”Conspirata”
Di atas mimbar, di Kuil Jupiter di luar kota Roma, dengan suara bernada muram Cicero mengatakan, ”Ada banyak luka yang tersembunyi di republik ini.”
Ia berhenti sesaat, memandang wajah-wajah para senator berjubah putih di dalam ruangan sidang itu. Ada di antara mereka yang dikenal sebagai pejuang kaum populis, antara lain adalah Gaius Julius Caesar dan Marcus Licinius Crassus. Para anggota Fraksi Patricius (Bangsawan), antara lain Catulus, Isauricus, dan Hortensiu. Lalu, Servilius Rullus yang mengajukan RUU Agraria, soal pembagian tanah bagi rakyat, yang didukung oleh Caesar, tetapi ditolak Cicero.
Dilihat juga sekilas Lucius Sergius Catilina. Lalu, Cicero melanjutkan pidatonya: ”Saat ini sedang dibentuk banyak muslihat busuk oleh warga yang jahat.Namun, tidak ada bahaya dari luar. Tiada ada raja, tak ada pihak, tidak ada bangsa yang perlu ditakuti. Kejahatan itu sepenuhnya berada di dalam gerbang kita. Kejahatan itu internal dan domestik.”Sambil melempar pandangan ke seluruh ruangan tempat para senator berada, Cicero melanjutkan pidatonya. ”Setiap orang di antara kita wajib memperbaiki keadaan ini dengan sekuat tenaga. Jika kalian berjanji kepadaku akan menegakkan martabat bangsa dengan gigih, aku tentu akan mewujudkan hasrat terdalam republik ini—bahwa kewenangan senat ini, yang ada sejak masa leluhur kita, kini dapat dikembalikan kepada negara, setelah lama hilang,” katanya mengakhiri pidatonya lalu duduk di kursi khusus.
Itulah pidato pertama Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), seorang negarawan, ahli hukum, cendekiawan, dan penulis kondang di zaman Romawi. Hari itu, 1 Januari 63 SM, dalam pelantikannya sebagai consul(konsul). Konsul adalah pejabat tertinggi di Roma pada masa itu. Ia adalah salah seorang dari dua konsul yang ada di sistem pemerintahan Romawi.
Dengan sangat bagus, Robert Harris mengisahkan dunia perpolitikan Romawi dalam novel sejarah Conspirata (2009) yang merupakan novel kedua dari trilogi Cicero: Imperium (2006) dan Dictator (2015). Judul asli Conspirata adalah Lustrum.
Kata conspirata adalah bentuk ablativus tunggal dari conspiratus yang berarti ”seia sekata, rukun,” dan ”berkomplot”. Adapun kata conspiratiberarti ”orang yang berkomplot”. Dari sini pula muncul kata conspiratio,yang berarti ”komplotan” (K Prent cm, J Adisubrata, dan WJS Poerwadarminta, Kamus Latin-Indonesia, 1969). Jadi, Robert Harris ingin mengisahkan tentang komplotan politik di Romawi di tahun-tahun akhir Republik Romawi (510-31 SM).
Romawi pada masa itu dikenal sebagai era titan politik. Terjadi persaingan sengit dan kejam di antara tujuh titan politik yang berebut kekuasaan. Ketujuh tokoh itu adalah Cicero, seorang konsul, orator ulung, ahli hukum, dan negarawan; Gaius Julius Caesar (100-44 SM) yang dikenal sebagai diktator populis, tetapi bengis, politisi, jenderal, sejarawan; Gnaeus Pompeius Magnus (106-48 SM) atau Pompey atau Pompey Agung adalah seorang jenderal terbesar, penting, sangat berpengaruh, dan pemimpin politik di masa itu.
Tokoh lainnya adalah Marcus Licinius Crassus (115-53 SM), seorang jenderal dan politisi yang memainkan peranan kunci dalam transformasi Republik Romawi ke Kekaisaran Romawi. Ia sering disebut sebagai ”Orang terkaya di Roma”. Crassus bersama Pompey dengan mengerahkan 40.000 tentara menumpas pemberontakan para budak (73-71 SM) yang dipimpin oleh Spartacus (109-71 SM), seorang gladiator.
Lalu, Marcus Porcius Cato yang juga disebut Cato Muda (95-46 SM). Cato dikenal sebagai seorang pemimpin aristokrat konservatif yang berusaha mempertahankan Republik Romawi dengan menghadapi para pencari kekuasaan, khususnya Julius Caesar. Karena itu, Caesar sangat benci terhadap Cato. Dan, ketika Caesar berkuasa, ia sama sekali tidak mau memaafkan Cato.
Cato, meski boleh dikatakan tanpa sekutu, berani melawan Caesar yang kemudian membentuk Triumvirat Pertama (60-53 SM): Caesar, Crassus, dan Pompey. Ketiga orang ini menjadi orang paling berkuasa di Roma dan mengantar Caesar menjadi diktator.
Bersatunya tiga tokoh itu menjadi kekuatan dahsyat di Roma. Caesar, tokoh yang sangat populer, dan yang selalu berusaha mencuri hati rakyat, dengan membagikan tanah negara kepada rakyat. Crassus sebagai orang terkaya di Roma mendukung dengan hartanya. Lalu, Pompey adalah tokoh militer yang sangat berpengaruh. Ketiganya membangun kekuatan yang sangat kuat.
Dua tokoh lainnya adalah Lucius Sergius Catilina (108-62 SM) dan Publius Clodius Pulcher, (93-52 SM). Catilina adalah seorang politisi, konspirator, dan dikenal sebagai politisi psikopat yang nafsu kekuasaannya sangat besar. Ia seorang bangsawan, tentara, dan senator. Ia pernah berusaha menjatuhkan Republik Roma dengan menyingkirkan para senator aristokratik, tetapi gagal.
Di zaman seperti itulah Cicero hidup. Ia menjadi konsul ketika persaingan untuk memperebutkan kekuasaan di Republik Roma dilakukan dengan keras dan kejam. Konspirasi politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Misalnya, konspirasi yang dipimpin oleh politisi aristokrat Catalina, yang didukung oleh faksi-faksi bayangan lainnya, bahkan Caesar terlibat.
Cicero, karena kejujurannya dan tidak mau main kotor serta tidak sungkan mengungkap siapa yang bermain dangan menghalalkan segala cara—persekongkolan, pengkhianatan, pembujukan, dan sejenisnya—memiliki banyak musuh. Ketika Caesar, Crassus, dan Pompey meraih kekuasaan politik, Cicero menyadari telah menabur benih kejatuhannya sendiri.
Dalam politik, kelemahlembutan seperti yang dilakukan Cicero dipandang sebagai kelemahan. Sebaliknya, kejahatan sebagai kekuatan yang gamblang dahsyat bagaikan petir. Dan, menurut Cicero, dua sifat dalam politik yang muncul seiring adalah berambisi besar dan berotak keledai (dungu). Akan tetapi, Napoleon Bonaparte mengatakan, ”Dalam politik, kedunguan itu bukanlah halangan.” Karena itu, banyak politisi yang terjerumus lebih dari dua kali di lubang yang sama.
Cicero mengakui bahwa ambisi bukan hal yang tidak terhormat. ”Aku sendiri ambisius. Namun, nafsunya meraih kekuasaan benar-benar tak wajar. Saat aku memandang matanya, rasanya seperti menatap lautan gelap saat badai menggelora,” kata Cicero ketika menjelaskan seperti apa Caesar yang tidak peduli kepada siapa pun, kecuali dirinya sendiri.
Sebaliknya, Cicero lebih mendahulukan kesejahteraan republik di atas kepentingan pribadi. Namun, meskipun mendahulukan kepentingan rakyat, Cicero pada akhirnya menjadi musuh rakyat yang digerakkan oleh musuh politiknya. Akhir hidupnya tragis: dibunuh dengan cara dipenggal kepala dan tangan kanannya atas perintah Mark Antony. Padahal, sebelumnya, Cicero bersekutu dengan Mark Anthony yang kemudian membentuk Triumvirat Kedua bersama Octavianus dan Lepidus pada 43 SM.
Apakah nasib Cicero adalah konsekuensi tak terhindarkan atas tindakan-tindakan bermotif terhormat yang dilakukan oleh orang besar? Yang pasti, nasib Cicero membenarkan yang dikatakan oleh Aristoteles (384-322 SM), ”Manusia pada dasarnya adalah binatang politik.” Dan, kemudian dirumuskan oleh Plautus (495) menjadi lupus est homo homini, lalu dipopulerkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) menjadi homo homini lupus est, manusia adalah serigala bagi sesama.
Aristoteles (lalu Plautus dan Thomas Hobbes) ingin mengatakan bahwa ada watak binatang terselip dalam setiap insan politik. Yang lalu dipertegas oleh filosof Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), dengan menyebut watak ”ular dan merpati”.
Sifat ular adalah cerdik, luwes, gesit, mematikan, dan jalannya tidak bisa lurus alias bekelok-kelok, serta cenderung licik dan jahat. Adapun merpati berwatak lembut dan penuh kemuliaan, setia, dan tulus. Hanya celakanya, yang sering lebih menonjol adalah watak ular ketimbang merpati. Maka, jadinya adalah cerdik dan bahkan licik seperti ular; bukan ”cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”
Dan, Cicero pun dipagut oleh ular-ular yang cerdik dan licik, yang tidak hanya menimbulkan ”banyak luka di republik ini”, tetapi bahkan mematikan.***