada penyampaian visi tersebut sepertinya pemberantasan korupsi seakan bukan menjadi fokus utama rezim ini. Padahal periode kedua berbarengan dengan pergantian komisioner KPK yang baru dan akan diseleksi yang dibentuk oleh pansel bentukan Jokowi.
Jokowi harusnya menaruh porsi lebih karena visinya terkait penggunaan anggaran negara, pembangunan, investasi bahkan reformasi birokrasi mempunyai penyakit kronis yang mengancam visi-visi tersebut yaitu perilaku korupsi. Contoh terbaru adalah OTT KPK pada Gubernur Kepulauan Riau yang terkena sangkaan pidana korupsi yang bersumber pada investasi pada proyek reklamasi (sektor pembangunan), dengan tersangka lain para birokrat pada pemda.
Pada sisi lain isu seleksi pimpinan KPK tidak pada fokus rekam jejak calon pada sektor pemberantasan korupsi semata, namun isunya dilebarkan dengan rekam jejak calon terkait radikalisasi. Hal ini seakan membuat fokus kualitas calon pimpinan KPK tidak pada integritas mereka untuk pemberantasan korupsi yang sebenarnya menjadi isu utama. Isu penyelesaian kasus penyerangan Novel Baswedan pun seakan terancam jalan di tempat pada masa pemerintahan Jokowi pada periode keduanya.
Sektor ketiga adalah lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup pada dasarnya dalam frasa pembangunan negara menjadi isu sekunder. Hal ini terlihat dengan frasa "pembangunan berkelanjutan" yang mana lingkungan hidup yang lestari adalah faktor penunjang penguat frasa pembangunan. Jokowi pada penyampaian visi tersebut seakan mengamini teori tersebut, yakni akan menggenjot pembangunan infrastruktur semata bahkan kata berkelanjutan dan lingkungan hidup tidak ada dalam pidatonya.
Pekerjaan Jokowi pada sektor ini di periode pertama memang tidak pernah selesai dan mungkin berlanjut pada periode kedua. Kebakaran hutan yang diklaim berkurang mungkin jadi prestasinya, namun pada sisi lain ancaman kerusakan lingkungan hidup masih terus terjadi misalnya ketidakjelasan kebijakan Jokowi pada isu reklamasi Teluk Benoa di Bali, reklamasi Jakarta, kasus banjir bandang di beberapa tempat di Indonesia.
Isu-isu itu meskipun terkesan isu lokal, namun setidaknya Jokowi harus merespons sebagai bentuk negara hadir untuk menjadikan pembangunan memang dilakukan untuk anak cucu bangsa di masa depan, bukan hanya program jangka pendek peninggalan rezimnya yang akan mewariskan kerusakan lingkungan.
Sektor keempat adalah keberagaman Indonesia. Isu ini memang disinggung sedikit, namun kedalaman permasalahan keberagaman pada era media sosial ini menjadi isu yang serius dan butuh penanganan yang sistematis. Informasi yang bias diterima masyarakat majemuk membuat politik identitas mayoritas dan minoritas bertumbuh subur. Isu SARA menjadi kayu bakar pada kontestasi Pemilihan Umum 2019.
Jokowi tidak cukup membuat narasi ajakan rekonsiliasi pada kelompok elite, namun perlu ada program menguatkan kemajemukan Indonesia itu nyata adanya. Jokowi tidak boleh berhenti pada seruan menegakkan ideologi Pancasila, namun membiarkan diskriminasi minoritas tetap ada, misalnya perizinan membuat rumah ibadah agama minoritas yang dipersulit, pengusiran kelompok Syiah dan Ahmadiyah, atau bahkan konflik-konflik horisontal terkait para transmigran dengan masyarakat lokal.
Pada akhirnya penyampaian 'Visi Indonesia' tersebut harus diapresiasi sebagai informasi corak khas pemerintahan Jokowi periode kedua. Penyampaian tersebut juga dapat ditangkap sebagai hal-hal apa yang harus dikawal dan dikritik oleh masyarakat kepada pemerintah lima tahun ke depan.
Jokowi memang pernah berucap, tidak punya beban popularitas di periode kedua dan tidak punya beban masa lalu sebagai politisi. Namun, jangan sampai pengujung masa pemerintahannya kelak menjadi catatan hitam --seorang yang terkenal dengan kesederhanaannya, lahir dari rakyat, dan pemimpin yang jujur hanya sebatas dongeng pengantar tidur karena legacydua periodenya merupakan rezim yang kelam seperti Orde Baru.
Punta Yoga Astoni ; Magister Hukum Universitas Indonesia
Visi ini jika kita lihat dan maknai secara dalam ada kecenderungan pada periode kedua pemerintahan Jokowi akan berfokus pada pembangunan manusia Indonesia, tetapi ada beberapa sektor luput diungkapkan pada pidato tersebut. Entah karena kealpaan semata atau bukan menjadi fokus utama, bahkan bisa saja memang tidak menjadi visi Presiden Jokowi.
Sektor pertama adalah Hak Asasi Manusia (HAM). HAM seakan menjadi isu yang dijual ketika kampanye, namun akan tenggelam ketika berkuasa atau bahkan hanya menjadi kata pendamping nama di samping Kementerian Hukum sehingga jadi Kementerian Hukum dan HAM. Pada dasarnya HAM adalah kata yang gampang diucapkan tapi cukup sulit dilaksanakan. Pelanggaran HAM masa lalu pada pemerintahan Jokowi belum menemukan titik terang misalnya peristiwa terkait penghilangan orang pada 1998 atau isu hantu PKI yang muncul terus setiap tahun.
Ancaman HAM di era periode pemerintahan Jokowi pun tidak serta merta bersih dan tidak ada. Pada faktanya pelanggaran HAM akan ada dan selalu ada misalnya kriminalisasi orang-orang pejuang lingkungan, kebebasan menyampaikan pendapat selalu terjebak pada pasal karet Undang-Undang ITE, bahkan kebebasan warga negara dalam menjalankan aktivitas beragama semakin hari semakin pada simpul konflik horisontal yang bersinggungan.
Sektor kedua adalah pemberantasan korupsi. Pada penyampaian visi tersebut sepertinya pemberantasan korupsi seakan bukan menjadi fokus utama rezim ini. Padahal periode kedua berbarengan dengan pergantian komisioner KPK yang baru dan akan diseleksi yang dibentuk oleh pansel bentukan Jokowi.
Jokowi harusnya menaruh porsi lebih karena visinya terkait penggunaan anggaran negara, pembangunan, investasi bahkan reformasi birokrasi mempunyai penyakit kronis yang mengancam visi-visi tersebut yaitu perilaku korupsi. Contoh terbaru adalah OTT KPK pada Gubernur Kepulauan Riau yang terkena sangkaan pidana korupsi yang bersumber pada investasi pada proyek reklamasi (sektor pembangunan), dengan tersangka lain para birokrat pada pemda.
Pada sisi lain isu seleksi pimpinan KPK tidak pada fokus rekam jejak calon pada sektor pemberantasan korupsi semata, namun isunya dilebarkan dengan rekam jejak calon terkait radikalisasi. Hal ini seakan membuat fokus kualitas calon pimpinan KPK tidak pada integritas mereka untuk pemberantasan korupsi yang sebenarnya menjadi isu utama. Isu penyelesaian kasus penyerangan Novel Baswedan pun seakan terancam jalan di tempat pada masa pemerintahan Jokowi pada periode keduanya.
Sektor ketiga adalah lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup pada dasarnya dalam frasa pembangunan negara menjadi isu sekunder. Hal ini terlihat dengan frasa "pembangunan berkelanjutan" yang mana lingkungan hidup yang lestari adalah faktor penunjang penguat frasa pembangunan. Jokowi pada penyampaian visi tersebut seakan mengamini teori tersebut, yakni akan menggenjot pembangunan infrastruktur semata bahkan kata berkelanjutan dan lingkungan hidup tidak ada dalam pidatonya.
Pekerjaan Jokowi pada sektor ini di periode pertama memang tidak pernah selesai dan mungkin berlanjut pada periode kedua. Kebakaran hutan yang diklaim berkurang mungkin jadi prestasinya, namun pada sisi lain ancaman kerusakan lingkungan hidup masih terus terjadi misalnya ketidakjelasan kebijakan Jokowi pada isu reklamasi Teluk Benoa di Bali, reklamasi Jakarta, kasus banjir bandang di beberapa tempat di Indonesia.
Isu-isu itu meskipun terkesan isu lokal, namun setidaknya Jokowi harus merespons sebagai bentuk negara hadir untuk menjadikan pembangunan memang dilakukan untuk anak cucu bangsa di masa depan, bukan hanya program jangka pendek peninggalan rezimnya yang akan mewariskan kerusakan lingkungan.
Sektor keempat adalah keberagaman Indonesia. Isu ini memang disinggung sedikit, namun kedalaman permasalahan keberagaman pada era media sosial ini menjadi isu yang serius dan butuh penanganan yang sistematis. Informasi yang bias diterima masyarakat majemuk membuat politik identitas mayoritas dan minoritas bertumbuh subur. Isu SARA menjadi kayu bakar pada kontestasi Pemilihan Umum 2019.
Jokowi tidak cukup membuat narasi ajakan rekonsiliasi pada kelompok elite, namun perlu ada program menguatkan kemajemukan Indonesia itu nyata adanya. Jokowi tidak boleh berhenti pada seruan menegakkan ideologi Pancasila, namun membiarkan diskriminasi minoritas tetap ada, misalnya perizinan membuat rumah ibadah agama minoritas yang dipersulit, pengusiran kelompok Syiah dan Ahmadiyah, atau bahkan konflik-konflik horisontal terkait para transmigran dengan masyarakat lokal.
Pada akhirnya penyampaian 'Visi Indonesia' tersebut harus diapresiasi sebagai informasi corak khas pemerintahan Jokowi periode kedua. Penyampaian tersebut juga dapat ditangkap sebagai hal-hal apa yang harus dikawal dan dikritik oleh masyarakat kepada pemerintah lima tahun ke depan.
Jokowi memang pernah berucap, tidak punya beban popularitas di periode kedua dan tidak punya beban masa lalu sebagai politisi. Namun, jangan sampai pengujung masa pemerintahannya kelak menjadi catatan hitam --seorang yang terkenal dengan kesederhanaannya, lahir dari rakyat, dan pemimpin yang jujur hanya sebatas dongeng pengantar tidur karena legacydua periodenya merupakan rezim yang kelam seperti Orde Baru.
Punta Yoga Astoni ; Magister Hukum Universitas Indonesia