PARIWISATA
Turisme dan Ekonomi Kreatif
”Institutions Matter”, moto ini pernah digunakan World Bank pada dasawarsa 1990, terinsipirasi dari Douglas North. Ia adalah peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 1993, kontributor utama teori ekonomi kelembagaan baru yang fokus pada peran institusional dalam pertumbuhan ekonomi. Saat ini, pemerintah sedang gencar menstimulasi pertumbuhan sektor pariwisata bertumpu pada strategi pengembangan/revitalisasi empat destinasi wisata superprioritas nasional dan peningkatan konektivitas internasional.
Destinasi wisata candi Borobudur bersama-sama dengan tiga destinasi wisata lain masuk program superprioritas nasional, yaitu Danau Toba, Labuan Bajo, dan Mandalika. Program yang didukung dengan dana APBN relatif besar hingga tahun depan ini sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk mengembangkan ekonomi kreatif pada keempat destinasi tersebut. Pariwisata merupakan sektor yang memanfaatkan sejumlah produk ekonomi kreatif, khususnya berbasis kultural. Dalam hal ini kita munculkan saja istilah ”ekonomi kreatif kultural”.Sebab, tidak semua subsektor ekonomi kreatif (14 subsektor) masuk dalam kategori ”kreatif kultural” ini. Sebut saja subsektor aplikasi dan permainan interaktif, layanan komputer/peranti lunak, penerbitan/percetakan, arsitektur (modern), radio dan televisi, periklanan, pasar barang seni, desain industri, video/film/fotografi, dan riset/pengembangan. Menurut Bekraf, pada 2016 kontribusi ekonomi kreatif dalam PDB mencapai 7,44 persen. Tiga subsektor ekonomi kreatif dengan kontribusi tertinggi adalah kuliner ( 41,69 persen), mode (18, 15 persen), dan kriya (15,70 persen). Kontribusi ekspor produk ekonomi kreatif mencapai 13,77 persen dengan nilai 20 miliar dollar AS (2016).
Beberapa produk kegiatan ekonomi kreatif kultural menjadi bagian dari kebutuhan para turis, khususnya turis internasional, seperti cendera mata khas dari destinasi wisata yang dikunjungi dan kuliner tertentu. Obyek-obyek wisata yang unik dan berkesan, seperti candi Borobudur atau komodo di NTT, mendorong permintaan cendera mata spesifik yang terasosiasi dengan obyek tersebut sebagai signature souvenirs, yakni dalam bentuk replika candi, komodo, dan lainnya. Selain itu turis internasional juga membutuhkan seni pertunjukan tradisional serta festival-festival khas budaya setempat.
Seni Kriya
Dalam konteks ekonomi kreatif kultural, jenis industri kreatif yang cukup banyak menciptakan lapangan kerja adalah produk-produk seni kriya baik berbahan kayu, bambu, kulit sapi, rotan, batu, keramik, tanah liat, tekstil, logam atau material lainnya. Berbagai material tersebut dipadukan dengan unsur kreativitas (skill/talenta), dan budaya menghasilkan produk-produk industri kreatif, seperti miniatur, patung, kain batik, kain tenun bercorak etnik, lampu hias, ukiran kayu, dan pernak-pernik. Berbagai corak khas dapat kita temui, misalnya tas noken, kain batik dan ukiran kayu ala Asmat, Papua. Demikian pula kain batik Bali, tenun ikat Sumba dan Flores, dan lainnya yang bersifat local specific.
Produk industri kreatif membutuhkan sentuhan inovatif untuk memperoleh nilai tambah tinggi. Sebagai contoh, kain tenun dan batik kini cenderung memanfaatkan bahan pewarna alami, tidak lagi pewarna kimia. Produk batik tulis Cirebon, misalnya, yang menggunakan bahan pewarna alami, antara lain dari kayu mangga, amat diminati turis asing.
Turis asing tentu saja membutuhkan cendera mata yang terdesain secara unik, artistik, dan mudah dibawa sehingga tidak terlampau merepotkan ketika pulang dari destinasi wisata ke hotel, dan nantinya dari hotel ke bandara untuk kembali ke tempat (negara) asalnya sebagai bagian dari bagasi pesawatnya.
Borobudur dan Joglosemar
Peningkatan konektivitas kawasan Joglosemar (Jogya-Solo-Semarang), baik udara (dengan pengembangan beberapa bandara internasional) maupun darat (jalan tol dan kereta api), dan penataan kawasan wisata di sekitar Borobudur akan meningkatkan arus turis asing menuju Joglosemar, khususnya ke Borobudur.
Peningkatan arus turis asing yang terdampak oleh membaiknya konektivitas tersebut, antara lain, akan meningkatkan permintaan cendera mata. Borobudur ditargetkan untuk menarik turis asing sebanyak 2 juta orang per tahun. Hal ini perlu diantisipasi dengan pengembangan/perluasan ekonomi kreatif kultural tersebut untuk meningkatkan kesempatan kerja dan penerimaan devisa.
Sejumlah produk spesifik ekonomi kreatif dapat dikembangkan, baik kualitas maupun skala produksinya. Selama ini industri kreatif rakyat sebenarnya sudah eksis, tetapi sulit berkembang karena keterbatasan modal, teknologi, dan akses pasar.
Salah satu desa wisata atau desa kreatif di sekitar Candi Borobudur adalah Desa Wanurejo, Kecamatan Salam, yang membuat aneka cindera mata antara lain berupa miniatur candi Borobudur dan candi Mendut dari bahan fiber. Kendati miniatur Borobudur tersebut mungkin saja dapat diperoleh dengan belanja ‘online’ di Bukalapak, Lazada, Shopee, dan Alibaba.com. Miniatur candi Borobudur berukuran 10 x 16 x 14 cm berbahan perak ‘made in Bantul’ ditawarkan secara ‘online’ seharga antara 200 – 280 Dollar AS per unit.
Hal seperti ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku industri kreatif di Kabupatren Magelang untuk terus mengembangkan desain dan kualitas bahan yang lebih baik serta dapat memenuhi selera turis internasional. Dengan demikian, produk-produk industri kreatif berkualitas tinggi dapat diperoleh di sekitar Borobudur. Pada tahapan selanjutnya, produk-produk unggulan industri kreatif berkualitas nantinya diharapkan tersedia pada berbagai outlet, mulai dari zona-2 Borobudur, tourist hub (baru) di sekitar Borobudur, aerocity YIA, bandara YIA, dan lainnya.
Karena itu, phak-pihak terkait di sini perlu bersinergi untuk terus meningkatkan kapasitas para pelaku industri kreatif demi mengantisipasi dampak program destinasi wisata superprioritas nasional. Pihak-pihak terkait ini adalah pemerintah daerah, Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Borobudur, asosiasi pengusana kerajinan, badan usaha milik desa (BUMDesa), dan sanggar-sanggar seni. Peningkatan kapasitas ini antara lain dilakukan dengan mengintensifkan pelatihan bagi para pelaku industri kreatif, misalnya dengan mendatangkan tenaga ahli dari Bekraf atau desainer dari Yogyakarta.
Selain pelatihan, pihak-pihak terkait perlu memfasilitasi pelaku industri kreatif skala mikro/kecil dengan akses permodalan dan pasar, termasuk ekspor. Segenap institusi ini akan berperan selaku agen-agen perubahan, intitutions matter sebagaimana tertulis di awal tulisan ini.
Jakarta, 17 September 2019
*) Wihana Kirana Jaya, Guru Besar FEB UGM