Kamis 27 Juni 2019, 12:45 WIB
Kolom
Kepastian Hukum Kasus BLBI
Jakarta -
Ditetapkannya pengusaha Sjamsul Nursalim dan istrinya sebagai tersangka dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membuka babak baru dalam penyidikan perkara lama tersebut.
Dalam perkara sebelumnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Majelis Hakim menyatakan bahwa Syafruddin telah melakukan tindak pidana korupsi tersebut bersama-sama (penyertaan/delneeming) dengan Sjamsul Nursalim dan istrinya, serta Dorojatun Kuntjoro Jakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Obligor BLBI, yang diduga merugikan negara Rp 4,5 triliun.
Menurut versi penegak hukum, kerugian negara tersebut disinyalir timbul karena Syafruddin menghapuskan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yang sahamnya dimiliki Sjamsul Nursalim kepada Petani Tambak sebesar Rp 4,8 triliun (loans to farmers) yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira, yang telah menjadi bagian dari komponen perhitungan nilai dalam Master Settlement and Acqusition Agreement (MSAA) antara Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI dan BPPN yang mewakili pemerintah.
Sesuai prinsip Res Judicata Pro Veritate Habetur, putusan Pengadilan Tipikor di atas haruslah dihormati dan dianggap benar, sampai dibatalkan atau dinyatakan sebaliknya oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi dan berkekuatan hukum tetap (Putusan Mahkamah Agung).
Namun, dari proses perkara BLBI yang sudah lintas rezim pemerintahan ini, timbul suatu pertanyaan penting bagi kita bersama, yaitu sejauh mana keberlakuan dan kepastian hukum (rechtzakerheid) dari MSAA sebagai suatu dokumen yang dibuat dan ditandatangani oleh negara/pemerintah?
Berawal dari Inpres 2/2002
Sekadar menyegarkan ingatan kita, permasalahan BLBI ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari krisis moneter yang dialami Indonesia sejak Agustus 1997. Pada waktu itu, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank memperebutkan dana segar dari masyarakat, ditambah kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional menurun, sehingga mengakibatkan sebagian masyarakat menarik dananya (rush money).
Krisis ekonomi juga menyebabkan pemerintahan Soeharto pada waktu itu mengeluarkan kebijakan pemberian bantuan likuiditas bagi bank yang "sehat", dan sebaliknya bagi bank yang "sakit" akan dilakukan penggabungan (merger) atau dilikuidasi. Kucuran dana segar dari pemerintah itulah yang disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Selanjutnya pada 30 Desember 2002, berdasarkan TAP MPR No. X/MPR 2001 dan TAP MPR No. VI/MPR 2002, pada waktu itu, Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2002 Tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
Meskipun bukan termasuk dalam kategori Peraturan (Regeling) dan juga bukan Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking), Inpres ini merupakan suatu kebijakan diskresional, yang memberikan arahan yang cukup jelas kepada para menteri, Jaksa Agung, Kapolri dan termasuk Ketua BPPN untuk mencapai suatu kepastian hukum (rechtzakerheid), baik untuk pemerintah maupun para pemegang saham dari bank obligor, yaitu penyelesaian melalui mekanisme MSAA, Master of Refinancing and Note Issuance Agreement(MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang (APU) yang ditandatangani bersama.
Selain sebagai suatu dokumen sah yang dibuat dan ditandatangani oleh negara yang diwakili Badan Penyehatan Pebankan Nasional (BPPN) dan pemegang saham dari obligor sebagai para pihak, klausula-klausula yang disepakati oleh para pihak dalam MSAA tersebut menurut asas hukum perjanjian Pacta Sun Servanda yang berlaku secara universal, secara hukum telah menjadi suatu "undang-undang" yang mengikat dan harus dilaksanakan oleh para pihak tersebut (Pasal 1338 KUH Perdata), termasuk mengenai klausula pembebasan dan pelepasan dari segala tuntutan hukum di waktu yang akan datang.
Namun, yang terjadi saat ini obligor dalam perjanjian MSAA justru menghadapi proses hukum, sehingga obligor dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham dari Perseroan Terbatas, yang secara hukum memiliki kekayaan terpisah dari perusahaannya tapi tetap bersedia mengikatkan diri untuk bertanggung jawab dalam MSAA, justru mempertanyakan komitmen dan iktikad baik pemerintah dalam pelaksanaan MSAA tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan dari Mahfud MD yang pernah menyatakan bahwa dalam setiap produk hukum yang dikeluarkan negara, maka negara wajib menjamin kepastian hukum bagi penerimanya.
Utamakan Pengembalian Kerugian Negara
Oleh karena para tersangka dalam kasus BLBI dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor, yang di-juncto-kan dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan (delneeming), maka berdasarkan teori hukum pidana, apabila ada salah satu pelaku dilepaskan dari tanggung jawab pidana karena adanya alasan pembenar, misalnya karena menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP), maka konsekuensinya pelaku lainnya juga harus dilepaskan.
Perkara BLBI ini memang terbilang cukup kompleks penanganannya, mengingat terdapat dua hasil audit BPK pada 2006 dan 2017 yang berbeda hasilnya, khususnya mengenai ada atau tidak adanya kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur Tindak Pidana Korupsi. Sebagai Lembaga Negara yang secara konstitusional berwenang untuk menentukan kerugian keuangan negara, sudah sepatutnya BPK dapat mempertanggungjawabkan hasil auditnya seobjektif mungkin.
Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, yang menyatakan frasa "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor inkonsitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindak pidana korupsi yang sebelumnya merupakan delik formil kini menjadi delik yang menekankan pada "akibat" (delik materiil), yaitu adanya unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti. Oleh karena itu, dengan adanya dua audit BPK yang berbeda dalam perkara ini telah menjadikan unsur kerugian keuangan negaranya mengandung suatu ketidakpastian.
Namun demikian, jika penegak hukum mendalilkan adanya kerugian keuangan negara dalam perkara BLBI menurut audit BPK pada 2017, dan apabila tujuan utamanya adalah mengembalikan kerugian keuangan negara, maka sesuai Pasal 32 UU Tipikor, penyidik yang menangani perkara BLBI tersebut masih memiliki opsi upaya hukum lainnya selain memidanakan para pelaku, yaitu dengan menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk dilakukannya Gugatan Perdata, atau dengan berbagai upaya asset recovery lainnya untuk dapat memulihkan kerugian keuangan negara.
Last but not least, tanpa mengurangi semangat kita bersama dalam memerangi korupsi sebagai extraordinary crime, maka hendaknya penegakan hukum dilakukan dengan mengutamakan kepastian hukum sebagai modal utama untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha terhadap proses penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia.
Albert Aries advokat dan dosen tidak tetap Fakultas Hukum Universitas Trisakti