PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan sebagai Panglima
Untuk pertama kalinya, pemerintah meluncurkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (Kompas, 10/10/2019). Perhatian pada pembangunan kebudayaan menjadi sangat penting di tengah situasi politik yang memanas sekarang ini. Eskalasi suhu politik telah membuat negeri ini mengalami kekeringan kultural dan penduduknya mengalami dehidrasi kearifan.
Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) merupakan instrumen khusus untuk mengukur capaian kinerja pembangunan kebudayaan. Berdasarkan perhitungan resmi, dari 13 provinsi yang memiliki nilai IPK di atas angka nasional (53,74), DI Yogyakarta yang tertinggi (73,79) melampaui Bali (65,39), Jawa Tengah (60,05), Bengkulu (59,95), dan Nusa Tenggara Barat (59,92).Pengukuran IPK mengacu konsep Culture Development Indicators UNESCO. Konsep ini mencakup tujuh dimensi pembangunan kebudayaan, yaitu (1) dimensi ekonomi budaya, (2) dimensi pendidikan, (3) dimensi ketahanan sosial-budaya, (4) dimensi warisan budaya, (5) dimensi ekspresi budaya, (6) dimensi budaya literasi, dan (7) dimensi kesetaraan jender.
Namun, peluncuran IPK ini masih perlu dibarengi upaya pengarusutamaan pembangunan kebudayaan itu sendiri. Jika tidak, IPK sekadar jadi narasi aksesori yang bahkan tak mampu mengalihkan perhatian publik yang sedang terhipnotis politik. Peluncuran IPK semestinya jadi momen mendongkrak kebudayaan sebagai basis praktik kehidupan demokrasi.
Demokrasi politis
Secara nasional, dimensi ketahanan sosial-budaya Indonesia punya nilai tertinggi (72,84) dan dimensi ekonomi budaya paling rendah (30,56). Hal itu menunjukkan kemampuan kebudayaan Indonesia dalam mempertahankan dan mengembangkan identitas, pengetahuan, dan praktik budaya pada kehidupan sosial cukup baik. Sementara kemampuan kontributif budaya untuk pembangunan ekonomi masih sangat lemah.
Jika kehidupan sosial itu hanya mencakup kehidupan bermasyarakat sehari-hari, nilai tinggi 72,84 itu cukup faktual. Namun, kehidupan sosial mencakup juga dimensi politik sebab kekuasaan dan wewenang merupakan salah satu aspek sosial yang utama.
Dengan demikian, demokrasi merupakan bentuk perilaku sosial. Struktur kepartaian di Indonesia sendiri merupakan perwujudan struktur sosial masyarakat (Nasikun, 2005). Donald Hindley (1970) juga melihat bahwa keberagaman sosial (SARA) menjadi basis kehidupan politik di negeri ini sejak awal kita merdeka.
Jika dilihat dari sisi ini, kemampuan kebudayaan Indonesia dalam mempertahankan dan mengembangkan identitas, pengetahuan dan praktik budaya pada kehidupan sosial-politik (demokrasi) terasa masih sangat rendah. Politik tak bermartabat (tak berbudaya) kita sudah sangat parah, terpapar mulai dari praktik KKN, politik uang, kampanye hitam, hingga digelayuti konflik berbasis hoaks, ujaran kebencian, dan perundungan.
Pesta demokrasi kita merupakan pesta prasmanan kepentingan yang tak jarang berujung ricuh. Pemilu di semua level merupakan praktik politik yang tak mengedepankan nilai-nilai, filosofi, kearifan, kebijakan, dan kemartabatan kultural. Aroma tak sedap selalu muncul dari borok- borok praktik demokrasi kita. Lemahnya faktor kebudayaan terlihat dari sedikitnya pemimpin berbudaya yang berperan penting di kancah politik kita.
Politik masih menjadi panglima. Para penguasa memainkan politik di semua lini, termasuk di semua dimensi yang tercakup di IPK itu. Dari dimensi pendidikan hingga dimensi ekspresi kebudayaan, termasuk kegiatan berkesenian, semua dipolitisasi demi kekuasaan.
Demokrasi kita politis adanya. Mahfud MD menyebut demokrasi seperti itu sebagai demokrasi menang-menangan. Parlemen menjadi arena permainan kekuasaan dan ajang perebutan kekuasaan semata. Kompetisi menjadi pertarungan sengit tak sehat dan tak nalar. Semua ingin menang, berkuasa, dan menghegemoni.
Demokrasi kultural
Sebagai lawan dari demokrasi menang-menangan, Mahfud mempromosikan paradigma demokrasi bahari. Budaya bahari adalah budaya yang di dalam kehidupan bersama, termasuk di bidang politik, berwatak sangat egaliter, guyub, sportif, dan acceptative terhadap perbedaan dan keberagaman.
Bahari menggambarkan ketenangan dan ketinggian permukaan yang sama. Berbeda dengan daratan yang bergelombang, ada bukit, lembah, gunung, dan jurang. Budaya kontinental ditandai dengan politik menang-menangan dan ambisi untuk menghegemoni.
Mahfud menyerukan untuk kita mengembalikan budaya politik ke budaya bahari. Demokrasi kita sudah sangat western, penuh permusuhan dan persaingan tak sehat untuk saling mengalahkan. Adapun demokrasi kita berbasis budaya bahari yang ditandai dengan permusyawaratan (deliberative democracy) untuk mencapai kesepakatan dalam semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan sikap saling menghargai dan menerima.
Praktik demokrasi bahari, seperti diusulkan Mahfud, merupakan bentuk pengarusutamaan kebudayaan. Namun, untuk menjadikan kebudayaan sebagai panglima dalam kehidupan demokrasi, perlu peran para pemimpin serta politisi sebagai pelaku politik berbasis kebudayaan. Dan, hal ini kian langka.
Ambil contoh, parlemen. Jika diklik tulisan ”DPD kisruh” di mesin pencari elektronik Google, kita mendapatkan banyak artikel membahas tentang itu. Ada judul-judul sinis-pesimistik, seperti ”Kapan Kisruh DPD Berakhir?” dan ”Jelang Habis Jabatan, Sidang DPD RI Ricuh”.
Apa yang para senator ini bawa ke parlemen hingga kericuhan senantiasa terjadi? Ada apa dengan kepemimpinan para senator ini sehingga seolah mereka miskin hikmat dan kebijaksanaan? Jika DPD lembaga yang terdiri atas para wakil daerah, semestinya setiap mereka bukan hanya membawa aspirasi daerahnya sendiri-sendiri, melainkan juga membawa kearifan lokal yang unggul dari seluruh Nusantara. Namun, kenyataannya, DPD tak ubahnya DPR, sama-sama rutin menggelar pesta prasmanan kepentingan.
Parlemen semestinya jadi tempat digelarnya pesta prasmanan kearifan kultural. Wakil-wakil rakyat dari Kalimantan hadir untuk mempraktikkan kepemimpinan memut menteng (bertindak penuh tanggung jawab), bakena (arif bijaksana), dan barendeng (mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat).
Wakil dari Maluku mempraktikkan kepemimpinan kabaresi, memimpin dengan berani karena kebenaran. Yang dari Jawa mempraktikkan kepemimpinan menang tanpa ngasorake, menang tanpa menghegemoni dan merendahkan orang lain, selalu mencari jalan untuk win-win solution.
(Haryadi Baskoro, Pendiri Indonesia Rumah Kebhinnekaan (Inruka); Antropolog-Teolog)