Orangtua, Pelindung atau Ancaman bagi Anak
TEMA peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2019 ialah bagaimana meningkatkan peran keluarga dalam perlindungan anak.
Tema ini penting dan strategis untuk kembali dikembangkan sebab dalam beberapa tahun terakhir ada indikasi keberadaan keluarga, terutama orangtua justru menjadi salah satu ancaman terhadap keselamatan anak-anak di rumah. Orangtua yang diharapkan menjadi pelindung utama keselamatan anak, dalam praktik tidak jarang justru menjadi pelaku tindak kekerasan yang paling menakutkan.
Seperti sering diberitakan di media massa, kasus penganiayaan anak yang dilakukan orangtua sendiri tidak sekali-dua kali terjadi. Di Jakarta, tepatnya di wilayah Kebon Jeruk, pada Mei 2019, dilaporkan kasus seorang ayah yang tega menganiaya hingga tewas anak kandungnya sendiri yang masih berusia 3 bulan.
Bayi yang lahir di luar pernikahan itu dianggap ayahnya sebagai pembawa sial sehingga bayi yang tidak berdosa itu pun kerap menjadi sasaran kemarahan dan rasa frustrasi pelaku yang notabene ialah ayah kandungnya sendiri.
Di luar kasus yang terjadi di Kebon Jeruk, daftar terjadinya tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga masih bisa terus diperpanjang.
Berdasarkan data KPAI, untuk wilayah Jakarta saja selama 2018, kekerasan terhadap anak tercatat mencapai 877 kasus. Sementara itu, secara nasional, angka kekerasan terhadap anak dan perempuan dilaporkan mengalami kenaikan dari 4.579 kasus pada 2017 menjadi 4.885 kasus pada 2018.
Terlambat
Dari berbagai tindak kekerasan yang menimpa anak-anak, salah satu yang memprihatinkan ialah kasus penganiayaan anak yang pelakunya ternyata ialah orangtua kandung korban. Bisa dibayangkan, orangtua yang semestinya menjadi pelindung utama anak-anak, ternyata dalam praktik justru merekalah yang paling berpotensi menjadi pelaku tindak kekerasan dalam berbagai bentuk.
Terlambat
Dari berbagai tindak kekerasan yang menimpa anak-anak, salah satu yang memprihatinkan ialah kasus penganiayaan anak yang pelakunya ternyata ialah orangtua kandung korban. Bisa dibayangkan, orangtua yang semestinya menjadi pelindung utama anak-anak, ternyata dalam praktik justru merekalah yang paling berpotensi menjadi pelaku tindak kekerasan dalam berbagai bentuk.
Studi Unicef (2015), melaporkan 26% anak diketahui pernah mendapat hukuman fisik dari orangtua atau pengasuh di rumah.
Sementara itu, 62% kekerasan terhadap anak dilaporkan terjadi di lingkungan terdekat keluarga dan lingkungan sekolah, baru selebihnya sebanyak 38% terjadi di ruang publik. Bukan hanya itu, predator atau pelaku kejahatan terhadap anak sering kali dilakukan orang terdekat anak yang menjadi korban, antara lain orangtua, guru, abang, keluarga terdekat, tetangga, bahkan kakek atau nenek korban.
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja pada 2018 yang dilakukan Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI melaporkan hal yang kurang-lebih sama.
Survei yang meneliti 11.410 rumah tangga yang tersebar di 232 kecamatan di 32 provinsi di Indonesia itu menemukan 3 dari 5 anak perempuan dan 1 dari 2 anak laki-laki mengalami kekerasan emosional. Temuan lainnya, 1 dari 5 anak perempuan dan 1 dari 3 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik.
Sementara itu, 1 dari 11 anak perempuan dan 1 dari 17 anak laki-laki lainnya mengalami kekerasan seksual. Pelaku kekerasan umunya didominasi teman dan orang dekat korban, termasuk orangtua korban.
Tindak kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua umumnya menjadi kasus yang paling sulit dibongkar, apalagi dicegah. Kasus penganiayaan yang dilakukan orangtua ini biasanya baru terbongkar setelah korban jatuh.
Kekerasan terhadap anak di dalam keluarga kerap tak tercegah dan terlambat diketahui karena korban biasanya tidak berdaya atau takut melaporkan kekerasan yang mereka alami. Di samping juga karena lokasi terjadinya tindak penganiayaan biasanya tertutup dari amatan publik.
Sebuah keluarga yang sejak awal bermasalah umumnya potensial menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anak kandungnya sendiri. Seorang ayah yang pecandu obat bius, peminum, dan juga seorang ibu yang impulsif, serta tengah mengalami masalah ekonomi, korban PHK, menanggung beban yang berat dan lain sebagainya, mereka biasanya rawan khilaf melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya.
Anak menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan dan tekanan yang dihadapi orangtuanya karena dipandang sebagai beban. Anak-anak yang tidak dikehendaki biasanya paling potensial menjadi korban karena sikap orangtua yang tidak sabaran dan telah terbiasa dengan iklim kekerasan yang mereka warisi dari orangtuanya dulu.
Banyak studi membuktikan, orangtua yang ketika kecil menjadi korban tindak kekerasan, ketika dewasa mereka justru tanpa sadar meneruskan tradisi kekerasan itu kepada anak-anaknya sendiri.
Pendekatan
Dalam keluarga, anak yang menjadi korban tindak kekerasan bentuknya bisa bermacam-macam. Tindak kekerasan yang paling umum dialami anak-anak dalam keluarga umumnya ialah penelantaran, verbal abuse, kekerasan ekonomi, dan tindak kekerasan fisik. Namun, tidak jarang pula ada sebagian anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual dan bahkan pembunuhan yang dilakukan orangtua kandungnya sendiri.
Pendekatan
Dalam keluarga, anak yang menjadi korban tindak kekerasan bentuknya bisa bermacam-macam. Tindak kekerasan yang paling umum dialami anak-anak dalam keluarga umumnya ialah penelantaran, verbal abuse, kekerasan ekonomi, dan tindak kekerasan fisik. Namun, tidak jarang pula ada sebagian anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual dan bahkan pembunuhan yang dilakukan orangtua kandungnya sendiri.
Meski hukuman yang diancamkan kepada orangtua pelaku tindak kekerasan lebih berat ketimbang pelaku kekerasan pada orang dewasa, tetapi hingga saat ini banyak orangtua tidak juga jera dan sadar agar tidak melakukan tindakan yang merisaukan itu.
Ancaman hukuman hingga 20 tahun bagi pelaku tindak kekerasan terhadap anak, alih-alih menimbulkan efek jera, justru dalam kenyataan sama sekali tidak berpengaruh. Di berbagai daerah, kasus tindak kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua korban terus bermunculan, bahkan dalam skala yang makin mecemaskan.
Tambahan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman hukuman yang standar tampaknya tidak membuat pelaku jera.
Untuk mencapai target pada 2030 bebas dari kasus tindak kekerasan terhadap anak dan sekaligus memastikan agar tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga tidak terus bermunculan, pokok persoalannya memang bukan pada regulasi dan pendekatan legalistik yang sifatnya kuratif.
Untuk mencegah agar anak-anak tidak lagi menjadi korban tindak kekerasan orangtuanya, selain melakukan penyuluhan dan mengembangkan pendidikan parenting bagi calon orangtua, yang tak kalah penting ialah bagaimana melibatkan peran serta kerabat dan masyarakat lokal menjadi bagian dari community support system yang peduli dan mengawasi tindak-tanduk orangtua yang berpontesi menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anak. ***