Jumat 12 Juli 2019, 16:15 WIB
Perda, Qanun, dan Sistem Negara Kesatuan
Belakangan ini masyarakat tengah "diributkan" dengan kehadiranqanun bernuansa agama yang mengatur ketentuan mengenai poligami. Qanunsendiri merupakan peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah (perda) yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
Sebagai bentuk kekhususan bagi masyarakat Aceh, melalui UU Nomor 11 Tahun 2006, mereka diberikan kewenangan untuk membentuk perda (qanun) yang bersumber pada nilai-nilai agama di Aceh. Munculnya qanun yang memuat tentang poligami ini, tentu saja mengundang pro dan kontra dalam masyarakat. Bagi yang setuju, melihatnya sebagai kekhususan bagi masyarakat Aceh untuk memformalkan syariat agama dalam teritori daerahnya.
Sedangkan bagi yang kontra menganggap qanun ini sebagai sebuah kemunduran berpikir karena memandang perempuan sebagai "objek" dan pelayan laki-laki semata. Paradigma ini biasa muncul dalam masyarakat patriarkis.
Harus dipahami bahwa ini bukanlah kali pertama qanun di Aceh memunculkan gejolak dalam masyarakat Indonesia. Sebelumnya telah banyak qanun-qanun serupa, misalnya qanun mengenai larangan "ngopi" bareng antara lawan jenis yang bukan muhrim, qanun larangan perempuan duduk "mengangkang", qanun larangan bagi perempuan untuk berboncengan dengan lawan jenisnya, dan lain sebagainya.
Atas realitas ini, pada 2018 lalu, survei Indeks Kota Toleran (LSM) yang dirilis oleh LSM Setara Institut menempatkan Aceh sebagai salah satu dari tiga daerah paling tidak toleran di Indonesia, meskipun mendapatkan penolakan dari masyarakat dan pemerintah daerah Aceh. Namun paling tidak, hal ini menjadi indikasi bahwa dinamika qanun dan berbagai peraturan daerah sejenis, patut menjadi perhatian sendiri bagi pemerintah Indonesia.
Bukan Perkara Mudah
Dalam sejarah pembentukan undang-undang mengenai pemerintahan daerah, pemerintah pusat hampir selalu diberikan kewenangan untuk membatalkan perda, baik melalui mekanisme preventif maupun represif.
Mekanisme preventif adalah pembatalan perda melalui executive preview, yaitu kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan suatu perda sebelum perda tersebut disahkan oleh pemerintah daerah. Sedangkan mekanisme represif adalah pembatalan perda melalui executive review, yaitu kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan perda dalam jangka waktu beberapa hari setelah perda tersebut diundangkan dalam lembaran daerah.
UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sama-sama mengatur kedua mekanisme (preventif dan represif) tersebut. Penerapan mekanisme ini dikaitkan dengan dasar pemikiran Indonesia adalah negara kesatuan, sehingga dinilai rasional apabila pemerintah pusat sebagai pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan sistem hukum di lingkungan pemerintahan daerah.
Namun, belakangan model pengawasan preventif maupun represif terhadap perda yang dilakukan oleh pemerintah pusat ini mulai digugat. Paling tidak ada dua alasan yang dikemukakan. Pertama, dari segi pembentukannya, perda sangat mirip dengan undang-undang, yaitu dibentuk oleh lembaga yang menjalankan fungsi legislatif (DPRD) atas pembahasan serta persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif (kepala daerah).
Artinya, di dalam proses pembentukan undang-undang dan perda itu sama-sama terkandung unsur sistem perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Maka baik undang-undang maupun perda dapat dikatakan sama-sama merupakan produk sistem demokrasi. Bedanya cakupan undang-undang adalah secara nasional, sedangkan perda cakupannya lokal.
Kedua, dalam sistem demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan di lembaga legislatif dan eksekutif, peranan partai politik sangat menonjol. Meskipun untuk calon kepala daerah telah dibuka mekanisme perseorangan, namun hampir seluruh kepala daerah yang terpilih di Indonesia adalah usulan partai politik atau gabungan partai politik.
Karena itu, dalam pencalonan untuk pengisian jabatan di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif baik di tingkat daerah maupun pusat peranan partai politik sangatlah menonjol. Dengan demikian, undang-undang dan perda sama-sama merupakan produk politik yang mencerminkan pergulatan kepentingan di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesama lembaga politik.
Pengujian undang-undang dan perda itu harus dilakukan melalui mekanisme judicial review dengan melibatkan peranan hakim yang objektif dan imparsial sebagai pihak ketiga. Paradigma ini pula yang diamini oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hingga pada 2017 lalu MK membatalkan kewenangan pemerintah pusat untuk menguji perda provinsi dan membatalkan kewenangan gubernur untuk menguji perda kabupaten/kota.
Pasca putusan MK tersebut, mekanisme pembatalan perda hanya melalui judicial review ke Mahkamah Agung (MA), sebagaimana kewenangan MA dalam UUD 1945 yaitu menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Ketentuan ini kemudian berdampak pada dua hal.
Pertama, tetap dipertahankannya dualisme pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review yaitu di pengujian UU terhadap UUD oleh MK, dan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU oleh MA. Kedua, hilangnya kewenangan pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap perda ini kemudian memantik munculnya perda-perda yang dinilai bermasalah, baik karena menyulitkan investasi di daerah maupun karena menjamurnya perda-perda bernuansa agama yang dinilai intoleran.
Qanun tentang poligami di Aceh adalah satu dari sekian banyak perda yang dinilai intoleran. Meski begitu, pembatalan qanun (termasuk perda lain) bernuansa agama yang dinilai intoleran ini melalui judicial review di MA bukanlah perkara mudah. Realitas ini dipicu oleh alasan politik dan yuridis sekaligus. Pertama, keberanian dari MA untuk membatalkan qanun disinyalir rendah; ada alasan politik terkait pemberian status daerah khusus kepada Aceh setelah melalui perjalanan panjang hingga munculnya tuntutan untuk merdeka.
Kedua, secara yuridis pengujian qanun (juga perda) bernuansa agama yang dinilai intoleran ini juga sulit dilakukan. Hal ini karena pertentangan qanuntersebut adalah dengan UUD khususnya terkait hak asasi warga negara dalam Pasal 28, bukan dengan UU. Sedangkan kewenangan MA adalah menguji perda terhadap UU, sehingga MA berpandangan tidak memiliki kompetensi untuk menguji perda terhadap UUD.
Begitupun dengan MK, berpandangan tidak berwenang menguji perda karena kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD, bukan perda terhadap UUD.
Tentu saja, persoalan qanun ini adalah masalah pelik yang tidak mudah diselesaikan. Dalam jangka pendek, menurut saya ada dua hal yang dapat dilakukan dan harus dikaji secara lebih mendalam. Pertama, menyatuatapkan sistem judicial review di bawah MK, sehingga penolakan perkara dengan alasan tidak memiliki kompetensi absolut tidak terjadi lagi.
Kedua, sebagai representasi politik, pemerintah pusat tentu tidak berhak melakukan pengujian terhadap perda (executive preview), namun menurut saya masih tetap relevan memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi atau penilaian terhadap suatu rancangan perda sebelum disahkan atau executive preview. Hal ini tentu tidak bertentangan dengan UUD, karena sebagai negara kesatuan, presiden memegang kekuasaan tertinggi atas pemerintahan (Pasal 4 ayat 1 UUD).
Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta
Sebagai bentuk kekhususan bagi masyarakat Aceh, melalui UU Nomor 11 Tahun 2006, mereka diberikan kewenangan untuk membentuk perda (qanun) yang bersumber pada nilai-nilai agama di Aceh. Munculnya qanun yang memuat tentang poligami ini, tentu saja mengundang pro dan kontra dalam masyarakat. Bagi yang setuju, melihatnya sebagai kekhususan bagi masyarakat Aceh untuk memformalkan syariat agama dalam teritori daerahnya.
Sedangkan bagi yang kontra menganggap qanun ini sebagai sebuah kemunduran berpikir karena memandang perempuan sebagai "objek" dan pelayan laki-laki semata. Paradigma ini biasa muncul dalam masyarakat patriarkis.
Harus dipahami bahwa ini bukanlah kali pertama qanun di Aceh memunculkan gejolak dalam masyarakat Indonesia. Sebelumnya telah banyak qanun-qanun serupa, misalnya qanun mengenai larangan "ngopi" bareng antara lawan jenis yang bukan muhrim, qanun larangan perempuan duduk "mengangkang", qanun larangan bagi perempuan untuk berboncengan dengan lawan jenisnya, dan lain sebagainya.
Atas realitas ini, pada 2018 lalu, survei Indeks Kota Toleran (LSM) yang dirilis oleh LSM Setara Institut menempatkan Aceh sebagai salah satu dari tiga daerah paling tidak toleran di Indonesia, meskipun mendapatkan penolakan dari masyarakat dan pemerintah daerah Aceh. Namun paling tidak, hal ini menjadi indikasi bahwa dinamika qanun dan berbagai peraturan daerah sejenis, patut menjadi perhatian sendiri bagi pemerintah Indonesia.
Bukan Perkara Mudah
Dalam sejarah pembentukan undang-undang mengenai pemerintahan daerah, pemerintah pusat hampir selalu diberikan kewenangan untuk membatalkan perda, baik melalui mekanisme preventif maupun represif.
Mekanisme preventif adalah pembatalan perda melalui executive preview, yaitu kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan suatu perda sebelum perda tersebut disahkan oleh pemerintah daerah. Sedangkan mekanisme represif adalah pembatalan perda melalui executive review, yaitu kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan perda dalam jangka waktu beberapa hari setelah perda tersebut diundangkan dalam lembaran daerah.
UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sama-sama mengatur kedua mekanisme (preventif dan represif) tersebut. Penerapan mekanisme ini dikaitkan dengan dasar pemikiran Indonesia adalah negara kesatuan, sehingga dinilai rasional apabila pemerintah pusat sebagai pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan sistem hukum di lingkungan pemerintahan daerah.
Namun, belakangan model pengawasan preventif maupun represif terhadap perda yang dilakukan oleh pemerintah pusat ini mulai digugat. Paling tidak ada dua alasan yang dikemukakan. Pertama, dari segi pembentukannya, perda sangat mirip dengan undang-undang, yaitu dibentuk oleh lembaga yang menjalankan fungsi legislatif (DPRD) atas pembahasan serta persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif (kepala daerah).
Artinya, di dalam proses pembentukan undang-undang dan perda itu sama-sama terkandung unsur sistem perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum. Maka baik undang-undang maupun perda dapat dikatakan sama-sama merupakan produk sistem demokrasi. Bedanya cakupan undang-undang adalah secara nasional, sedangkan perda cakupannya lokal.
Kedua, dalam sistem demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan di lembaga legislatif dan eksekutif, peranan partai politik sangat menonjol. Meskipun untuk calon kepala daerah telah dibuka mekanisme perseorangan, namun hampir seluruh kepala daerah yang terpilih di Indonesia adalah usulan partai politik atau gabungan partai politik.
Karena itu, dalam pencalonan untuk pengisian jabatan di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif baik di tingkat daerah maupun pusat peranan partai politik sangatlah menonjol. Dengan demikian, undang-undang dan perda sama-sama merupakan produk politik yang mencerminkan pergulatan kepentingan di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesama lembaga politik.
Pengujian undang-undang dan perda itu harus dilakukan melalui mekanisme judicial review dengan melibatkan peranan hakim yang objektif dan imparsial sebagai pihak ketiga. Paradigma ini pula yang diamini oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hingga pada 2017 lalu MK membatalkan kewenangan pemerintah pusat untuk menguji perda provinsi dan membatalkan kewenangan gubernur untuk menguji perda kabupaten/kota.
Pasca putusan MK tersebut, mekanisme pembatalan perda hanya melalui judicial review ke Mahkamah Agung (MA), sebagaimana kewenangan MA dalam UUD 1945 yaitu menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Ketentuan ini kemudian berdampak pada dua hal.
Pertama, tetap dipertahankannya dualisme pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review yaitu di pengujian UU terhadap UUD oleh MK, dan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU oleh MA. Kedua, hilangnya kewenangan pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap perda ini kemudian memantik munculnya perda-perda yang dinilai bermasalah, baik karena menyulitkan investasi di daerah maupun karena menjamurnya perda-perda bernuansa agama yang dinilai intoleran.
Qanun tentang poligami di Aceh adalah satu dari sekian banyak perda yang dinilai intoleran. Meski begitu, pembatalan qanun (termasuk perda lain) bernuansa agama yang dinilai intoleran ini melalui judicial review di MA bukanlah perkara mudah. Realitas ini dipicu oleh alasan politik dan yuridis sekaligus. Pertama, keberanian dari MA untuk membatalkan qanun disinyalir rendah; ada alasan politik terkait pemberian status daerah khusus kepada Aceh setelah melalui perjalanan panjang hingga munculnya tuntutan untuk merdeka.
Kedua, secara yuridis pengujian qanun (juga perda) bernuansa agama yang dinilai intoleran ini juga sulit dilakukan. Hal ini karena pertentangan qanuntersebut adalah dengan UUD khususnya terkait hak asasi warga negara dalam Pasal 28, bukan dengan UU. Sedangkan kewenangan MA adalah menguji perda terhadap UU, sehingga MA berpandangan tidak memiliki kompetensi untuk menguji perda terhadap UUD.
Begitupun dengan MK, berpandangan tidak berwenang menguji perda karena kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD, bukan perda terhadap UUD.
Tentu saja, persoalan qanun ini adalah masalah pelik yang tidak mudah diselesaikan. Dalam jangka pendek, menurut saya ada dua hal yang dapat dilakukan dan harus dikaji secara lebih mendalam. Pertama, menyatuatapkan sistem judicial review di bawah MK, sehingga penolakan perkara dengan alasan tidak memiliki kompetensi absolut tidak terjadi lagi.
Kedua, sebagai representasi politik, pemerintah pusat tentu tidak berhak melakukan pengujian terhadap perda (executive preview), namun menurut saya masih tetap relevan memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi atau penilaian terhadap suatu rancangan perda sebelum disahkan atau executive preview. Hal ini tentu tidak bertentangan dengan UUD, karena sebagai negara kesatuan, presiden memegang kekuasaan tertinggi atas pemerintahan (Pasal 4 ayat 1 UUD).
Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta