KOLOM POLITIK
Jangan Menyerah!
Seperti hilangnya keperkasaan petinju legendaris ”anak ajaib” Mike Tyson yang dijungkalkan oleh underdog James ”Buster” Douglas pada 11 Februari 1990, kedigdayaan ”anak nakal” Komisi Pemberantasan Korupsi pun terjungkal setelah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan di DPR. Jurus sakti KPK tak mampu lagi menghadapi serangan ”lawan”. DPR kali ini bisa tersenyum puas. Presiden yang selama ini bisa berdiri di posisi terakhir menghadapi upaya pelemahan KPK, juga sudah gontai. Tinggallah publik bersedih.
Upaya menggergaji KPK memang datang bertubi-tubi. Dalam satu dekade ini, KPK selalu berada di ujung tanduk. Pada 2010, revisi UU KPK sudah bergulir di DPR. Namun, setiap serangan yang menunjukkan tanda-tanda pelemahan KPK dapat dipatahkan. Karena, rakyat tidak tinggal diam. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR akhirnya sepakat menghentikan pembahasan revisi UU KPK itu. Lima tahun kemudian, isu revisi UU KPK muncul lagi. Lagi-lagi, rakyat marah. Presiden Joko Widodo dan DPR akhirnya sepakat menunda revisi UU tersebut. Jika dilihat asal asapnya, rencana revisi UU KPK adalah agenda elite, baik di parlemen maupun pemerintah. Padahal pemberantasan korupsi adalah agenda reformasi yang merupakan suara rakyat yang terbebas dari rezim Orde Baru. Apakah DPR dan pemerintah tak lagi mendengar rakyat?Catatan KPK, jumlah tersangka korupsi terbanyak adalah para politikus, terutama di legislatif. Ketua KPK Agus Rahardjo awal September lalu menyebutkan, sampai Juni 2019, ada 255 anggota DPR dan DPRD terjerat kasus korupsi yang ditangani KPK. Masih ingat kasus skandal korupsi yang bikin runyam negeri ini, seperti kasus wisma atlet Palembang, proyek pusat olahraga Hambalang, kuota impor daging sapi, dana infrastruktur daerah, hingga proyek KTP elektronik. Semuanya muncul di DPR. Dalam pikiran sederhana, tentu saja DPR (dan DPRD dalam kasus-kasus lain) merasa jadi sasaran KPK. Siapa yang tak resah karena hidupnya disadap KPK dan setiap saat bisa ditangkap di mana saja.
Tak heran ”serangan balik” pun sudah terjadi berulang kali. Namun, kali ini benteng terakhir KPK jebol. Gerakan di DPR begitu cepat, bahkan nyaris tak kelihatan. Revisi UU KPK disahkan hanya berselang sekitar 12 hari sejak ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada 6 September lalu. Dan ketika Presiden Jokowi menyetujui usulan revisi UU KPK tersebut dengan berkirim surpres, publik langsung surprised dan bertanya-tanya: apakah Presiden Jokowi lupa dengan janji-janji politiknya saat masa kampanye?
DPR dan pemerintah memang menyatakan revisi UU itu untuk memperkuat KPK. Namun, narasi yang dirasakan publik justru sebaliknya. Bagaimana bisa dikatakan memperkuat kelembagaan jikalau KPK tidak lagi diposisikan superbody. Ketika korupsi dipandang bukan lagi extraordinary crime, lalu bagaimana cara memahami penguatan KPK dengan revisi UU tersebut. Penyadapan akan kehilangan sifat kerahasiaannya ketika disebarkan ke banyak pihak. Belum lagi implikasi potensi kebocorannya yang membuat pemberantasan korupsi amburadul. Bertambah repot apabila KPK mempunyai kewenangan menghentikan pengusutan kasus. Bukankah ketiadaan kewenangan penghentian kasus itu seharusnya dilihat dalam prinsip kehati-hatian dan kevalidan perkara. Di sini justru KPK dituntut tidak main-main dalam menangani kasus. Jadi, cara pandangnya mesti lebih jernih.
KPK memang lembaga ad hoc bukan permanen. Tentu saja lembaga itu bisa dibubarkan ketika negeri ini benar-benar bersih dan tiada lagi korupsi. Namun fakta bicara lain. kasus-kasus korupsi terus bermunculan. Kasus terbaru adalah penetapan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah KONI, dua hari lalu. Dengan kasus korupsi yang terus bermetamorfosis, hanya logika tak waras yang meminta KPK disudahi. Itu sama saja membiarkan tikus-tikus merajalela menyerbu sawah tanpa ada penjaga yang kuat. Harus diingat KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum lain, yaitu kepolisian dan kejaksaan, tak bertaji saat itu. Apabila KPK ingin dibubarkan, tentu saja syaratnya dua lembaga itu harus dapat menunjukkan sepak terjang yang kuat dalam pemberantasan korupsi. Jadi, sifat kesementaraan KPK haruslah dipandang seperti itu.
Hari-hari ini memang meresahkan. Namun, tak boleh berkecil hati. Salah satunya harapan ada di pundak para wakil Tuhan di Mahkamah Konstitusi ketika revisi UU itu diuji materi. Tak kalah optimistisnya adalah suara-suara di akar rumput. Optimisme itu juga terlihat dari wajah dosen-dosen muda terpelajar bergelar master dan doktor yang serius mengikuti pelatihan menulis opini pemberantasan korupsi di Makassar yang digelar Kompas Institute, pekan ini. Generasi muda dari Makassar, Kendari, Gorontalo, dan Manado itu begitu bersemangat. Inilah harapan. Menolak menyerah. ”Saya harus bermimpi meraih bintang-bintang. Jika saya kehilangan bintang, maka saya ambil segenggam awan,” kata Mike Tyson. ***