Senin 01 Juli 2019, 13:10 WIB
Babak Baru Perang Dagang AS-China
Jakarta -
Rafli Zulfikar ; Sarjana Hubungan Internasional Universitas Jember, peneliti Center for International Studies and Trade
Perang dagang antara China dengan Amerika Serikat semakin hari semakin sengit dan menunjukkan situasi yang semakin sulit untuk diselesaikan. Aksi "Tit for Tat" terus dilakukan setelah perundingan damai mengalami deadlock.
Setelah senjata tarif digunakan Donald Trump untuk memukul defisit neraca perdagangan dengan China, dan dibalas dengan menaikkan tarif juga oleh China atas barang-barang AS, AS kembali melakukan upper cut dengan memberlakukan darurat nasional untuk industri teknologi yang berakibat pada melemahnya dua raksasa teknologi China, yaitu ZTE dan Huawei
Pemberlakuan darurat nasional (National Defense Authorization Act) yang berimbas pada industri teknologi oleh Donald Trump membuat ZTE dan Huawei terancam tidak lagi menggunakan sistem operasi Android yang merupakan sistem operasi untuk smartphone terbesar. Selain itu ZTE dan Huawei juga tidak mendapatkan suplai chip yang notabene adalah komponen paling penting dalam industri teknologi
Sejauh ini, China membalas dengan mulai menjual bond AS yang dimiliki China di mana China merupakan pemilik terbesar surat utang AS. Aksi balasan juga akan terus dilakukan China dalam perang dagang babak baru.
Memang sejak berakhirnya perang dingin, perang terbuka dengan eskalasi perang yang sebesar perang dunia ke-2 sulit terjadi. Tetapi, eskalasi AS dengan China yang semakin memburuk telah memukul jantung ekonomi global.
Lalu, kenapa perang dalam bentuk lain terjadi? Graham T Allison dalam Destined for War: Can America and China Escape Thucydide's Trapmenyatakan bahwa "it was the rise of Athens and the fear that this instilled in Sparta that made war inevitable." Kebangkitan Athena dan ketakutan Sparta kehilangan dominasi membuat perang tidak terhindarkan.
Serentetan evolusi perang ekonomi antara AS dengan China juga didasarkan pada premis bahwa kebangkitan China membuat AS terancam kehilangan dominasi dalam ekonomi global. Terutama terus melebarnya defisit AS atas China, dan mulai melemahnya dominasi AS atas hegemoni teknologi global yang menjadikan tech war tidak terhindarkan
Agresivitas China dalam perkembangan teknologi mulai meninggalkan AS. The Economist (2018) dalam China's Tech industry is Cathing Up with Silicon Valley menunjukkan China sudah mulai meninggalkan AS dalam hal riset tentang Artificial Intellegence, dana riset untuk industri teknologi, pertumbuhan Unicorn, pendanaan venture capital untuk start up tech.
Kebangkitan China akan membuat AS kehilangan dominasi sebagai negara superpower yang akan terus membuat perang tidak terhindarkan dan akan terus terjadi setidaknya dalam waktu dekat ini.
Trade war dalam bentuk baru berupa tech war antara AS dan China menunjukkan bahwa yang paling sentral dalam perangan baik perang dagang atau teknologi adalah supply chain (driving by economics) dan geopolitik. Dua aspek penting abad ke-21.
Menguasai keduanya akan menjadikan kekuatan ekonomi baru. Situasi yang seharusnya terus didorong agar ekonomi global tidak lagi bipolar antara AS dengan China tetapi menjadi multipolar. Situasi yang demikian jelas menguntungkan bagi ekonomi global dan perdamaian dunia, karena semakin multipolar membuat keseimbangan kekuatan (balance of power)
Secara geopolitik, hanya negara-negara Asia yang memungkinkan untuk menjadi kekuatan baru. Di mana geopolitik Asia memungkinkan pergeseran kekuatan ekonomi China ke negara-negara Asia seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Begitu juga basis supply chain manufaktur strategis China dan AS yang secara rasional akan memindahkannya ke negara-negara Asia. Tidak hanya secara geoekonomi Asia merupakan jalur perdagangan global atau pusat supply chainmanufaktur global, Asia juga merupakan pasar yang terus membesar dengan populasi terbanyak di dunia.
Konsekuensinya, siapa yang paling cerdik dalam memanfaatkan eskalasi dua kekuatan besar yang akan mendapatkan berkah. Bangladesh dan Vietnam sejauh ini yang paling mendapatkan berkah dari banyaknya relokasi industri China.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebenarnya negara yang seharusnya mendapatkan berkah paling besar. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia tenggara yang tidak hanya secara geoekonomi strategis di antara jalur perdagangan internasional.
Indonesia juga memiliki sumber daya yang besar tidak hanya bahan baku, tetapi juga sumber daya manusia untuk menjadi pusat supply chain manufaktur global. Selain itu, Indonesia juga merupakan pasar yang besar dimana 40 persen populasi Asia Tenggara ada di Indonesia.
Indonesia juga memiliki sumber daya yang besar tidak hanya bahan baku, tetapi juga sumber daya manusia untuk menjadi pusat supply chain manufaktur global. Selain itu, Indonesia juga merupakan pasar yang besar dimana 40 persen populasi Asia Tenggara ada di Indonesia.
Aspek yang sangat strategis lainnya adalah geopolitik dan politik internasional yang menguntungkan bagi Indonesia di mana kebijakan politik luar negeri bebas aktif merupakan modal besar untuk mendayung di antara dua karang, China dan AS. Karena, ke depan perang perebutan ruang dan pusat produksi tidak terelakkan.
Sayangnya modal besar tersebut belum memberikan kabar baik. Yang terjadi malah sebaliknya, perang dagang membuat defisit transaksi Indonesia terburuk dalam sejarah. Kabar baik hanya datang dari Pegatron, perusahaan yang merupakan pembuat Ipad dan Macbook yang telah memindahkan basis produksinya dari China ke Indonesia.
Kabar baik yang demikian yang harus menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi ke depan. Kalau tidak, jangan harap Indonesia menjadi Macan Asia.
Rafli Zulfikar ; Sarjana Hubungan Internasional Universitas Jember, peneliti Center for International Studies and Trade