"Tersangka (korupsi) yang (kasusnya) belum mendapat kekuatan hukum tetap, sementara dia menang pilkada, akan dilantik sesuai jadwal pelantikan. Namun, posisinya bisa berubah jika sudah ada hukum tetap," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat (29/6).
Dengan demikian, proses hukum atas calon terpilih itu tetap berjalan. Penjelasan Tjahjo ini merupakan jawaban atas status Bupati Tulungagung Syahri Mulyo yang unggul dalam pemungutan suara pilkada 2018, Rabu (27/6) lalu.
Berdasarkan hasil penghitungan suara dari KPUD setempat, Syahri yang menjadi tersangka KPK dalam kasus suap sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Tulungagung ini mendapat lebih dari 50 persen suara sah pilkada. Bersama pasangannya, Maryoto Bhirowo, Syahri unggul atas pasangan cabup-cawabup Margiono-Eko Prisdianto.
"Nanti tetap dilantik sampai ada kekuatan hukum tetap dia bersalah atau tidak," kata Tjahjo.
Tjahjo melanjutkan, jika pengadilan memutuskan Syahri bersalah, statusnya sebagai bupati Tulungagung akan dicabut kembali. Kondisi ini, kata Tjahjo, serupa dengan kepala daerah sebelumnya yang pernah dilantik saat berada di tahanan. "Kan juga ada dilantik di LP, itu di Lampung, Sulawesi Tenggara. Jadi, kita tetap menghargai proses demokrasi. Tetapi, proses hukum juga harus berjalan," kata Tjahjo.
Adapun dasar dari kondisi tersebut adalah UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Aturannya menyatakan calon gubernur, wali kota, dan bupati yang berstatus tersangka dan terpilih akan tetap dilantik. Calon bupati atau calon wali kota terpilih nantinya akan dilantik oleh Mendagri, sebagaimana diatur pada pasal 164 ayat (6) UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
"Proses pilkada yang memilih adalah masyarakat. Soal siapa yang dipilih itu yang dimau oleh masyarakat maka ya jalan terus," kata Tjahjo menegaskan.
Sementara itu, hingga saat ini Kemendagri belum memastikan jadwal pelantikan kepala daerah hasil pemungutan suara pilkada 2018. Dengan begitu, belum diketahui secara pasti kapan Syahri akan dilantik sebagai bupati Tulungagung. Sebagaimana diketahui, Syahri Mulyo-Maryoto Bhirowo sementara unggul dalam Pilkada Kabupaten Tulungagung. Paslon Syahri-Maryoto mendapatkan lebih dari 50 persen suara, mengungguli paslon Margiono-Eko Prisdianto.
"Nanti tetap dilantik sampai ada kekuatan hukum tetap dia bersalah atau tidak," kata Tjahjo.
Tjahjo melanjutkan, jika pengadilan memutuskan Syahri bersalah, statusnya sebagai bupati Tulungagung akan dicabut kembali. Kondisi ini, kata Tjahjo, serupa dengan kepala daerah sebelumnya yang pernah dilantik saat berada di tahanan. "Kan juga ada dilantik di LP, itu di Lampung, Sulawesi Tenggara. Jadi, kita tetap menghargai proses demokrasi. Tetapi, proses hukum juga harus berjalan," kata Tjahjo.
Adapun dasar dari kondisi tersebut adalah UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Aturannya menyatakan calon gubernur, wali kota, dan bupati yang berstatus tersangka dan terpilih akan tetap dilantik. Calon bupati atau calon wali kota terpilih nantinya akan dilantik oleh Mendagri, sebagaimana diatur pada pasal 164 ayat (6) UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
"Proses pilkada yang memilih adalah masyarakat. Soal siapa yang dipilih itu yang dimau oleh masyarakat maka ya jalan terus," kata Tjahjo menegaskan.
Sementara itu, hingga saat ini Kemendagri belum memastikan jadwal pelantikan kepala daerah hasil pemungutan suara pilkada 2018. Dengan begitu, belum diketahui secara pasti kapan Syahri akan dilantik sebagai bupati Tulungagung. Sebagaimana diketahui, Syahri Mulyo-Maryoto Bhirowo sementara unggul dalam Pilkada Kabupaten Tulungagung. Paslon Syahri-Maryoto mendapatkan lebih dari 50 persen suara, mengungguli paslon Margiono-Eko Prisdianto.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, proses hukum kepada para calon kepala daerah tersangka korupsi tetap harus berjalan, meski sudah menang di pilkada 2018. Kemenangan calon kepala daerah tidak berpengaruh kepada penanganan kasus korupsi mereka.
"Kita sudah melihat ada calon kepala daerah yang menjadi tersangka KPK tersebut yang menang mendapat suara yang cukup banyak di daerah, tetapi ada juga sebagian besar saya lihat itu tidak mendapat suara," ujar Febri kepada wartawan di gedung KPK, Jumat (29/6).
Menurut dia, apa pun hasil dalam pilkada serentak 2018, itu adalah suara yang sudah diberikan oleh rakyat. "Maka tentunya harus dihormati. Namun, KPK akan memisahkan antara proses politik tersebut dengan proses hukumnya. Silakan berjalan di koridor masing-masing," tuturnya.
Karena itu, kasus korupsi yang dilakukan oleh calon kepala daerah pemenang pilkada 2018 tetap akan diteruskan. "Jadi, calon kepala daerah terbaik yang sudah ditahan ataupun belum ditahan oleh KPK yang sudah jadi tersangka tetap akan diproses sesuai undang-undang tindak pidana korupsi," kata Febri menegaskan.(rol)