HUT JAKOB OETAMA
Warisan Jakob Oetama
Judul tulisan ini saya pungut dari judul buku yang saya tulis bersama F Harianto Santoso (Litbang Kompas), terbit tahun 2016. Judulnya memuat warisan idealisme tentang pemikiran jurnalisme dan karya jurnalistik Jakob Oetama yang hari ini genap berusia 88 tahun.
Judul di atas mewakili berbagai ujaran dalam beragam diksi yang kemudian menjadi klasik dan dikutip oleh banyak orang—sering diartikan/dikembangkan/ dipelesetkan dari maksud semula. Judul itu mewakili apa yang lebih dari 65 tahun (dihitung sejak Jakob Oetama menjadi wartawan di Mingguan Penaburpada 1960-an) dalam merintis dan mengembangkan Kompas bersama PK Ojong, juga kemudian dengan usaha-usaha lain dalam grup Kompas Gramedia.Puluhan ungkapan disampaikan, ada yang menjadi klasik dan dikutip banyak orang, ada yang punya durasi sementara, tetapi ada yang hilang begitu saja.
Dalam buku di atas, berbagai ungkapan itu—saya catat paling banyak pada 1970-an hingga 1990-an: masa produktif Jakob Oetama, meliputi kemanusiaan dan kebangsaan, jurnalisme pembangunan, mengenal Tanah Air. Kompas’s Way Jakob Legacy merupakan pengesahan hak cipta (copyright) atas kebijakan-kebijakan yang selama ini dijalankan dalam mengemudikan Harian Kompas. Jakob Oetama adalah pemilik hak cipta cara bermedia Kompas.
Sengaja ”mengenai jurnalisme kepiting”—jargon yang paling sering ditanyakan tentang Jakob Oetama dan dianggap erat berhubungan dengan namanya—tidak saya ulas khusus. Sebab sebenarnya, jargon—yang pernah dilontarkan oleh wartawan senior Rosihan Anwar untuk menyebut jurnalisme Kompas—itu membingkai seluruh kebijakan dan praktik jurnalistik Jakob.
Bagi yang sinis akan menyindirnya sebagai penakut, sebaliknya banyak yang mengatakan sebagai kecerdasan intelektual seorang Jakob Oetama, atau menurut rekan kerjanya, P Swantoro, sebagai intelegensi emosional.
Menghibur yang papa
Jargon lengkapnya, menghibur yang papa mengingatkan yang mapan. Untuk menemukannya, niscaya Jakob melewati proses panjang, tak hanya dari buku-buku yang dibacanya (Jakob dikenal rakus membaca buku-buku babon tentang jurnalisme), dari bahan-bahan ensiklik para pimpinan Gereja Katolik dan hasil-hasil Konsili Vatikan II yang di tahun 1964 itu mulai dirilis, tetapi juga dari refleksi harian sehari-hari (Jakob dikenal sulit tidur ketika ada kejadian atau persoalan penghinaan harkat manusia).
Salah satu buku yang dia kagumi adalah ungkapan klasik dalam jurnalistik yang berasal dari seorang wartawan Amerika keturunan Irlandia, Finley Peter Dunne (1867-1936). Wartawan ini terkenal karena tulisan-tulisannya dalam koran Chicago Evening Post. Ungkapannya yang terkenal adalah Comforts th’afflicted, afflicts th’confortable, terjemahan bebasnya ”menghibur yang papa mengingatkan yang mapan”.
Di masa Finley, koran-koran berusaha merebut hati pembaca dengan apa yang kemudian kita kenal sebagai jurnalisme investigatif. Repotnya bukan kebenaran duduk perkaranya yang dicari (cover all sides), tetapi sensasi dengan sebutan if it bleeds, it leads, terjemahan bebasnya: kalau sensasi itu yang dicari pembaca, kenapa tidak?
Karena sensasi yang dicari, koran meninggalkan jati dirinya sebagai pendidik dan pengingat. Koran-koran berlomba mengarah ke sana sehingga dikenal adanya ”koran kuning”—karena kedua koran besar, New York Journal dan New York World—yang saling bersaingan menampilkan gambar anak warna kuning yang berhasil menaikkan tiras.
Orang mulai muak, mencoba mengingatkan apa yang dilakukan kedua koran itu. Peter Dunne cukup kritis, tidak langsung terpengaruh suara masyarakat, melainkan bertanya apakah sejauh itu tugas koran. Muncul ungkapan brilian: menghibur yang papa mengingatkan yang mapan.
Jakob Oetama yang biasa memberi arti baru dari ungkapan umum, atau memanfaatkan kejadian/peristiwa sebagai kapstok, menjebol sesuatu yang lebih besar dan mendasar, memberi arti baru ungkapan Peter Dunne. Ungkapan itu diperkaya dengan berbagai nuansa. Taruhlah di antaranya, nuansa compassion (bela rasa)—kosa kata dari Daniel Lerner yang di tahun 1958 menulis tentang kemampuan wartawan menyesuaikan diri terhadap lingkungan—oleh Jakob ditegaskan sebagai syarat yang integral dengan profesi jurnalistik.
Jakob lantas memunculkan ungkapan-ungkapan lain seperti keluhuran dan kekerdilan manusia, no angel in the world, selalu menggugat, selalu gelisah, tidak pernah puas dan terus mencari yang kemudian dalam pengembangannya juga dia kaitkan sebagai kebajikan yang harus dimiliki seorang wartawan.
Dalam konteks ini, ungkapan humanisme transendental—istilah ini berasal dari PK Ojong dalam manuskrip yang ditulisnya tahun 1974—membingkai persyaratan pokok seorang wartawan. Jakob memperkaya ungkapan itu dengan beragam makna baru, di antaranya tentang makna kerja sebagai bagian utuh pengabdian makhluk ciptaan, yang di tahun-tahun kemudian Jakob sering menggantinya dengan kemanusiaan yang beriman.
Profesi jurnalistik memiliki banyak privilese, menyatukan otak, hati dan rasa mengandaikan wartawan mampu berpikir apa yang ada di bawah permukaan atau membuat prediksi. Istilah “Indonesia Mini”, sejak awal sudah dicita-citakan sebagai prototipe yang ingin dikembangkan bersama PK Ojong. Jakob yang memberi isi baru.
Kemajemukan bangsa Indonesia secara sengaja dikonsep sejak awal untuk koran baru yang didirikan. Jati diri koran/media sebagai anjing penjaga tetap dipertahankan, tetapi soal cara dia introduksi baru.
Jurnalisme Pembangunan
Kalau koran/media sebelumnya berperan sebagai sarana kritik langsung atas berbagai kebijakan pemerintah/masyarakat, Kompas menyampaikan kritik secara sopan. Tidak hanya menulis tentang ketidakberhasilan tetapi juga menyampaikan keberhasilan senyampang itu menyampaikan kritik.
Dikenal-lah istilah “Jurnalisme Pembangunan”, ungkapan yang sebelumnya tak pernah terdengar.
Jurnalisme dan praktik jurnalisme ini bukannya lekang dari kritik sesama profesi, di antaranya dianggap penakut, cari selamat, kejar duit, dan lain-lain. Sebaliknya, tidak kurang yang menghargai ‘inilah kecerdasan inteletual seorang Jakob Oetama’.
Orang Jawa yang tidak bisa serba hitam dan putih, yang kaya dengan naluri bagi keluhuran martabat manusia, dan piawai menyampaikan pesan-pesan kritiknya, pun lewat tajuk-tajuk yang ditulis. Jakob menyadari Indonesia maha besar dan apa yang dilakukannya lewat Kompas hanya kecil.
Tanpa dia sadari, sangat terlihat dari tajuk-tajuknya, Jakob adalah guru kewarganegaraan. Dia menawarkan keanekaragaman dan kekayaan budaya Indonesia. Karena itu, jurnalisme dan praktik jurnalismenya adalah memberi makna atas segala peristiwa yang terjadi.
Belajar dari pemikir-pemikir besar dia lanjutkan, setidak-tidaknya sampai tahun 2016-2017. Perjalanan hidupnya sangat akrab dengan buku-buku babon. Ketika di sekolah menengah, ketika di seminari tinggi, ketika kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan dilanjutkan dengan ketika mulai mengawali profesi sebagai wartawan.
Sebegitu obses dengan sebuah buku babon media dalam bahasa Perancis, dia baca seluruh isi buku itu dengan memakai kamus dari satu kata ke kata lainnya.
Di era usia produktifnya, selain memimpin manajemen Kompas Gramedia—sepeninggal Ojong 30 Mei 1980—Jakob selalu mengundang para pakar dari luar untuk berdiskusi di Kompas.
Ketika era digital dan tren paperless mulai merebak, Jakob terbuka terhadap kecenderungan ini. Mempercayakan desain Kompas era digital, sebelumnya kepada Roger Black dan kemudian sejak 2005 kepada ahli desain dunia Mario Garcia, Kompas mencoba terus eksis.
Tantangan bagi generasi muda Kompas, generasi milenial—yang dia percayakan—terbuka lebar bagaimana menemukan wajah Kompas dan Gramedia dalam arti seluas-luasnya idealisme dan bisnis—terus berlanjut dan kesempatan terbuka. Kompas jalan terus.
Nderek tanggap ambal warso 88 taun, Pak Jakob.
(St Sularto ; Wartawan Senior)