UDAR RASA
Jangan Ganggu Kami…
Untung saya cuma wartawan koran. Bersamaan surutnya media cetak diganti era digital saya pensiun, sehari-hari bercocok tanam sambil tergagap-gagap belajar dan mengakrabkan diri dengan peranti digital. Tidak apa. Seperti saya katakan, saya cuma wartawan, profesi yang dulu pun saya dapat dikarenakan ketiadaan tujuan, kecuali hobi menulis.
Ditambah latar belakang sosial berasal dari lingkungan rakyat jelata, masalahnya akan berbeda andaikata saya lahir dari lingkungan mapan, berkecukupan, terlebih sebagai bagian dari trah politik penguasa. Egaliterisme dan populisme yang berkembang luas sebagai konsekuensi tak terduga dari revolusi teknologi informasi sekarang sudah pasti bakal sangat mencemaskan saya. Teknologi telah mengobrak-abrik tatanan sosial lama, tak ada lagi ningrat di bidang apa saja, dari kepakaran sampai kekuasaan. Adakah saya sebagai kasta tertinggi negeri bakal tercampak jadi penganggur, nglangut seperti pensiunan wartawan koran?Sebagai trah penguasa, tak sudi saya menyerah begitu saja. Harus diakui: menguasai informasi = menguasai sumber kekuasaan. Hanya saja biarlah orang koran saja yang bersedia menerima lunturnya supremasi media cetak, diganti egaliterisme media digital.
Saya sering dengar olok-olok, yang berada pada urutan terdepan perubahan sosial adalah seniman. Mereka melakukan pendobrakan, membuat apa yang ada tidak lagi seperti yang ada sebelumnya. Urutan kedua adalah para saudagar. Mereka menjadikan yang didobrak seniman memiliki nilai ekonomi, membawa kemaslahatan bagi orang banyak. Dilanjutkan urutan ketiga, para rohaniawan. Tugas mereka adalah memberkati dan menyucikan apa yang dinikmati orang banyak, membawa kebahagiaan dunia akherat.
Politisi? Mereka di barisan paling belakang, dan sangat gaduh. Kelompok ini mengklaim bahwa semua yang telah terjadi tadi karena usaha mereka.
Orang media sangat sarkastik, meski kadang terdengar masuk akal juga. Mereka yang bergelut di bidang media sering mengingatkan efek luar biasa akibat penemuan mesin cetak Gutenberg di Jerman pada abad ke-15. Bisa jadi si penemu, yakni Johannes Gutenberg, hanya berniat praktis memudahkan reproduksi tulisan yang pada waktu itu masih sebatas tulisan tangan menggunakan tinta.
Orang media sangat sarkastik, meski kadang terdengar masuk akal juga. Mereka yang bergelut di bidang media sering mengingatkan efek luar biasa akibat penemuan mesin cetak Gutenberg di Jerman pada abad ke-15. Bisa jadi si penemu, yakni Johannes Gutenberg, hanya berniat praktis memudahkan reproduksi tulisan yang pada waktu itu masih sebatas tulisan tangan menggunakan tinta.
Tak terduga, mesin cetaknya itulah yang menimbulkan gelombang reformasi kepercayaan bukan saja di Jerman, tetapi Eropa dan kemudian seluruh dunia. Tentang gagasan reformasi atas Gereja Katolik, sebelumnya Martin Luther hanya bisa menempelkan tulisan tangannya di pintu gereja Castle Church di kota kecil Wittenberg. Dengan adanya mesin cetak, gagasannya menyebar ke seluruh Jerman, menyulut apa yang disebut Reformasi Protestan.
Dari situ Protestan berkembang, tidak hanya di Jerman, tapi ke seluruh Eropa, dan selanjutnya kalian tahu sendiri. Dengan dicetaknya Bible dalam bahasa sehari-hari Jerman dilanjutkan dalam bahasa Inggris, kitab suci berada di tangan semua umat—kurang lebih seperti telepon selular sekarang yang bahkan bisa di tangan manusia buta huruf. Kunci surga tak lagi hanya pada pendeta, tapi semua orang.
Bukankah itu yang terjadi sekarang? Otoritas penguasa, otoritas kepakaran, menara gading ilmu pengetahuan, ambrol karena semua orang memiliki kemungkinan yang sama terhadap informasi baik sebagai konsumen, produsen, maupun makelar. Tidak masuk akalkah kalau untuk mempertahankan privilese trah penguasa, saya berpikir membikin aturan untuk membendung emansipasi kemanusiaan yang mulai menjengkelkan ini?
Dunia politik menjadi teramat gaduh ketika rakyat bisa memilih pemimpinnya sendiri secara langsung. Enak zaman dulu tho, ketika stabilitas terpelihara. Mungkin bagusnya seperti zaman itu saja.
Kontestasi politik secara terbuka seperti ini bisa merugikan trah penguasa. Transformasi citizen menjadi netizen menggelisahkan trah lama kekuasaan. Candaan ”Dian Sastro for President” atau ”Awkarin for President” bisa-bisa menjadi kenyataan karena nujum zaman.
Kalau saya trah penguasa, biar saya jadikan rakyat sebatas kendaraan untuk membawa saya ke orbit kekuasaan saja. Setelah sampai orbit, kendaraan dilepas, tak lagi ada gunanya. Tanpa beban, ha-ha.
Wahai kamu wartawan koran, silakan masuk senjakala sendiri. Berbeda dari kalian, politik punya segala cara. Semua halal.
Jangan kalian ganggu kami, penguasa, dengan pertanyaan: bisakah penguasa membendung arus zaman? ***