Berebut Kursi di Sekolah Inklusi
"EVERYONE is genius. But if you judge a fish on its ability to climb a tree, it will live its whole life believing its stupid," (Albert Einstein, 1879-1955).
Alif, anak berusia 8 tahun, tidak diterima di sekolah terdekat dengan alasan yang amat miris; ia berkebutuhan khusus. Mengapa ini terjadi di tengah upaya semua pihak ingin meretas sekolah inklusi? Bagimana sekolah dengan sistem zonasi merespons?
Dalam kasus Alif, potret dan pesan dari alasan pihak sekolah ialah khawatir Alif tidak bisa mengikuti pelajaran seperti siswa lain. Jika tak naik kelas, ini akan menghancurkan reputasi sekolah. Alasan tersebut disampaikan tanpa tedeng aling-aling. Ketika cerita ini diunggah di media sosial, beragam tanggapan muncul, mulai cerita-cerita sejenis di daerah mereka, hingga anjuran untuk mendaftarkan ABK ke sekolah luar biasa (SLB). Alif tak sendiri. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2016 menunjukkan dari 4,6 juta anak yang tidak sekolah, satu juta di antaranya ialah anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Stigma dan prasangka
Penolakan ABK di sekolah reguler umumnya karena pihak sekolah beranggapan bahwa ABK tidak mampu. Tanpa perlu asesmen, label tersebut disematkan hanya dengan melihat kondisi fisik dan sensorik calon siswa. Bahkan ada sekolah yang menetapkan tingkat IQ tertentu sebagai syarat diterima sebagai siswa. Bukan hanya itu, kondisi fisik yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan pun menjadi tembok tinggi yang menghalangi calon siswa untuk sekolah. Betulkah mereka tidak mampu?
Tentu kita masih ingat gadis kecil yang memanah bersama Presiden Jokowi pada Pembukaan Asian Para Games 2018. Namanya Bulan Karunia Rudianti (10), gadis yang lahir tanpa kedua kaki. Sebelum sukses mencuri perhatian karena aksinya bersama Presiden, kisahnya sama dengan banyak ABK lainnya; ditolak di banyak sekolah. Karena penolakan itu, ia baru bisa masuk sekolah ketika usianya 9 tahun. Itu pun di sekolah yang sangat jauh dari rumahnya. Bulan gadis pintar. Terbukti, baru setahun bersekolah di SD tersebut, ia langsung naik ke kelas tiga tanpa kesulitan.
Robert Hensel pernah berkata: "Know me for my ability, not my disability." Atlet kursi roda dan juru bicara 'Athlete for Hope' ini berhasil mematahkan anggapan bahwa menjadi disabilitas akan menghalanginya meraih mimpi. Salah satu ungkapannya yang sangat terkenal ialah: "Disabilitasku justru membuka mata untuk melihat kemampuanku yang sejati."
Ia tidak hanya menjadi role model bagi sesama disabilitas, tapi juga telah menginspirasi jutaan orang untuk memandang manusia dengan kemampuannya, bukan ketidakmampuannya. Jangan meminta ikan untuk memanjat pohon. Mintalah berenang, nasihat Einstein. Disabilitas atau kebutuhan khusus mestinya tidak menjadi alasan sekolah untuk menutup pintu karena sejatinya sekolah ialah pintu-pintu yang memungkinkan seseorang menemukan kemampuannya yang hakiki.
Selain anggapan tidak mampu, alasan lebih halus yang disampaikan pihak sekolah umumnya karena merasa tidak memiliki prasarana yang mendukung, atau tidak tersedia guru pendamping. Masuk akal. Kita tahu bahwa masih sangat sedikit sekolah yang telah menyediakan prasarana yang aksesibel, misalnya handrail (pegangan tangga), guiding block (blok pemandu bagi difabel netra), ramp (bidang datar untuk pengguna kursi roda), dan lain-lain. Sampai kapan?
Apakah sekolah akan terus membiarkan bangunan tidak aksesibel yang berarti menutup pintu bagi ABK, sedangkan kesempatan untuk merenovasi bangunan selalu ada? Akan halnya guru pendamping, bukankah selalu tersedia kesempatan untuk mengikuti pelatihan guru pendamping? Lebih dari itu, bukankah yang dibutuhkan ialah empathy dan kesediannya untuk merengkuh siapa pun yang datang untuk belajar?
'Kemalasan' pihak sekolah untuk menyesuaikan bangunan dan menyediakan guru pendamping ini manjadikan banyak ABK tertolak di sekolah terdekat. Saran yang disampaikan dengan halus umumnya, "Silakan mendaftar ke SLB yang lebih lengkap prasarananya dan tersedia guru khusus untuk ABK." Apakah saran ini salah? Tidak selalu. Namun, apakah ini solusi yang tepat? Juga tidak. Meski SLB adalah solusi bagi banyak kasus, itu bukanlah satu-satunya jalan keluar yang tepat.
Mari kita lihat berapa jumlah SLB yang tersedia dan bandingkan dengan jumlah ABK. Menurut BPS 2017, jumlah ABK di Indonesia mencapai 1,6 juta. Dari jumlah tersebut yang mendapat layanan pendidikan baru 18%, yang artinya masih ada 82% ABK yang belum terlayani pendidikan. Dari 18% tersebut, 115 ribu siswa bersekolah di SLB, sedangkan 299 ribu lainnya di sekolah umum. Ini masuk akal karena SLB belum tersebar rata. Dari 524 kabupaten/kota di Indonesia, masih terdapat 62 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB.
Di samping jumlahnya yang terbatas, SLB umumnya terletak di kota dan kecamatan, bahkan di kabupaten. ABK dengan hambatan mobilitas tentu akan berlipat kesulitannya jika harus mengakses pendidikan yang sangat jauh dari rumahnya. Belum lagi faktor kemiskinan. Bagi keluarga miskin, biaya yang harus dikeluarkan ABK untuk bersekolah di kota tentu akan sangat memberatkan. Tantangan lain ialah SLB masih terbatas pada jenis disabilitas tertentu sehingga tidak bisa diakses semua ragam disabilitas. Lebih jauh, SLB mensegregasikan ABK dengan anak lain sehingga perjumpaan dengan non-ABK tidak terjadi dan berpotensi semakin mempertajam kesenjangan.
Perbanyak sekolah inklusi
Untuk mengatasi kesenjangan antara SLB dan kebutuhan ABK yang tidak tertampung, pemerintah melalui Kemendikbud menjalankan program sekolah inklusi. Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang menerima siswa ABK dan idealnya (tapi belum semua) memiliki guru pendamping khusus. Meskipun masih ada pro-kontra dan kritik terkait implementasi yang belum efektif, inisiatif sekolah inklusi ini ialah solusi yang patut diapresiasi. Saat ini tercatat telah ada 32 ribu sekolah reguler dengan label inklusi. Namun, ini belum cukup. Dari data BPS tadi, masih ada 82% ABK yang belum bisa mengakses pendidikan.
Kesenjangan ini jika tidak diurai, akan terus menjadi masalah serius. Itu sebabnya, memperbanyak sekolah inklusi tak dapat ditawar. Upaya memperbaiki kualitas sekolah inklusi perlu dilakukan dengan memastikan mindset sekolah dan masyarakat berubah lebih inklusif. Tidak hanya dengan menerima siswa ABK, tetapi juga penyediaan prasarana yang aksesibel, penyediaan guru pendamping serta sikap/perilaku guru, siswa lain dan masyarakat yang berubah. Jika ini dilakukan, kisah Alif tak ada lagi dalam catatan perjalanan inklusivitas kita. ***