Infoteratas.com - Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, mengaku impor beras 500.000 ton merupakan arahan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), guna menambah pasokan beras dalam negeri. Sebab, stok beras di Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) berada di bawah angka 1 juta ton.
"Berdasarkan arahan Bapak Wakil Presiden dalam Rakortas (Rapat Koordinasi Terbatas) pada tanggal 9 Januari 2018, impor beras dapat dilakukan jika cadangan beras pemerintah atau stok beras Bulog di bawah 1 juta ton," ungkapnya.
Hingga 17 Januari 2018 stok beras PS0 (Public Service Obligation) Perum Bulog sebesar 854.947 ton, termasuk CBP (Cadangan Beras Pemerintah) sebanyak 134.646 ton. Menteri Enggar juga menjelaskan, berdasarkan pantauan harga yang dilakukan oleh Disperindag Kabupaten/Kota, harga beras medium sejak awal Desember 2017 terus menunjukkan kenaikan.
"Dikarenakan berkurangnya pasokan beras medium di pasar rakyat. Rata-rata harga beras medium nasional berada di tingkat Rp. 10.969 per kilogram," kata dia.
"Dengan kondisi demikian, di mana stok CBP pada Bulog di bawah 1 juta ton dan adanya kenaikan harga yang melonjak berkisar antara 10 persen sampai 19 persen di berbagai daerah, maka Kementerian Perdagangan mengambil kebijakan untuk melakukan impor beras keperluan lain," tegas dia.
Menteri Enggar mengklaim impor tersebut terbukti mampu menekan tren kenaikan harga beras di pasar meskipun belum terlalu signifikan dampaknya. "Sesudah kami umumkan mengenai rencana impor beras itu, maka tren kenaikan itu tidak naik, Kemudian terjadi penurunan (harga beras) beberapa ratus rupiah sampai Rp 700," ungkapnya.
Namun, meski sudah terjadi penurunan, namun fluktuasi harga beras masih terjadi. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan akan terus menjaga stabilitas harga beras terutama dengan memastikan suplai beras yang cukup ke pasar.
Ada solusi selain impor
Ketua Umum Himpunan Alumni (HA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Fathan Kamil, menilai pemerintah bisa menggunakan skema tambal sulam dalam mengatasi kenaikan harga beras saat ini. Di mana, pemerintah bisa mengambil stok dari daerah surplus untuk daerah yang defisit.
Dia mencontohkan, hari ini harga beras di Sulawesi Selatan berada pada posisi Rp 9.800 per kilogram (Kg). Seusai panen, stok diperkirakan bisa 2 juta ton.
"Ini akan menjadi dilematis. Kenapa kita tidak ubah dari Sulsel kesini. Misal Rp 9.800 tambah ongkos Rp 500 kan cuma Rp 10.300. Sudah bisa turun kan dari Rp 12.000. Hanya pindahkan stok di sana kesini," jelasnya.
Panen juga akan terjadi di daerah Jawa dengan prediksi hasil melimpah. Apalagi, stok Jawa juga terjadi surplus. Fathan menambahkan impor yang dilakukan pemerintah saat ini tidak tepat waktu. Sebab, pada Januari ini, beberapa daerah sudah mulai ada panen.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Saidah Sakwan, menilai masalah beras yang terus saja terjadi dapat diselesaikan bila pemerintah menerapkan manajemen perberasan yang baik. Salah satunya dengan memperbanyak daerah sentra produksi.
"Persoalan beras terletak apakah Indonesia bisa menyelesaikan manajemen stok nasional, dari hulu dan hilir," ungkapnya.
Manajemen perberasan yang baik, kata Saidah amat diperlukan, sebab sebagian besar total kebutuhan beras nasional hanya berasal dari 6 provinsi. "Stok dari hanya dari 6 provinsi, padahal ada 32 provinsi di Indonesia. Di 6 provinsi ini terkonsentrasi 67 persen," jelasnya.
Ke-6 provinsi tersebut antara lain, Sumatera Utara yang memasok sekitar 5,4 persen atau 5,4 juta ton, Sumatera Selatan 6,6 persen atau 4,7 juta ton, kemudian Jawa yang terdiri atas Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur memasok hampir 50 persen, serta Sulawesi Selatan.
Manajemen perberasan harus diperbaiki agar pasokan dan proses distribusi 67 persen beras dari 6 provinsi tersebut tidak malah menaikkan biaya logistik yang berimbas pada naiknya harga beras di pasar.
"(Beras) dari 6 provinsi semua pengiriman ke Pasar Induk Beras Cipinang. Dari Cipinang, beras kemudian dikirimkan misal ke Kalimantan dan daerah lainnya. Ini akibatnya ada cost logistik mahal, karena kita tidak punya pasar beras sentral di masing-masing wilayah," kata dia.
Banjir penolakan
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyarankan Presiden Joko Widodo membatalkan kebijakan importasi beras sebanyak 500.000 ton. Sebab, menurutnya, kebijakan impor beras itu tidak sesuai yang dijanjikan Jokowi.
"Alangkah baiknya bila pak Jokowi segera menegaskan untuk batalkan impor beras. Sekalipun hanya untuk stok saja," kata Hidayat.
Hidayat mengatakan, Presiden Jokowi seharusnya mendengarkan keluhan rakyat agar tidak ada impor beras. Terlebih, beberapa daerah menyatakan surplus beras. Selain itu, banyak pula kepala daerah yang lebih memilih untuk membeli dari daerah-daerah lain.
"Dan penting juga bagi pak Jokowi untuk menegaskan akan segera panen raya karena banyak daerah surplus beras sekaligus meminta untuk tidak ada impor beras," tegasnya.
Kebijakan impor beras, kata Hidayat, tidak mensejahterakan petani dan bertentangan dengan program nawacita yang digagas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terutama soal kedaulatan pangan.
"Karena itu suatu yang tidak menginginkan untuk mensejahterakan petani kita," tandasnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka, mengungkapkan partainya menolak rencana impor 500.000 beras yang bakal dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Menurutnya, produksi padi petani cukup melimpah, namun kemampuan serapan Bulog untuk mengisi stok pemerintah yang rendah.
"Dari Fraksi PDIP menolak impor beras. Kita cukup kaget," ungkapnya.
Anggota Komisi VI DPR RI ini pun mempertanyakan soal keharusan impor. Sebab, data Kementan dan Bulog yang diterimanya menunjukkan tidak ada kondisi mengharuskan impor beras.
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) menolak rencana Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengimpor 500.000 ton beras. Ketua Umum APKASI, Mardani Maming menyatakan, saat ini banyak daerah masih mengalami surplus beras sehingga rencana Kemendag mengimpor kebutuhan pokok itu justru mengancam perekonomian petani.
Menurut Mardani, mestinya ada data valid soal stok beras nasional sebagai dasar pengambilan kebijakan. "Harus dipastikan dulu stok beras kita serta hasil panen ke depan, apakah benar-benar beras langka sehingga perlu dilakukan impor dari negara lain," tutur Mardani.(merdeka.com)