PENDIDIKAN NASIONAL
(Sebagian) PR Mendikbud
Selamat datang menteri pendidikan termuda di Republik Indonesia. Wajah muda yang diharapkan bisa membuat terobosan dalam dunia pendidikan ini merupakan jejak langkah sangat berani Presiden Jokowi. Apalagi Nadiem Makarim lebih dikenal dengan Gojek-nya.
Usia memang bukan fungsi dari kematangan dan kedalaman pemikiran. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa di tahun 1922 pada usianya yang ke-33. Pemikiran beliau sangat jauh melampaui zamannya.
Dorongan beliau mengenai kemerdekaan berpikir (“guru perlu mendorong muridnya mencari jawaban dan sumber belajar sendiri”) atau ungkapan Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (terjemahan bebasnya “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat berkarya secara setara, di belakang memberi dorongan maju memimpin”) sangat sejalan dengan berbagai teori pendidikan mutakhir. Bahkan, tut wuri handayani, bagian terakhir dari tiga bagian proses pembelajaran itu, disertakan dalam logo Kementerian Pendidikan sejak 1977.Dunia pendidikan Indonesia saat ini memiliki tantangan tinggi dari berbagai sisi. Begitu kompleks situasi sehingga bisa dikatakan, siapa pun menterinya perlu memiliki kemampuan memahami dan mengelola keragaman situasi. Mengandalkan perubahan hanya pada seorang menteri tentu suatu keinginan berlebihan, tetapi kita bisa berharap bila sang menteri memulai waktunya bekerja dengan menunjukkan kemampuan mendengar dan keinginan untuk belajar. Barangkali di sanalah kekuatan anak muda itu, yang sudah kita dengar akan dilaksanakan menteri baru pada seratus hari pertamanya menjabat.
Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 4 mengenai Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, khususnya ayat 1, sesungguhnya bisa menjadi pegangan seluruh pemangku kepentingan yang berada dalam dunia pendidikan. Pasal tersebut–yang lengkapya berbunyi, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”–seharusnya menjadi dasar pijakan seluruh kebijakan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Berbagai hal bisa diatasi bilamana para pemangku kepentingan memahami pentingnya kata-kata kunci dalam ayat tersebut.
Dari pertemuan Yayasan Cahaya Guru dengan berbagai komunitas pendidikan, baik kepala sekolah, guru, komite sekolah, bahkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan sekalipun, ternyata pasal dan khususnya ayat tersebut tidak dikenal sama sekali. Padahal, bisa dibayangkan dinamika yang terjadi saat para penyelenggara pendidikan menjunjung tinggi nilai keagamaan (bukan agama apalagi agama tertentu saja) dan nilai kultural (artinya, bisa memahami berbagai sudut pandang yang dibentuk oleh pemahaman budaya, atau kemajemukan bangsa yang berarti di sekolah), setidaknya perbedaan akan dipandang sebagai kekayaan lingkungan sehingga “dirayakan” dalam berbagai cara.
Ruang Perjumpaan
Saat situasi bangsa sedang memperlihatkan betapa banyak narasi negatif beredar mengenai sikap atau setidaknya gagasan intoleransi terjadi di berbagai lembaga pendidikan, maka narasi positif sangat dibutuhkan untuk penguat dan menjadi inspirasi lingkungan. Sudah waktunya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengupayakan agar setiap penyelenggara pendidikan memasukkan upaya menciptakan ruang perjumpaan sebanyak-banyaknya dalam berbagai pendekatan.
Sekolah sebagai ruang perjumpaan berbagai latar belakang akan menyiapkan anak menyongsong masa depan mereka. Mereka yang nyaman berada dalam keragaman tentu akan lebih mudah berkomunikasi, bekerja sama, berpikir kritis (karena memiliki kepercayaan diri dalam keragaman itu), dan kreatif. Itulah empat kompetensi minimal yang perlu dimiliki siswa.
Dalam situasi di tengah keragaman, seseorang lebih mudah dilatihkan menyatakan kekuatan diri, menemukan kekuatan lingkungan, dan berperan untuk kebaikan dan perbaikan. Masa depan membutuhkan kesadaran untuk maju bersama.
Kapitalisasi keragaman sangat penting dicerminkan dalam berbagai kebijakan yang merupakan turunan khususnya Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di atas. Berbicara mengenai turunan, pelaksanaannya tentunya perlu melibatkan Badan Standar Nasional Pendidikan dan Badan Akreditasi Nasional. Seberapa jauh sesungguhnya prinsip penyelenggaraan pendidikan dipandang sungguh-sungguh sebagai suatu prinsip, bisa terlihat dari gambaran profil lulusan yang diharapkan, indikator akreditasi sekolah dan penilaian kinerja guru.
Penekanan pada tugas guru selayaknya sejalan dengan keberpihakan pada pemahaman adanya tantangan yang sangat berbeda antara satu sekolah dan sekolah lainnya. Upaya untuk menyamaratakan, apa pun alasannya, bisa menjadi pemborosan energi. Menemukan praktik baik di lingkungan merupakan langkah strategis. Bukan saja sebagai penguat para pelaku, tetapi juga akan menjadi inspirasi untuk yang lainnya.
Angkat praktik baik
Mengangkat praktik baik yang bertebaran di daerah, bahkan di daerah terpencil sekalipun, akan menjadi pupuk untuk harapan bahwa guru sudah melakukan tugasnya secara tepat. Untuk dapat melakukan itu, maka seluruh pejabat terkait perlu memiliki kemampuan mendengar, berpikir dalam hening, bersikap jujur serta kritis bahkan pada diri sendiri.
Tiga pusat pendidikan yang disebut Ki Hadjar Dewantara sebagai “alam perguruan, alam keluarga dan alam pergerakan pemuda” layak terus diupayakan. Alam adalah terminologi yang menyiratkan keluasan. Kata kunci “gotong royong” diucapkan pada hari pertama menteri baru berada di Gedung Kemdikbud. Tertangkap dengan jelas bahwa pelibatan seluruh pemangku kepentingan dipandang sangat penting.
Meskipun demikian, untuk bisa melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seluruh jajaran kementerian (dan “turunannya”) perlu menghayati sikap demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif yang tertuang pada prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut di atas.
Bukankah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan penyelenggara pendidikan dengan porsi terbesar di republik ini?
Henny Supolo, Yayasan Cahaya Guru