BAHASA
Langganan, ”Subscribe”
Akankah kata langganan lenyap dari peredaran akibat tergusur oleh subscribe? Tanyaan itu muncul setelah beredar banyak isu soal penyusutan penerbitan atau kematian media (massa) cetak lantaran terdesak oleh kecanggihan teknologi internet. Selama ini media cetak menjadi promotor utama pemakaian dan penyebarluasan kata langganandan turunannya. Di kanal YouTube kata subscribe terus digaungkan untuk menggaet perhatian warganet. Beberapa media cetak Indonesia ternyata juga menggunakan subscription untuk mengundang pelanggan baru.
Jawaban optimistis atas tanyaan itu memperkirakan bahwa kata langganan—baik dalam arti ’berlangganan’ maupun ’pelanggan’—akan tetap beredar di tengah serbuan kata subscribe di ruang maya. Alasannya, langganan telah ”melembaga” sebagai idiom yang merujuk pada banyak kebutuhan dasar atau keperluan rutin sehari-hari manusia. Sudah sejak lama terdengar ungkapan langganan air, langganan listrik, langganan koran, juga langganan beras, langganan sayur-mayur, langganan susu (sapi), dan lain-lain. Artinya, pemakaian kata langganan mencakup utilitas penting dan tertancap kuat dalam pikiran khalayak ramai.Daya tahan langganan telah teruji dalam sejarah. Kata itu harus bersaing melawan abonemen pada masa lalu. Seturut asal-usulnya, abonnementhanya akrab di lingkaran orang Belanda dan selapis tipis elite pribumi yang ikut berlangganan koran atau susu sapi. Pada awal dekolonisasi, abonemen masih tertulis dalam media pers Indonesia, tetapi setelah itu langganan menyodoknya hingga sekarang. Koran ini, misalnya, mencantumkan informasi Layanan Pelanggan, Harga Langganan, dan Bagian Sirkulasi (Langganan) pada setiap edisinya. Media cetak pula yang berperan membentuk langganan society ’masyarakat (ber-)langganan’ di negeri ini (lihat Eduard Kimman, Indonesian Publishing, 1981).
Secara antropologi pun, kata langganan punya pijakan cukup kuat. Umumnya usaha dagang berskala kecil dan menengah, terutama di desa-desa, menjadikan langganan sebagai relasi yang diperluas—bukan hanya antara penjual dan pembeli, tetapi juga antara penjual/ produsen dengan pengusaha yang lain sehingga terbentuk langganan tetep (kajian Jennifer Alexander, Trade, Traders and Trading in Rural Java, 1987). Hubungan langganan itu tetaplah relasi ekonomi, tetapi juga mewujudkan jalinan kontak antarpribadi beralaskan nilai-nilai sosial-kultural seperti jujur, saling-percaya, toleran, dan sebagainya.
Adapun subscribe tampaknya ramai dipakai warganet hanya di media sosial. Benar, kata itu berpadanan dengan ”berlangganan” dalam bahasa Indonesia. Sejauh contoh kalimat yang ditemukan, subscribe paling pas untuk mengatakan berlangganan koran/majalah seperti I subscribe to many magazines. Namun, untuk menyatakan berlangganan hal lain, subscribe tidak bisa dipakai. Berlangganan air, misalnya, contoh kalimatnya We buy water and have it delivered to us (dalam Hadi Podo dan Joseph J Sulivan, Kamus Ungkapan Indonesia–Inggris, 1986). Kalau begitu, pemakaian kata subscribe dalam arti ‘jual-beli secara tetap’ mungkin lebih terbatas (obyeknya) ketimbang berlangganan dalam bahasa Indonesia.
Lewat waktu isya, pada suatu malam Jumat Kliwon, pintu depan rumah saya tiba-tiba terdengar diketuk dari luar. ”Langganan, masééé. . ..” Rupanya Pak Rebo, pengelana asal Klaten, Jawa Tengah. Hanya dengan sepatah kata (plus sapaan-cakapan) yang diucapkan agak mendayu itu, saya pun hafal: ia menawarkan pijitan dan kerikan.
Kasijanto Sastrodinomo, Alumnus FIB Universitas Indonesia