VONIS BEBAS SOFYAN BASIR
Vonis Bebas untuk Pembantuan
Judicia sunt tanquam juris dicta, et pro veritate accipitur. Artinya, putusan hakim merupakan penerapan hukum dan diterima sebagai suatu kebenaran. Demikian suatu postulat dalam doktrin hukum yang berlaku universal untuk setiap putusan pengadilan.
Senin, 4 November 2019, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis bebas terhadap Sofyan Basir yang didakwa melakukan pembantuan (Pasal 56 ke-2 KUHP) terhadap Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 secara alternatif dengan Pasal 11 juncto 15 Undang-Undang Tipikor.Vonis bebas ini bukanlah yang pertama, melainkan yang ketiga terhadap perkara korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada 2011, mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad divonis bebas Pengadilan Tipikor Bandung atas tuntutan KPK 12 tahun penjara, tetapi pada tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis 6 tahun penjara.
Demikian pula pada 2016, Pengadilan Tipikor Pekanbaru menjatuhkan vonis bebas terhadap Bupati Rokan Hulu Suparman atas tuntutan KPK empat tahun enam bulan penjara, tetapi pada tingkat kasasi MA mengganjar dengan hukuman enam tahun penjara.
Ada perbedaan prinsip antara perkara Mochtar Muhammad dan Suparman dengan Sofyan Basir. Dalam perkara Mochtar dan Suparman, keduanya didakwa sebagai pelaku yang menerima suap atau setidak-tidaknya penyertaan dalam suap.
Hal ini berbeda dengan Sofyan Basir yang dikualifikasikan sebagai pembantu atau medeplichtige dengan Eni Maulani Saragih, Idrus Marham, dan Johannes Kotjo sebagai pelaku utama. Sebenarnya dengan dakwaan alternatif yang dikonstruksikan oleh penuntut umum telah memperlihatkan keraguan antara kedua pasal tersebut mana yang lebih pas dijerat kepada Sofyan Basir.
Dalam doktrin hukum pidana terdapat dua pihak dalam pembantuan atau medeplichtige. Pertama adalah pelaku atau pembuat atau de hoofd dader. Kedua, pembantu atau medeplichtige. Terdapat dua bentuk pembantuan. Pertama, pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Kedua, pembantuan untuk melakukan kejahatan.
Artinya, pembantuan itu diberikan sebelum kejahatan terjadi, apakah dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pembantuan haruslah dilakukan dengan suatu kesengajaan. Kendati demikian, tak berarti pembantuan hanya dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kesengajaan semata, tetapi juga dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kealpaan.
Terhadap kesengajaan dalam pembantuan dan pembantuan terhadap delik-delik yang mensyaratkan kesengajaan serta delik-delik yang mensyaratkan kealpaan, penulis berpendirian sebagai berikut. Pertama, tidak mungkin ada pembantuan jika tidak ada kesengajaan untuk membantu melakukan kejahatan. Tegasnya, syarat mutlak adanya pembantuan adalah kesengajaan. Kedua, terkait dengan yang pertama, tidak mungkin pembantuan dilakukan karena suatu kealpaan.
Jika dihubungkan dengan delik penyertaan, ada lima perbedaan prinsip antara turut serta melakukan dengan pembantuan. Pertama, turut serta melakukan pelanggaran dijatuhi pidana, sedangkan pembantuan dalam pelanggaran tidak dijatuhi pidana. Kedua, dalam turut serta melakukan harus ada kesengajaan untuk bekerja sama atau relasi yang sebanding, namun dalam pembantuan hal ini tidak disyaratkan.
Ketiga, dalam turut serta melakukan harus ada kerja sama yang erat di antara para pelaku, sedangkan dalam pembantuan, orang yang membantu hanya melakukan peranan yang tidak penting. Keempat, dalam turut serta melakukan harus ada uitvoeringshandeling atau tindakan pelaksanaan, sedangkan dalam pembantuan, pembantu hanya cukup melakukan voorbereidingshandeling atau tindakan persiapan maupun tindakan dukungan atau ondersteuningshandeling.
Kelima, meskipun yang dilakukan bukan perbuatan penyelesaian (voltooingshandeling), namun jika kerja sama antara para pelaku sangat erat, maka orang yang demikian itu dipandang sebagai pelaku dan bukan sebagai pembantu.
Pembuktian
In casu a quo, Sofyan Basir didakwa melakukan pembantuan – dalam hal ini adalah memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan – terhadap Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham yang menerima suap dari Johannes Kotjo. Rumusan delik yang didakwakan adalah Pasal 12 huruf a alternatif Pasal 11 memiliki bentuk kesalahan pro parte dolus pro parte culpa (sebagian untuk kesengajaan dan sebagian untuk kealpaan). Artinya, secara teoretik sangat mungkin pembantuan dilakukan terhadap kedua pasal itu.
Lebih lanjut, ketika seseorang didakwa melakukan pembantuan terhadap tindak pidana korupsi – termasuk Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 – penuntut umum harus bisa membuktikan empat hal. Pertama, harus ada niat jahat dari pembantu dalam mewujudkan suatu delik.
Kedua, niat jahat itu tak hanya karena pembantu kenal dengan pelaku atau tak hanya pembantu beberapa kali bertemu dengan pelaku, namun lebih dari itu harus dibuktikan bahwa substansi pertemuan itu benar-benar untuk mewujudkan meeting of mind antara pelaku dan pembantu untuk melakukan suatu kejahatan korupsi.
Dalam konteks ini berlakulah postulat nullus dicitur accessories post feloniam sed ille qui novit principalem feloniam fecisse, et illum receptavit et comfortavit. Artinya, seseorang tidak bisa disebut sebagai pelaku pembantu hanya karena ia kenal pelaku utamanya, namun pembantuan harus tahu apa yang ia perbuat dan dengan cara apa ia membantunya.
Ketiga, relasi antara pelaku dan pembantu tidak seerat dalam delik penyertaan namun harus memiliki hubungan kausalitas yang signifikan dan tetap menunjukkan niat jahat dari pelaku dan pembantu sebagai kerja sama yang nyata untuk mewujudkan delik yang dituju.
Keempat, harus ada keuntungan yang nyata diperoleh pembantu sebagai pengejawantahan niat jahat tersebut. Keempat hal ini bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu saja tidak dapat dibuktikan, maka seseorang tidak dapat dikatakan pembantuan dalam delik korupsi.
Jika yang dimaksud oleh penuntut umum bahwa pertemuan berkali-kali antara para pelaku dengan Sofyan Basir sebagai wujud nyata pembantuan dalam memberikan sarana atau kesempatan untuk melakukan kejahatan, maka sesungguhnya yang terjadi bukanlah pembantuan melainkan apa yang dalam literatur hukum pidana Jerman dikenal dengan istilah sukzessive mittaterschaft atau penyertaan secara diam-diam. Sebab pertemuan berkali-kali antara para pelaku dan Sofyan Basyir menunjukkan relasi yang kuat di antara mereka.
Selanjutnya ketika seseorang dinyatakan turut serta secara diam-diam melakukan kejahatan maka ada tiga hal yang harus dibuktikan.
Pertama, ada meeting of mind di antara para pelaku untuk melakukan kejahatan sebagai subyektif penyertaan. Kedua, harus ada kerja sama nyata dalam mewujudkan kejahatan sebagai obyektif penyertaan. Ketiga, harus ada keuntungan nyata yang diperoleh para pelaku peserta. Jika salah satu dari ketiga hal itu tak dapat dibuktikan, maka tak ada sukzessive mittaterschaft.
(Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)