Kamis 27 Juni 2019, 16:18 WIB
Kolom
Gelar Palsu dan Esensi Pendidikan
Jakarta - Isu ijazah dan gelar palsu kembali mencuat menyusul ditangkapnya Nurul Qomar, komedian senior yang juga politikus, oleh jajaran kepolisian Resor Brebes, Jawa Tengah, Selasa (25/6) lalu. Nurul Qomar diduga telah menggunakan ijazah palsu S-2 dan S-3 untuk kepentingan pencalonannya sebagai Rektor Universitas Muhadi Setiabudi (Umus) Brebes.
Fenomena ijazah dan gelar palsu sesungguhnya bukan cerita baru. Praktik tersebut sudah cukup lama berlangsung mewarnai jagat pendidikan kita. Sejumlah media beberapa waktu silam bahkan pernah ramai-ramai menurunkan laporan tentang praktik dan alur jual-beli ijazah dan gelar palsu ini.
Esensi PendidikanPraktik penggunaan ijazah dan gelar palsu sejatinya hanyalah buah dari sistem pendidikan kita yang selama ini mengajari para pesertanya untuk mementingkan hasil ketimbang proses. Jujur saja, sebagian besar institusi pendidikan di negeri ini telah berhasil menanamkan kepada anak-anak kita sejak dini ihwal keyakinan bahwa belajar adalah alat untuk mengejar nilai dan surat tanda kelulusan serta penghargaan-penghargaan lain semisal hadiah, pujian, atau pun gelar.
Padahal, tujuan ideal pendidikan --lebih-lebih pendidikan tingkat dasar-- adalah menumbuhkan dan mengembangkan potensi dan kreativitas anak-anak kita. Dengan demikian, sekolah, baik itu sekolah negeri maupun sekolah swasta, harus menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi dan kreativitas anak.
Esensi pendidikan --terlepas seperti apa pun bentuk kurikulum maupun pendekatan yang digunakan-- adalah untuk menciptakan peserta didik yang mampu mengembangkan rasa ingin tahu, kreatif, dan memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat.
Persoalannya selama ini, alih-alih menjadi tempat subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi dan kreativitas anak yang mampu melahirkan individu-individu yang serba ingin tahu, serta memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat, kebanyakan institusi pendidikan kita hanya menjadi tempat mencari nilai dan ijazah belaka. Lain tidak.
Dalam konteks ini, agaknya perlu ada semacam reorientasi dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan kita yang kini lebih memberat kepada hasil akhir secara instan, yang diukur dengan raihan nilai, lembaran ijazah, serta gelar itu harus diubah agar lebih memberat kepada proses, menekankan pembentukan karakter, pengembangan potensi, dan lahirnya berbagai kreativitas dari para peserta didiknya dengan jalan mengimplementasikan beberapa aspek fundamental berikut ini.
Pertama, individu akan belajar dengan baik ihwal apa yang mereka inginkan dan perlukan. Artinya, biarkan setiap individu memiliki kebebasan untuk mempelajari apa-apa yang mereka inginkan dan perlukan. Oleh sebab itu, jangan pernah memaksa anak-anak kita untuk mempelajari sesuatu yang justru tidak mereka inginkan dan butuhkan.
Kedua, setiap orang adalah individu yang unik dan berbeda. Kurikulum dan pendekatan pendidikan yang baik tidak mengekang dan menyeragamkan para peserta didiknya sehingga menjadikan mereka sebagai individu-individu pembeo yang minim kreativitas dan kehilangan jati diri.
Ketiga, mendorong setiap individu mengetahui bagaimana cara belajar jauh lebih baik ketimbang menjadikan mereka sebagai tempat penampung pengetahuan. Faktanya, selama ini pendidikan di negeri kita lebih memberat kepada konsep penampung pengetahuan. Anak-anak kita diperlakukan laksana gudang kosong yang siap dijejali berbagai pengetahuan, yang belum tentu penting dan dibutuhkan oleh mereka.
Keempat, individu akan cepat belajar dalam lingkungan yang menyenangkan. Sayang, tidak sedikit sekolah kita yang malah menjadi momok, baik secara psikologis maupun emosional, bagi anak-anak kita. Alih-alih merasa senang belajar di sekolah, anak-anak kita malah menjadi depresi dan stres.
Kelima, belajar adalah proses tanpa akhir untuk meraih kemajuan diri insani. Tetapi, seperti telah dipaparkan di muka, sebagian besar institusi pendidikan kita justru menanamkan keyakinan bahwa belajar adalah alat untuk mengejar nilai dan surat tanda kelulusan serta penghargaan-penghargaan lain semisal hadiah dan pujian serta gelar. Akibatnya, anak-anak kita belajar sungguh-sungguh hanya karena mau ujian demi mengejar nilai dan surat tanda kelulusan serta agar mendapat sejumlah penghargaan dan pujian.
Jika sejumlah aspek fundamental di atas bisa diterapkan dengan sebaik-sebaiknya, yakinlah kita bakal melihat banyak anak kita yang akan tumbuh dan berkembang jiwa kemandiriannya berikut kreativitas dan rasa keingintahuannya, yang pada gilirannya bakal mendorong berkembangnya potensi diri mereka.
Kemandirian, kreativitas, dan keingintahuan adalah bekal berharga bagi anak-anak kita untuk menghadapi kehidupan masa depan mereka yang kian penuh tantangan. Ketiga hal tersebut jauh lebih berharga dan bermanfaat daripada sekedar nilai dalam buku rapor, secarik kertas tanda kelulusan serta gelar akademik.
Irma Suryani ; Alumni STAI Sukabumi
Fenomena ijazah dan gelar palsu sesungguhnya bukan cerita baru. Praktik tersebut sudah cukup lama berlangsung mewarnai jagat pendidikan kita. Sejumlah media beberapa waktu silam bahkan pernah ramai-ramai menurunkan laporan tentang praktik dan alur jual-beli ijazah dan gelar palsu ini.
Esensi PendidikanPraktik penggunaan ijazah dan gelar palsu sejatinya hanyalah buah dari sistem pendidikan kita yang selama ini mengajari para pesertanya untuk mementingkan hasil ketimbang proses. Jujur saja, sebagian besar institusi pendidikan di negeri ini telah berhasil menanamkan kepada anak-anak kita sejak dini ihwal keyakinan bahwa belajar adalah alat untuk mengejar nilai dan surat tanda kelulusan serta penghargaan-penghargaan lain semisal hadiah, pujian, atau pun gelar.
Padahal, tujuan ideal pendidikan --lebih-lebih pendidikan tingkat dasar-- adalah menumbuhkan dan mengembangkan potensi dan kreativitas anak-anak kita. Dengan demikian, sekolah, baik itu sekolah negeri maupun sekolah swasta, harus menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi dan kreativitas anak.
Esensi pendidikan --terlepas seperti apa pun bentuk kurikulum maupun pendekatan yang digunakan-- adalah untuk menciptakan peserta didik yang mampu mengembangkan rasa ingin tahu, kreatif, dan memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat.
Persoalannya selama ini, alih-alih menjadi tempat subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi dan kreativitas anak yang mampu melahirkan individu-individu yang serba ingin tahu, serta memiliki kemampuan belajar sepanjang hayat, kebanyakan institusi pendidikan kita hanya menjadi tempat mencari nilai dan ijazah belaka. Lain tidak.
Dalam konteks ini, agaknya perlu ada semacam reorientasi dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan kita yang kini lebih memberat kepada hasil akhir secara instan, yang diukur dengan raihan nilai, lembaran ijazah, serta gelar itu harus diubah agar lebih memberat kepada proses, menekankan pembentukan karakter, pengembangan potensi, dan lahirnya berbagai kreativitas dari para peserta didiknya dengan jalan mengimplementasikan beberapa aspek fundamental berikut ini.
Pertama, individu akan belajar dengan baik ihwal apa yang mereka inginkan dan perlukan. Artinya, biarkan setiap individu memiliki kebebasan untuk mempelajari apa-apa yang mereka inginkan dan perlukan. Oleh sebab itu, jangan pernah memaksa anak-anak kita untuk mempelajari sesuatu yang justru tidak mereka inginkan dan butuhkan.
Kedua, setiap orang adalah individu yang unik dan berbeda. Kurikulum dan pendekatan pendidikan yang baik tidak mengekang dan menyeragamkan para peserta didiknya sehingga menjadikan mereka sebagai individu-individu pembeo yang minim kreativitas dan kehilangan jati diri.
Ketiga, mendorong setiap individu mengetahui bagaimana cara belajar jauh lebih baik ketimbang menjadikan mereka sebagai tempat penampung pengetahuan. Faktanya, selama ini pendidikan di negeri kita lebih memberat kepada konsep penampung pengetahuan. Anak-anak kita diperlakukan laksana gudang kosong yang siap dijejali berbagai pengetahuan, yang belum tentu penting dan dibutuhkan oleh mereka.
Keempat, individu akan cepat belajar dalam lingkungan yang menyenangkan. Sayang, tidak sedikit sekolah kita yang malah menjadi momok, baik secara psikologis maupun emosional, bagi anak-anak kita. Alih-alih merasa senang belajar di sekolah, anak-anak kita malah menjadi depresi dan stres.
Kelima, belajar adalah proses tanpa akhir untuk meraih kemajuan diri insani. Tetapi, seperti telah dipaparkan di muka, sebagian besar institusi pendidikan kita justru menanamkan keyakinan bahwa belajar adalah alat untuk mengejar nilai dan surat tanda kelulusan serta penghargaan-penghargaan lain semisal hadiah dan pujian serta gelar. Akibatnya, anak-anak kita belajar sungguh-sungguh hanya karena mau ujian demi mengejar nilai dan surat tanda kelulusan serta agar mendapat sejumlah penghargaan dan pujian.
Jika sejumlah aspek fundamental di atas bisa diterapkan dengan sebaik-sebaiknya, yakinlah kita bakal melihat banyak anak kita yang akan tumbuh dan berkembang jiwa kemandiriannya berikut kreativitas dan rasa keingintahuannya, yang pada gilirannya bakal mendorong berkembangnya potensi diri mereka.
Kemandirian, kreativitas, dan keingintahuan adalah bekal berharga bagi anak-anak kita untuk menghadapi kehidupan masa depan mereka yang kian penuh tantangan. Ketiga hal tersebut jauh lebih berharga dan bermanfaat daripada sekedar nilai dalam buku rapor, secarik kertas tanda kelulusan serta gelar akademik.
Irma Suryani ; Alumni STAI Sukabumi