EVALUASI UJIAN NASIONAL
Mengingatkan (Janji) Jokowi
Saya masih ingat janji kampanye Presiden Jokowi lembaga tes masuk perguruan tinggi lima tahun lalu: mengevaluasi ujian nasional. Faktanya, sampai saat ini tak ada evaluasi terhadap kebijakan ujian nasional.
Jika pendidikan kita ingin melahirkan manusia unggul agar Indonesia maju, evaluasi terhadap kebijakan ujian nasional (UN) sebuah keharusan! Kebijakan UN mengendurkan semangat belajar, mendemoralisasi guru, menyempitkan makna pengajaran dan pemelajaran, serta implementasi yang penuh kecurangan menjadikan hasil UN tidak obyektif mengukur kemampuan siswa.Bahkan, ketika UN telah dilaksanakan lebih dari 10 tahun, kita belum melihat peningkatan signifikan prestasi anak-anak Indonesia. Dalam berbagai tes skala internasional, prestasi anak-anak Indonesia masih memprihatinkan.
Kebijakan UN telah menguatkan sistem drill dalam pengajaran. Guru mengajar hanya untuk tes. Terjadi diskriminasi dan perlakuan dalam memandang mata pelajaran. Dari sisi implementasi, terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, masif. Dampaknya bagi guru dan kepala sekolah adalah demoralisasi dan demotivasi.
Politisasi pendidikan lewat kebijakan UN memaksa guru dan kepala sekolah memenuhi nafsu sesaat kepala daerah yang memberhalakan nilai UN sebagai kriteria keberhasilan pendidikan. Akibatnya, banyak perilaku tak terpuji terjadi hanya untuk meningkatkan nilai UN. Singkatnya, kebijakan UN lebih banyak membawa malapetaka berkelanjutan daripada perbaikan pendidikan.
Kalah pamor
Ujian nasional berbasis komputer (UNBK) yang digalakkan sejak tiga tahun terakhir sebenarnya membawa angin perubahan. Hasil UNBK semakin obyektif.
Meski demikian, tetap saja hasil UN tak dapat dipakai sebagai syarat seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Nilai UN kalah pamor dengan nilai rapor sekolah yang menjadi dasar seleksi masuk perguruan tinggi (PT) melalui jalur undangan, tanpa tes. Nilai rapor sebagai syarat seleksi melalui jalur undangan tanpa tes membuka berbagai macam praktik curang dan manipulatif untuk mengatur nilai.
Berkurangnya kuota seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) dari tahun ke tahun melalui jalur undangan—yang mendasarkan diri pada nilai rapor yang pada mulanya sebesar minimal 50 persen, sekarang kuotanya turun menjadi minimal 20 persen—menunjukkan ada ketidakberesan proses penilaian di sekolah kita. Terjadi distorsi nilai rapor.
Manipulasi nilai berakar dari kebijakan kuota tinggi. Padahal, distribusi kurva normal anak-anak cerdas pun sebenarnya di kisaran 10 persen (di atas standar deviasi 2) dari total populasi. Kuota jalur undangan yang melebihi porsi kurva normal distribusi kecerdasan melahirkan dorongan manipulasi nilai. Akibatnya, PTN dirugikan. Calon mahasiswa yang diterima melalui jalur undangan tak menunjukkan profil kompetensi dan pengetahuan seharusnya.
Iming-iming diterima tanpa tes masuk PTN jadi sumber manipulasi dan kolusi sekolah (dan juga orangtua). Mereka mendesain nilai rapor siswa bahkan sejak semester awal kelas X. Ini diperparah dengan citra publik bahwa sekolah favorit ditandai dengan banyaknya lulusan yang diterima di PTN. Akibatnya, banyak sekolah berlomba-lomba meninggikan nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Kebijakan KKM yang semula dipergunakan untuk membantu meremediasi peserta didik yang belum tuntas belajarnya tiba-tiba secara sistematis salah kaprah diterjemahkan sebagai nilai minimal di dalam rapor.
Konsep KKM saat ini memang perlu dikritik. Dalam praktik, kebijakan KKM ternyata sangat destruktif, baik bagi siswa maupun guru. Bagi siswa, individu dipaksa memperoleh nilai minimal dalam rapor yang jauh dari kompetensinya.
Bagi guru, kebijakan KKM menjebak mereka melakukan manipulasi sebab salah satu syarat agar siswa dapat mengikuti UN adalah tuntas minimal KKM. Kalau tidak mencapai nilai KKM, data siswa ditolak Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Dampak lanjutannya, siswa enggan belajar serius karena sudah yakin nilai di rapor mereka untuk semua mata pelajaran akan minimal KKM.
Saat ini, manfaat UN berada pada titik nadir terendah, kurang memotivasi siswa belajar dan tetap tak dapat dipergunakan sebagai alat seleksi masuk PTN. Padahal, hasil UNBK sesungguhnya bisa diintegrasikan sebagai bagian dari proses seleksi masuk PTN.
Hasil UN SMA/SMK sejak era Mendikbud Anies Baswedan tak lagi dipertimbangkan sebagai alat seleksi masuk PT. PT memakai alat seleksi tersendiri untuk menyeleksi calon mahasiswa baru, yaitu melalui ujian tulis berbasis komputer (UTBK) yang diadakan lembaga tes masuk perguruan tinggi (LTMPT).
Integrasi UN
Kebijakan PTN yang mendesain tes seleksi masuk tersendiri dengan membentuk LTMPT dan berbayar sangat merugikan masyarakat, terutama anak-anak dari keluarga miskin, sebab mereka harus membayar Rp 200.000 untuk ikut UTBK. Pelaksanaan UTBK oleh LTMPT secara ekonomis hanya menguntungkan penyelenggara. Sementara itu, mempertahankan kebijakan UN tanpa dapat dipakai sebagai syarat seleksi masuk merupakan kebijakan pemborosan anggaran negara. Anggaran UNBK tahun 2019 yang besarannya sekitar Rp 210 miliar tak dapat digunakan sebagai alat seleksi masuk PT.
Ketika UN masih berbasis kertas dan pensil, hasil UN tak dapat dipakai untuk menilai kemampuan akademik peserta didik karena terjadi manipulasi dan kecurangan terstruktur dan sistematis. Namun, sekarang, dengan kemajuan teknologi, nilai-nilai UNBK sudah kian obyektif dan telah mengoreksi derajat integritas pelaksanaan UN. Ini berarti sesungguhnya hasil UN sudah lebih obyektif, dapat dipercaya, dan sungguh memotret kemampuan peserta didik.
Dahulu, alasan utama para rektor menolak hasil UN adalah karena hasil UN dianggap tidak obyektif. Terjadi banyak kecurangan dan kebocoran sehingga hasil UN dianggap tidak merepresentasikan kemampuan peserta didik. Namun, melalui kebijakan UNBK, seharusnya pandangan ini sudah berubah.
Selama tiga tahun pelaksanaan UNBK, kian terbukti bahwa nilai-nilai semakin terkoreksi, sistem lebih teruji, kecil kemungkinan bocor, integritas pelaksanaan semakin tinggi, dan hasil UNBK sungguh memotret kemampuan akademis peserta didik secara obyektif.
Jika hasil UNBK sudah semakin baik dan obyektif, mengapa para rektor PTN masih tetap menolak hasil UNBK sebagai bagian dari proses seleksi masuk PT, malahan membuat lembaga baru LTMPT untuk melaksanakan UTBK?
Dari sisi ilmu psikometrik, sebenarnya apa yang dibutuhkan PTN dalam menyeleksi calon siswa baru, dan kepentingan Kemdikbud untuk menguji penguasaan materi pemelajaran peserta didik setelah mengikuti pembelajaran dalam waktu tertentu, bisa diintegrasikan.
Dengan kata lain, UN sebenarnya masih bisa dipergunakan untuk seleksi tes masuk PT secara obyektif dan dapat mendiskriminasi untuk menyeleksi calon mahasiswa terbaik apabila konstruk item soal yang dibuat secara sengaja didesain demi dua kepentingan ini.D
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi melalui UTBK telah memungkinkan dua hal ini diintegrasikan. Bahkan, apabila PTN mempersyaratkan penilaian untuk tes potensi skolastik (TPS) untuk menilai prospek keberhasilan studi calon mahasiswa pun, melalui item soal UN, hal ini tetap mungkin dilakukan.
Dari sisi pelaksanaannya pun akan lebih praktis dan ekonomis sebab UN dibiayai oleh anggaran negara. Jika dari sisi teknologi, teori psikometrik, konstruk item tes, pelaksanaan UNBK sebenarnya bisa dipergunakan untuk mengukur secara normatif untuk menilai hasil pemelajaran dan pengukuran berdasarkan kriteria untuk seleksi masuk PTN, seharusnya tak ada lagi alasan bagi PTN menolak hasil UN.
Janji Presiden Jokowi bisa dieksekusi dengan cara mengintegrasikan kebijakan UN sebagai alat untuk menyeleksi calon mahasiswa baru. Untuk kepentingan ini, LTMPT yang menyelenggarakan UTBK dan BSNP yang menyelenggarakan UNBK perlu duduk bersama, mendesain satu kebijakan UN yang dapat memenuhi dua kepentingan, yaitu pengukuran sumatif dan untuk menyeleksi calon mahasiswa baru.
Kebijakan UN yang terintegrasi dengan tes seleksi masuk PT akan jadi cermin keadilan bagi masyarakat, terutama peserta didik dari keluarga yang tak mampu. Mereka tak perlu membayar agar dapat mengikuti seleksi PTN sebab penyelenggaraan UN dibiayai negara.
Presiden Jokowi perlu segera meminta (memaksa) Kemenristek dan Dikti berdialog dengan BSNP agar bekerja sama mengembangkan sistem evaluasi dan penilaian pendidikan yang adil, ramah anggaran, dan dapat membuka akses anak-anak dari keluarga miskin.
(Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan)