KTT IKLIM
Bencana Asap, Krisis Iklim, dan Realitas Pembangunan Berkelanjutan
Hari ini negara-negara peratifikasi Kesepakatan Paris berkumpul di KTT Iklim New York. Semua pihak diminta menyampaikan kontribusi penurunan emisi nasional yang konkret, realistis, dan ambisius.
Tidak penting apakah permintaan sesuai prosedur atau tidak karena seharusnya jawabannya diminta di forum Pertemuan Para Pihak (COP) tahunan pada konferensi iklim Kerangka Kerja PBB Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), yang pasti tahun ini COP-25 UNFCCC bakal digelar di Chile. Indonesia pun harus siap memaparkan kembali komitmennya menurunkan emisi, syukur jika bisa diperkuat, dibuat lebih ambisius.Saat ini bisa dijadikan momentum untuk refleksi diri bagi Pemerintah Indonesia. Saat ini secara bersamaan terjadi peristiwa penting. Peristiwa yang secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada krisis iklim, pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, dan arah kebijakan pembangunan yang ketiganya saling berkelindan.
Pertama, krisis iklim saat ini telah dihadapi Indonesia. Kekeringan terjadi berlarut-larut akibat El Nino yang frekuensinya naik sebagai akibat bumi yang semakin panas. Saat ini kenaikan suhu bumi telah mendekati 1 derajat celsius. Setiap kali El Nino terjadi, setiap kali pula terjadi kebakaran. El Nino tidak bekerja sendirian sebagai faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Sebelum El Nino datang, tata kelola kehutanan dan perkebunan yang silang sengkarut telah membuka jalan pada terjadinya karhutla. Pada survei beberapa tahun lalu oleh UKP4 (Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Percepatan Pembangunan), hanya sekitar 17 persen perusahaan perkebunan memenuhi syarat pencegahan karhutla, yang sudah tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Contoh paling jelas adalah ketidakjelasan informasi hak guna usaha (HGU) yang terus tertutup, padahal kebakaran banyak terjadi di lahan yang di atasnya terdapat HGU. Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengabaikan keputusan Mahkamah Agung yang sifatnya inkrah. Lembaga pemerintah itu berkeras tidak membuka informasi kepemilikan HGU untuk alasan yang tidak jelas, Akibatnya, pengawasan dari berbagai pemangku kepentingan di lapis masyarakat tidak bisa berjalan.
Kedua, tugas dan fungsi Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut yang bertugas membenahi kawasan hidrologis gambut (KHG) di sejumlah kawasan, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua, belum tuntas selesai. Bahkan, sebagian persoalan terhambat penyelesaiannya. Padahal, tugasnya akan selesai tahun depan. Menurut perpres tersebut, tugas BRG adalah melakukan pemulihan, perlindungan, dan penataan ulang KHG seluas sekitar 2 juta hektar yang mencakup aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Dan, di sinilah persoalan karhutla menjadi lebih mengkhawatirkan. Kebakaran yang membakar lahan gambut telah sebulan berlangsung. Korban penderita sesak napas dan infeksi saluran pernapasan akut mencapai ratusan ribu sebab asap tak kenal batas wilayah. Masa depan anak-anak yang terpapar asap secara berkelanjutan suram karena mereka akan terus terganggu kesehatannya.
Bukan hanya pencemaran udara, melainkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kebakaran hutan amat besar. Kebakaran tahun 2015 disebut-sebut demikian besar hingga melebihi emisi AS. Jadi, ada tiga dampak besar terkait kebakaran hutan yakni, kerusakan lingkungan yang menyebabkan kehancuran keanekaragaman hayati, pencemaran udara karena asap yang amat mempengaruhi kesehatan yang berdampak jangka panjang, dan emisi GRK dalam jumlah besar.
Ketiga dampak tersebut berkaitan erat dengan beragam tanggung jawab negara sebagai peratifikasi berbagai konvensi dan kesepakatan global. Bisa disebutkan yaitu Konvensi Keanekaragaman Hayati Protokol Nagoya, Kesepakatan Paris atau Persetujuan Paris (Paris Agreement) untuk emisi GRK, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terkait dengan kesehatan dan lingkungan yang bersih.
Dengan meratifikasi berbagai konvensi dan kesepakatan global, secara moral dan secara politis, Indonesia bertanggung jawab untuk menjalankan pembangunan sejalan dengan upaya memenuhi semua komitmen tersebut. Di sisi lain, Indonesia sebagai warga dari kelompok negara-negara G-20 yang bertanggung jawab atas 80 persen emisi GRK global juga berkewajiban secara moral untuk menurunkan emisinya dengan signifikan.
Membangun masa depan
Ketiga komitmen di atas berada di ranah lingkungan dan sosial dan saling berkelindan. Emisi GRK merupakan salah aspek untuk mengukur kualitas lingkungan. Kebakaran hutan adalah penyebab langsung dari rusaknya ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati secara masif. Sementara dampak lingkungan yang buruk akan berdampak pada kualitas manusia yang buruk akibat kualitas kesehatan yang buruk.
Masih belum lengkap, semua kebencanaan itu masih ditambah dengan pembangunan energi terbarukan yang tersendat. Indonesia masih terus mengembangkan energi fosil. Bahkan, hingga 2025, target pencapaian energi terbarukan baru 23 persen. Padahal, dari laporan IPCC, tahun 2030 menjadi salah satu tonggak pengukuran apakah dunia akan terselamatkan dari dampak perubahan iklim.
Laporan terbaru dari para ilmuwan di New York, seperti dilaporkan laman Euronews.com, menyebutkan, kondisi perubahan iklim terus memburuk dan tak mungkin dihentikan jika tak ada yang dilakukan. Ditegaskan oleh para ilmuwan yang berkolaborasi dengan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tersebut, suhu saat ini 1,1 derajat celsius di atas suhu pra-industri sekitar tahun 1850, atau naik 0,2 derajat celsius lebih tinggi dari rata-rata pada 2011-2015.
Indonesia adalah anggota dari G-20 yang emisi totalnya mencapai 80 persen dari emisi global. Sepantasnya jika sebagai negara dengan hutan tropis menawarkan penurunan emisi yang lebih ambisius. Saat ini, Indonesia telah menurunkan emisi 24,7 persen dibandingkan dengan emisi saat pembangunan dijalankan tanpa intervensi kebijakan baru (business as usual/BAU) dari target 29 persen dengan kekuatan sendiri. Indonesia mematok penurunan 41 persen dari emisi BAU dengan bantuan asing.
Alih-alih memperkuat komitmen, pemerintah saat ini justru sedang merancang berbagai undang-undang yang secara tidak langsung akan mempengaruhi penurunan emisi. Sebab, menyebut sebagian rancangan undang-undang, yaitu rancangan undang-undang terkait pertanahan, undang-undang terkait urusan korupsi, dan terkait pertanian, ketiganya secara tidak langsung akan memperburuk catatan emisi GRK plus kehancuran lingkungan. Sebab, semuanya berkaitan dengan urusan lahan berskala luas dan aktivitas masif.
Tak ada yang bisa dilakukan dalam kondisi tersandera bencana asap. Namun, belum terlambat apabila pemerintah secara serius menjalankan semua peraturan yang telah ada dan mulai secara tegas melakukan penegakan hukum. Bukan hanya hingga vonisnya lalu selesai, melainkan tuntaskan hingga eksekusi karena saat ini demikian banyak vonis pengadilan lingkungan hidup yang tidak dieksekusi. Vonis untuk kasus karhutla yang mencapai lebih dari Rp 16 triliun tidak tertagih dan pemerintah dalam hal ini lembaga yudikatif tetap bergeming.
Kini saatnya lembaga yudikatif menunjukkan kesungguhan dalam membantu pembangunan negeri mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB). Bisa jadi sekarang banyak pihak tak percaya lagi pada vonis pengadilan, terutama yang dijatuhkan kepada korporasi besar, ketika keadilan hanya hadir sebagai simbol: timbangan.
Pameo ”hukum tajam ke bawah majal ke atas” terus saja dilanggengkan. Vonis bisa berat. Namun, menanti eksekusi vonis pengadilan bagaikan menanti matahari terbit dari ufuk barat. Lebih dari Rp 10 triliun vonis masih ”terutang”. Sejatinya, bangsa ini membutuhkan kiprah nyata lembaga yudikatif untuk memastikan perlindungan dan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda karena lingkungan yang terjaga.
Membuat undang-undang baru terkait sumber daya alam, seperti undang-undang pertanahan, sumber daya alam, mineral dan batubara, serta undang-undang sumber daya air hanya akan memperburuk kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan buruk hanya akan memperburuk kondisi sosial dan ekonomi. Pada akhirnya, tujuan pembangunan berkelanjutan hanya menjadi penghibur: Indonesia turut ambil bagian. Semoga bukan itu realitasnya…. ***