Berbahasa Satu, Bahasa Pancasila
Harian Kompas, Selasa (22/10/2019), memberitakan lemahnya dampak Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan karena bahasa Inggris tetap dominan dipakai di ruang publik. Baru saja Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Kedua peraturan ini wajib kita hargai karena menegaskan tanggung jawab dan komitmen pemerintah pada wasiat dan keajaiban sumpah ketiga Sumpah Pemuda.
Meski demikian, sebenarnya ada kepentingan yang lebih mendesak terkait kesatuan ”bahasa” kita ini dibandingkan dengan persoalan kita menjadikan bahasa Indonesia tuan rumah di negeri sendiri. Keberhasilan para pemuda pejuang merumuskan sumpah ketiga ”Berbahasa satu, bahasa Indonesia” merupakan langkah politis yang luar biasa visioner. Keberanian memilih sebuah bahasa yang egaliter demi mempersatukan visi dan perjuangan mampu mengalahkan pertimbangan primordial dan cara pandang mayoritas- minoritas.Keputusan memilih bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu dan diberi nama baru bahasa Indonesia juga menegaskan tingginya kedewasaan, rasionalitas, dan imajinasi para pemuda era itu. Tentu saja ini muskil terjadi tanpa kebesaran hati Jong Java yang merelakan bahasa Jawa tidak menjadi bahasa perjuangan meski memiliki penutur terbanyak.
Rasionalitas, kedewasaan, dan imajinasi para pemuda pejuang itu faktor terpenting membangun bahasa Indonesia jadi bahasa pemersatu. Hasilnya, kesadaran kolektif sebagai satu bangsa yang mengalami kesamaan nasib, penderitaan, dan impian merdeka mampu mengesampingkan kepentingan kedaerahan, etnis, ataupun kelompok politik dan agama. Bahasa Indonesia tidak hanya memudahkan komunikasi lintas etnis, budaya, dan generasi, tetapi akhirnya mampu menyatukan sikap batin sebagai bangsa dengan satu visi, merdeka!
Sayangnya, setelah kemerdekaan kita raih dan bahasa Indonesia telah menjadi bahasa keseharian semua kelompok masyarakat, timbul gejala yang justru menomorduakan bahasa Indonesia dan menomorsatukan bahasa Inggris. Gejala serupa terjadi antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia karena bahasa daerah semakin jarang digunakan ketimbang bahasa Indonesia. Kompas.com (10/2/2018) bahkan memberitakan adanya 11 bahasa daerah yang punah, 4 kritis, dan 2 mengalami kemunduran.
Berkaca dari fenomena itu, sebuah komunitas memakai bahasa tertentu dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan yang bersifat psikologis ketimbang yang hanya bersifat legal dan fungsional. Pertimbangan psikologis itu terkait misalnya dengan status sosial, kebanggaan intelektual, ataupun asosiasi dengan peradaban yang lebih maju. Oleh karena itu, seberapa teguh masyarakat tetap menjaga, merawat, dan memakai bahasa Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh rasa bangga masyarakat terhadap kemajuan Indonesia secara keseluruhan.
Lagi pula, kemajuan teknologi komputer telah memudahkan kita belajar dan memahami berbagai bahasa alami. Meski belum sempurna, penerjemahan satu bahasa tulis ke bahasa lain sudah dapat dilakukan secara otomatis dan malah gratis. Yang menakjubkan, komputer mampu menyediakan tulisan dari sebarang ucapan verbal. Kita kini bisa menikmati berbagai video berbahasa Inggris di kanal Youtube karena dilengkapi tulisan dari tiap ucapan.
Kecerdasan komputer melakukan penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, baik secara verbal maupun tulis, ini berkat pengembangan kecerdasan buatan berbasis deep learning. Dengan deep learning, kecerdasan buatan komputer dapat meniru kerja otak manusia yang dapat belajar. Dengan kata lain, deep learning akan menjadikan program penerjemahan bahasa semakin hari semakin sempurna.
Bahasa Pancasila
Kenyataan terkini ini memberi konteks yang lebih tepat terkait keprihatinan kita akan penggunaan bahasa Indonesia. Perkaranya jadi lebih jelas bahwa popularitas sebuah bahasa terkait erat dengan kemajuan peradaban dari mana bahasa itu berasal. Oleh karena itu, tak akan efektif apabila solusinya memakai pendekatan legal semata. Yang lebih mendasar adalah menggagas berkembangnya ”bahasa” yang secara metaforik terkait erat dengan perjuangan membangun peradaban bangsa. Sebuah cara berbahasa yang menumbuhkan ikatan batin seluruh bangsa. Hal itu sebenarnya sudah kita mulai sejak bergulirnya era Reformasi.
Namun, era Reformasi yang bercirikan kebebasan berekspresi dan berpolitik memunculkan kekhawatiran baru, yakni retaknya bangsa. Kekhawatiran itu kian nyata jika kita mencermati pertukaran wacana kebangsaan dan bahasa politik yang digunakan di dua kali pemilu terakhir. Meski menggunakan bahasa Indonesia yang sama, pertukaran wacana itu tak mencerminkan kesadaran akan kesamaan cita-cita sebagai satu bangsa yang beragam. Bibit keretakan persatuan bangsa itu mulai tumbuh lewat berbagai gerakan intoleransi ataupun radikalisme agama yang menegasikan keberadaan pihak lain yang tidak sepaham.
Dalam konteks kehidupan sosial politik seperti ini, aktualisasi Sumpah Pemuda lebih tepat diarahkan untuk merumuskan ”bahasa pemersatu” baru demi lahirnya kesadaran kolektif baru sebagai bangsa yang menghadapi tantangan perjuangan baru dibandingkan era prakemerdekaan. ”Bahasa pemersatu” yang baru itu bukanlah pertama-tama terkait bahasa alami sebagai sarana komunikasi, tetapi lebih berupa cara berpikir, bertutur, dan bertukar wacana yang dilandasi nilai-nilai yang jadi kepentingan perjuangan hidup sebagai bangsa besar. ”Bahasa” itu sudah ada, yakni ”bahasa Pancasila”.
Memakai bahasa alami apa pun, baik bahasa Indonesia, bahasa daerah, atau bahasa Inggris sekalipun, sebenarnya tidak begitu menjadi masalah dalam merawat persatuan bangsa asalkan langgam, nada, serta orientasi dari bahasa yang kita gunakan adalah Pancasila.
Memakai ”bahasa Pancasila” ini, pertukaran wacana dalam bentuk debat, diskusi, ataupun seminar sebaiknya mencerminkan rasa dan nilai-nilai Pancasila. Hal itu berarti pejabat, politikus, dan tokoh masyarakat harus punya kesadaran tinggi bahwa, misalnya, membicarakan ”Keadilan Sosial” menuntut semua pihak untuk mengutuk korupsi dan sebahasa merumuskan langkah pencegahan dan penghukumannya.
Jika Pancasila menjadi bahasa pemersatu, perdebatan dan diskusi politik seharusnya berkutat pada persoalan keagamaan yang berbudaya, martabat bangsa, keutuhan dan persatuan bangsa, demokrasi yang otentik, serta keadilan sosial yang menyejahterakan. Tidak ada kata terlambat dalam menghidupi ”bahasa Pancasila”, lebih-lebih minggu ini kita punya peluang emas bersama, yakni mewujudkan pemerintahan yang berdaya selama lima tahun ke depan. Peringatan Sumpah Pemuda tahun ini merupakan momentum tepat karena bersamaan dengan lahirnya kabinet dan wakil rakyat yang baru.
Semoga ”bahasa Pancasila” menjadi bahasa wajib para pemimpin dan wakil rakyat baru demi meningkatnya martabat dan kebanggaan sebagai bangsa besar dan beragam. Sejalan dengan kemajuan bangsa, bahasa Indonesia akhirnya akan menjadi bahasa kebanggaan semua.
Johanes Eka Priyatma, Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta