Jumat 12 Juli 2019, 18:20 WIB
Merebut Tafsir Muslimah
Ketika meminta jasa ilustrasi sampul buku saya, Muslimah Yang Diperdebatkan, dua ilustrator secara tak sengaja menyetor hasil gambar yang sejenis. Muslimah, digambarkan lewat visualisasi perempuan dengan jilbab besar tanpa wajah. Hasil lainnya, bahkan perempuan berjilbab menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian longgar berwarna hitam, cadar serta jaring mata.
Kejadian ini mengingatkan saya kepada sebuah penerbit yang beberapa waktu lalu mengumumkan penerbitan ulang buku berjudul Fiqh Perempuan karya Buya Husein Muhammad. Ilustrasi sampul awal berupa gambar muslimah bercadar menyebar di beberapa platform media sosial untuk kebutuhan promosi pra-pesan. Sebab sedikit tergelitik, saya merasa perlu untuk bertanya kepada pihak penerbit, apa alasan ilustrator memilih gambar perempuan bercadar pada sampul.
Buku Fiqh Perempuan versi Buya Husein Muhammad cukup berbeda dari buku-buku fiqh untuk perempuan lain. Buku ini ditulis dengan paradigma kasuistik, berusaha melihat lebih dalam pada masalah-masalah terkini yang dialami oleh perempuan. Fiqh boleh berubah jika produk hukumnya tidak lagi membuat maslahat. Bisa dibilang, buku ini memakai paradigma Kiai Sahal Mahfudh untuk fiqh sosial, namun khusus menyoal masalah muslimah.
Minggu selanjutnya, buku fisik Fiqh Perempuan itu terbit dengan ilustrasi gambar yang berbeda. Seorang perempuan dengan kain kerudung renda yang menutupi sebagian rambutnya. Saya tenang dan senang karena memang semestinya seperti itulah kerja-kerja literasi untuk perempuan. Buku di jajaran rak-rak toko tak perlu terus-terusan meluaskan stereotip bahwa muslimah secara visual harus selalu begitu-begitu saja.
Ilustrator buku Muslimah Yang Diperdebatkan akhirnya menawarkan beberapa pilihan lain yang cukup saya sukai. Sesuai gagasan yang ada dalam buku itu. Muslimah di Indonesia punya beragam identitas. Ada muslimah yang memakai banyak variasi kerudung yang tak sama bentuknya, ada muslimah yang tidak memakai kerudung, ada muslimah yang menyesuaikan pakaian untuk tubuhnya dengan luwes saja. Tiap ekspresi tersebut hadir mewakili identitas lain yang melekat pada tubuh dan pikirannya, seperti dari mana ia berasal, latar belakang pendidikan serta kiprah kemanusiaan yang ia jalani.
Dari dua kejadian di atas, kita tahu bahwa tafsir tunggal yang melekat pada suatu kata benda atau kata kerja tertentu seringkali menjadi referensi umum sebagian besar orang. Misalnya, saya pernah menyimak sebuah simulasi dari kampanye digital (tagar) "tanamkankepercayaan" yang diinisiasi oleh program Investing in Women ASEAN. Orang-orang dewasa diminta menggambar di atas selembar kertas tentang beragam profesi yang mereka ketahui.
Hasilnya, sebagian besar profesi diwakili oleh gambar sketsa sosok laki-laki. Ada guru laki-laki, pilot laki-laki, atlet laki-laki, juru foto laki-laki, saintis laki-laki dan lainnya. Amat jarang yang menggambarkan profesi-profesi tersebut dengan sosok perempuan. Mengapa? Tidak kepikiran, atau apakah secara sadar kita sudah sangat timpang sejak dalam pikiran?
Jawabannya tentu saja karena tafsir umum untuk beragam pekerjaan juga sangat maskulin. Arsitek masih dianggap dunia laki-laki, padahal satu kelas arsitek di sebuah kampus hari ini lebih banyak diisi perempuan, misalnya.
Sama seperti preferensi visual sebagian besar orang ketika menyebut kata muslimah. Di Indonesia, ada petani perempuan beragama Islam, pekerja konstruksi perempuan beragama Islam, instruktur olahraga perempuan beragama Islam, juga jurnalis beragam Islam. Ekspresi mereka dalam berpakaian dan beraktivitas tentu saja tak seragam.
Petani dengan kain penutup kepala dan celana kain yang lebih berfungsi sebagai pelindung panas. Pedagang di pasar dengan kaos pendek dan sarung tangan untuk memotong ayam dan memecah kelapa yang memudahkan pekerjaannya. Pun jurnalis lapangan dengan gaya yang lebih kasual.
Tetapi, media Islam dan akun-akun dakwah di Instagram memproduksi visual tunggal untuk muslimah. Seorang perempuan dengan kain jilbab lebar dalam posisi menunduk. Beberapa media Islam yang sangat konservatif tentu menolak untuk menggambar wajah perempuan, sehingga wujudnya hanya tinggal siluet. Kerja visual itu berlandaskan kepercayaan bahwa tubuh perempuan adalah sumber fitnah, dan selanjutnya gagasan perempuan di bidang apa saja seakan tidak punya koneksi dengan teks-teks agama.
Dalam perjalanan saya ketika menggelar kelas Muslimah dan Media Islam di beberapa kota, para perempuan bercerita pengalaman hidup mereka sebagai perempuan dan sebagai muslimah. Seorang perempuan bercerita, suatu pagi, ayahnya membagikan video ceramah seorang ustaz yang menyampaikan sebuah hadis bahwa satu rambut perempuan yang terlihat oleh mereka yang bukan mahram, maka akan berbalas 70 tahun neraka.
Grup Whatsapp keluarganya adalah pusat segala informasi menakutkan sebab mustahil melakukan dialog secara setara atas sebuah persoalan. Meskipun dalam hati menggugat banyak hal, sebagian besar perempuan memilih diam karena mengafirmasi bahwa dirinya memang awam dalam soal-soal keagamaan.
Tafsir tunggal atas muslimah dan pakaian muslimah kemudian membentuk sebuah muara tafsir atas istilah salihah. Salihah, menurut akun-akun dakwah di Instagram terbentuk dari konten visual perempuan berpakaian menutup seluruh badan, menunduk yang mewakili rasa malu, lalu disempurnakan dengan posisinya untuk beberapa tema, biasanya seputar pernikahan. Tema tersebut akan menyajikan teks-teks seputar kewajiban perempuan yang akan membawanya ke surga dan sebaliknya, hal-hal larangan bagi perempuan, yang akan membawanya ke neraka.
Pendefinisian salihah juga terbatas kepada bedak, parfum, dan hal lain yang sangat tak relevan dengan bagaimana hari ini perempuan muslimah telah sangat bisa membawa diri dan menjaga diri sendiri dengan sadar dan bertanggung jawab.
Saya masih terus berkeliling untuk menjumpai lebih banyak muslimah. Pertama, untuk saling mendengar pengalaman perempuan. Kedua, untuk kelak merebut tafsir, bahwa hidup sebagai muslimah di Indonesia hari ini tidak sesulit referensi visualisasi akun-akun dakwah. Perempuan muslimah boleh tetap menjalani laku yang hari ini menjadi jalan jihad masing-masing, dengan ekspresi diri dan aktivitas yang ia pilih secara sadar. Berikutnya, giliran media Islam yang merasa moderat untuk memproduksi konten visual muslimah yang tidak seragam.
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama.
Kejadian ini mengingatkan saya kepada sebuah penerbit yang beberapa waktu lalu mengumumkan penerbitan ulang buku berjudul Fiqh Perempuan karya Buya Husein Muhammad. Ilustrasi sampul awal berupa gambar muslimah bercadar menyebar di beberapa platform media sosial untuk kebutuhan promosi pra-pesan. Sebab sedikit tergelitik, saya merasa perlu untuk bertanya kepada pihak penerbit, apa alasan ilustrator memilih gambar perempuan bercadar pada sampul.
Buku Fiqh Perempuan versi Buya Husein Muhammad cukup berbeda dari buku-buku fiqh untuk perempuan lain. Buku ini ditulis dengan paradigma kasuistik, berusaha melihat lebih dalam pada masalah-masalah terkini yang dialami oleh perempuan. Fiqh boleh berubah jika produk hukumnya tidak lagi membuat maslahat. Bisa dibilang, buku ini memakai paradigma Kiai Sahal Mahfudh untuk fiqh sosial, namun khusus menyoal masalah muslimah.
Minggu selanjutnya, buku fisik Fiqh Perempuan itu terbit dengan ilustrasi gambar yang berbeda. Seorang perempuan dengan kain kerudung renda yang menutupi sebagian rambutnya. Saya tenang dan senang karena memang semestinya seperti itulah kerja-kerja literasi untuk perempuan. Buku di jajaran rak-rak toko tak perlu terus-terusan meluaskan stereotip bahwa muslimah secara visual harus selalu begitu-begitu saja.
Ilustrator buku Muslimah Yang Diperdebatkan akhirnya menawarkan beberapa pilihan lain yang cukup saya sukai. Sesuai gagasan yang ada dalam buku itu. Muslimah di Indonesia punya beragam identitas. Ada muslimah yang memakai banyak variasi kerudung yang tak sama bentuknya, ada muslimah yang tidak memakai kerudung, ada muslimah yang menyesuaikan pakaian untuk tubuhnya dengan luwes saja. Tiap ekspresi tersebut hadir mewakili identitas lain yang melekat pada tubuh dan pikirannya, seperti dari mana ia berasal, latar belakang pendidikan serta kiprah kemanusiaan yang ia jalani.
Dari dua kejadian di atas, kita tahu bahwa tafsir tunggal yang melekat pada suatu kata benda atau kata kerja tertentu seringkali menjadi referensi umum sebagian besar orang. Misalnya, saya pernah menyimak sebuah simulasi dari kampanye digital (tagar) "tanamkankepercayaan" yang diinisiasi oleh program Investing in Women ASEAN. Orang-orang dewasa diminta menggambar di atas selembar kertas tentang beragam profesi yang mereka ketahui.
Hasilnya, sebagian besar profesi diwakili oleh gambar sketsa sosok laki-laki. Ada guru laki-laki, pilot laki-laki, atlet laki-laki, juru foto laki-laki, saintis laki-laki dan lainnya. Amat jarang yang menggambarkan profesi-profesi tersebut dengan sosok perempuan. Mengapa? Tidak kepikiran, atau apakah secara sadar kita sudah sangat timpang sejak dalam pikiran?
Jawabannya tentu saja karena tafsir umum untuk beragam pekerjaan juga sangat maskulin. Arsitek masih dianggap dunia laki-laki, padahal satu kelas arsitek di sebuah kampus hari ini lebih banyak diisi perempuan, misalnya.
Sama seperti preferensi visual sebagian besar orang ketika menyebut kata muslimah. Di Indonesia, ada petani perempuan beragama Islam, pekerja konstruksi perempuan beragama Islam, instruktur olahraga perempuan beragama Islam, juga jurnalis beragam Islam. Ekspresi mereka dalam berpakaian dan beraktivitas tentu saja tak seragam.
Petani dengan kain penutup kepala dan celana kain yang lebih berfungsi sebagai pelindung panas. Pedagang di pasar dengan kaos pendek dan sarung tangan untuk memotong ayam dan memecah kelapa yang memudahkan pekerjaannya. Pun jurnalis lapangan dengan gaya yang lebih kasual.
Tetapi, media Islam dan akun-akun dakwah di Instagram memproduksi visual tunggal untuk muslimah. Seorang perempuan dengan kain jilbab lebar dalam posisi menunduk. Beberapa media Islam yang sangat konservatif tentu menolak untuk menggambar wajah perempuan, sehingga wujudnya hanya tinggal siluet. Kerja visual itu berlandaskan kepercayaan bahwa tubuh perempuan adalah sumber fitnah, dan selanjutnya gagasan perempuan di bidang apa saja seakan tidak punya koneksi dengan teks-teks agama.
Dalam perjalanan saya ketika menggelar kelas Muslimah dan Media Islam di beberapa kota, para perempuan bercerita pengalaman hidup mereka sebagai perempuan dan sebagai muslimah. Seorang perempuan bercerita, suatu pagi, ayahnya membagikan video ceramah seorang ustaz yang menyampaikan sebuah hadis bahwa satu rambut perempuan yang terlihat oleh mereka yang bukan mahram, maka akan berbalas 70 tahun neraka.
Grup Whatsapp keluarganya adalah pusat segala informasi menakutkan sebab mustahil melakukan dialog secara setara atas sebuah persoalan. Meskipun dalam hati menggugat banyak hal, sebagian besar perempuan memilih diam karena mengafirmasi bahwa dirinya memang awam dalam soal-soal keagamaan.
Tafsir tunggal atas muslimah dan pakaian muslimah kemudian membentuk sebuah muara tafsir atas istilah salihah. Salihah, menurut akun-akun dakwah di Instagram terbentuk dari konten visual perempuan berpakaian menutup seluruh badan, menunduk yang mewakili rasa malu, lalu disempurnakan dengan posisinya untuk beberapa tema, biasanya seputar pernikahan. Tema tersebut akan menyajikan teks-teks seputar kewajiban perempuan yang akan membawanya ke surga dan sebaliknya, hal-hal larangan bagi perempuan, yang akan membawanya ke neraka.
Pendefinisian salihah juga terbatas kepada bedak, parfum, dan hal lain yang sangat tak relevan dengan bagaimana hari ini perempuan muslimah telah sangat bisa membawa diri dan menjaga diri sendiri dengan sadar dan bertanggung jawab.
Saya masih terus berkeliling untuk menjumpai lebih banyak muslimah. Pertama, untuk saling mendengar pengalaman perempuan. Kedua, untuk kelak merebut tafsir, bahwa hidup sebagai muslimah di Indonesia hari ini tidak sesulit referensi visualisasi akun-akun dakwah. Perempuan muslimah boleh tetap menjalani laku yang hari ini menjadi jalan jihad masing-masing, dengan ekspresi diri dan aktivitas yang ia pilih secara sadar. Berikutnya, giliran media Islam yang merasa moderat untuk memproduksi konten visual muslimah yang tidak seragam.
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama.