Senin 01 Juli 2019, 11:16 WIB
Kuliah Bukan Kotak Hitam
Jakarta - Bulan-bulan ini adalah masa para lulusan SMA mencari tempat kuliah. Anak-anak dan orangtua mereka sedang berpikir keras untuk menentukan ke mana anak-anak itu akan kuliah. Segala sesuatu dipertimbangkan, seperti peluang lolos seleksi, jarak, biaya, prospek kerja setelah lulus, dan sebagainya.
Bagi banyak lulusan SMA dan para orangtua, kuliah itu semacam kotak ajaib yang harus dilewati kalau seseorang ingin sukses. Yang kuliah akan mendapat pekerjaan bagus setelah lulus, gaji tinggi, dan akan jadi orang sukses. Yang tidak kuliah, sulit untuk sukses. Karena itu kuliah menjadi semacam kewajiban.
Sepertinya akan sangat sulit bagi sebuah keluarga yang mampu secara ekonomis untuk memutuskan bahwa anaknya tidak kuliah saja. Orang-orang cenderung tidak melihat jalan alternatif. Seakan kalau tidak kuliah, seseorang tidak akan punya masa depan.
Saya melihat di lingkungan saya, anak-anak yang tadinya kuliah, tapi akhirnya tidak selesai. Atau, yang kuliah sampai selesai, tapi tidak memperoleh kompetensi dari kuliah itu, sehingga akhirnya menganggur. Padahal orangtua mereka sudah habis-habisan membiayai, ada yang sampai jual tanah.
Ada begitu banyak fakta yang menunjukkan bahwa kuliah saja tidak menjamin apa-apa.
Kuliah adalah sebuah jenjang pendidikan formal. Ia bisa menjadi tempat untuk mempersiapkan masa depan yang baik. Kata kuncinya adalah "mempersiapkan". Ini sebuah proses yang sifatnya mutlak harus ada. Kuliah adalah kerja keras untuk mendapat berbagai kompetensi untuk masa depan. Jadi, kuliah bukan kotak hitam ajaib yang akan memberi masa depan yang baik kepada yang melewatinya.
Tidak semua orang perlu kuliah. Ada orang-orang yang tidak perlu kuliah. Siapa saja mereka? Orang yang sudah kompeten, tidak perlu kuliah. Yang sudah bisa membuat program komputer yang canggih, misalnya, bisa langsung bekerja saja. Banyak perusahaan yang tidak rewel dengan soal ijazah dan gelar. Para programmer zaman sekarang banyak yang bekerja dari jauh, tanpa pernah bertemu dengan atasan atau majikannya.
Yang sudah mahir main musik, melukis, masak, atau main sepak bola, tidak usah kuliah. Mereka bisa langsung terjun ke dunia profesional. Demikian pula yang sudah pandai berbisnis. Ingat, kuliah adalah tempat untuk belajar dan meraih kompetensi. Kalau kompetensinya sudah diraih, untuk apa kuliah?
Ada pula yang tidak perlu kuliah, karena kuliah bukan tempat belajar yang cocok bagi dia. Kuliah adalah jalur belajar yang sifatnya akademik. Mahasiswa dituntut untuk memahami sejumlah teori, lalu menerapkannya dalam pekerjaan kelak. Tidak semua orang sanggup belajar hal-hal seperti itu. Yang tidak sanggup jangan memaksakan diri. Carilah kompetensi lewat jalur lain.
Banyak orangtua yang sulit menerima kenyataan itu. Anak yang sudah kompeten, tetap harus kuliah. Pokoknya kuliah. Demi mendapat status kuliah itu banyak yang memaksa anaknya kuliah di jurusan yang tidak sesuai dengan bakat anak. Bakat anak akhirnya dipoles sebagai sambilan, kuliah menjadi yang utama. Banyak pula orangtua yang memaksa anaknya kuliah meski tahu bahwa anaknya tidak mampu.
Orangtua juga lebih fokus untuk menguliahkan anaknya di perguruan tinggi tertentu. Targetnya adalah pamor perguruan tinggi, bukan jurusan. Pokoknya masuk ke PTN A. Kalau tidak lulus di jurusan favorit, jurusan lain juga boleh, yang penting kuliah di situ. Perguruan tinggi tertentu dianggap sebagai jaminan bagi masa depan yang baik, meski ada kenyataan bahwa banyak juga lulusan perguruan tinggi itu yang menganggur.
Sebaliknya, banyak juga lulusan perguruan tinggi tidak ternama yang berkarier cemerlang.
Bagi lulusan SMA yang memutuskan untuk kuliah, dan bagi orangtua yang hendak menguliahkan anaknya, hal terpenting untuk terus diingat adalah bahwa kuliah itu bertujuan untuk meraih sejumlah kompetensi. Target kompetensi sudah jelas sejak awal, dan itulah yang menjadi panduan untuk memilih jurusan.
Anak dan orangtuanya harus bersama menyusun rencana untuk meraih kompetensi. Dalam perjalanan kuliah, anak terutama, harus mengevaluasi apakah target kompetensi itu tercapai. Bila tidak tercapai, lakukan tindakan koreksi untuk mencapainya. Orangtua harus terlibat memantau, mengevaluasi, dan memberi koreksi.
Tanpa proses itu, kuliah akan berujung pada kegagalan. Tidak lulus, atau lulus tanpa kompetensi.
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
Bagi banyak lulusan SMA dan para orangtua, kuliah itu semacam kotak ajaib yang harus dilewati kalau seseorang ingin sukses. Yang kuliah akan mendapat pekerjaan bagus setelah lulus, gaji tinggi, dan akan jadi orang sukses. Yang tidak kuliah, sulit untuk sukses. Karena itu kuliah menjadi semacam kewajiban.
Sepertinya akan sangat sulit bagi sebuah keluarga yang mampu secara ekonomis untuk memutuskan bahwa anaknya tidak kuliah saja. Orang-orang cenderung tidak melihat jalan alternatif. Seakan kalau tidak kuliah, seseorang tidak akan punya masa depan.
Saya melihat di lingkungan saya, anak-anak yang tadinya kuliah, tapi akhirnya tidak selesai. Atau, yang kuliah sampai selesai, tapi tidak memperoleh kompetensi dari kuliah itu, sehingga akhirnya menganggur. Padahal orangtua mereka sudah habis-habisan membiayai, ada yang sampai jual tanah.
Ada begitu banyak fakta yang menunjukkan bahwa kuliah saja tidak menjamin apa-apa.
Kuliah adalah sebuah jenjang pendidikan formal. Ia bisa menjadi tempat untuk mempersiapkan masa depan yang baik. Kata kuncinya adalah "mempersiapkan". Ini sebuah proses yang sifatnya mutlak harus ada. Kuliah adalah kerja keras untuk mendapat berbagai kompetensi untuk masa depan. Jadi, kuliah bukan kotak hitam ajaib yang akan memberi masa depan yang baik kepada yang melewatinya.
Tidak semua orang perlu kuliah. Ada orang-orang yang tidak perlu kuliah. Siapa saja mereka? Orang yang sudah kompeten, tidak perlu kuliah. Yang sudah bisa membuat program komputer yang canggih, misalnya, bisa langsung bekerja saja. Banyak perusahaan yang tidak rewel dengan soal ijazah dan gelar. Para programmer zaman sekarang banyak yang bekerja dari jauh, tanpa pernah bertemu dengan atasan atau majikannya.
Yang sudah mahir main musik, melukis, masak, atau main sepak bola, tidak usah kuliah. Mereka bisa langsung terjun ke dunia profesional. Demikian pula yang sudah pandai berbisnis. Ingat, kuliah adalah tempat untuk belajar dan meraih kompetensi. Kalau kompetensinya sudah diraih, untuk apa kuliah?
Ada pula yang tidak perlu kuliah, karena kuliah bukan tempat belajar yang cocok bagi dia. Kuliah adalah jalur belajar yang sifatnya akademik. Mahasiswa dituntut untuk memahami sejumlah teori, lalu menerapkannya dalam pekerjaan kelak. Tidak semua orang sanggup belajar hal-hal seperti itu. Yang tidak sanggup jangan memaksakan diri. Carilah kompetensi lewat jalur lain.
Banyak orangtua yang sulit menerima kenyataan itu. Anak yang sudah kompeten, tetap harus kuliah. Pokoknya kuliah. Demi mendapat status kuliah itu banyak yang memaksa anaknya kuliah di jurusan yang tidak sesuai dengan bakat anak. Bakat anak akhirnya dipoles sebagai sambilan, kuliah menjadi yang utama. Banyak pula orangtua yang memaksa anaknya kuliah meski tahu bahwa anaknya tidak mampu.
Orangtua juga lebih fokus untuk menguliahkan anaknya di perguruan tinggi tertentu. Targetnya adalah pamor perguruan tinggi, bukan jurusan. Pokoknya masuk ke PTN A. Kalau tidak lulus di jurusan favorit, jurusan lain juga boleh, yang penting kuliah di situ. Perguruan tinggi tertentu dianggap sebagai jaminan bagi masa depan yang baik, meski ada kenyataan bahwa banyak juga lulusan perguruan tinggi itu yang menganggur.
Sebaliknya, banyak juga lulusan perguruan tinggi tidak ternama yang berkarier cemerlang.
Bagi lulusan SMA yang memutuskan untuk kuliah, dan bagi orangtua yang hendak menguliahkan anaknya, hal terpenting untuk terus diingat adalah bahwa kuliah itu bertujuan untuk meraih sejumlah kompetensi. Target kompetensi sudah jelas sejak awal, dan itulah yang menjadi panduan untuk memilih jurusan.
Anak dan orangtuanya harus bersama menyusun rencana untuk meraih kompetensi. Dalam perjalanan kuliah, anak terutama, harus mengevaluasi apakah target kompetensi itu tercapai. Bila tidak tercapai, lakukan tindakan koreksi untuk mencapainya. Orangtua harus terlibat memantau, mengevaluasi, dan memberi koreksi.
Tanpa proses itu, kuliah akan berujung pada kegagalan. Tidak lulus, atau lulus tanpa kompetensi.
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia