Senin 15 Juli 2019, 15:44 WIB
Sisa Masalah dalam Pembahasan Tahap Akhir RUU Sumber Daya Air
Setelah sekian lama terhenti, Rapat Pembahasan RUU Sumber Daya Air (RUU-SDA) antara Panitia Kerja (Panja) dengan Pemerintah kembali dilanjutkan mulai 27 Mei lalu di Jakarta. Pada rapat kali itu disepakati bahwa pemerintah dan DPR akan menyelesaikan RUU-SDA sebelum masa persidangan 2019 berakhir atau sebelum anggota legislatif baru hasil Pemilu 2019 dilantik.
Pembahasan dimulai dengan Rapat Kerja (Konsinyering) Panja RUU-SDA hingga 29 Mei. Kemudian Rapat Panja dengan pemerintah (Kementerian PUPR, Kementerian LHK, Kementerian ESDM, dll). Sisa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang belum sempat dibahas lalu kembali dibahas pada 1 - 8 Juli. Setelah itu Panja RUU-SDA akan melakukan rapat akhir dengan Tim Perumus (Timus) mulai 15 Juli untuk menuntaskan RUU SDA supaya dapat segera diplenokan untuk pengesahan di tahun ini.
Banyak perdebatan bermunculan pada saat pembahasan, salah satunya perihal Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang tercantum pada DIM No. 408 atau di Pasal 51 ayat (1) RUU-SDA. Perdebatan antarfraksi di Panja RUU SDA sangat tajam dan menegangkan karena sebagai wakil rakyat tentu mereka membawa kepentingan masing-masing konstituen partainya dengan dalih demi rakyat.
Banyak anggota Panja RUU-SDA yang tidak dapat membedakan SPAM dengan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Keadaan ini juga sering menimbulkan salah persepsi mengartikan pasal-pasal di RUU-SDA dan DIM Pemerintah.
Perdebatan menjadi semakin seru ketika salah satu anggota RUU SDA menyampaikan pandangannya terkait dengan Pasal 51 ayat (1) RUU SDA atau DIM No. 408. Ia meminta dengan tegas supaya DIM No. 408 direvisi dengan melarang pihak swasta terlibat dalam pengembangan SPAM. Oleh Panja disetujui untuk direvisi pada sidang Senin (8/7).
Dampak dari persetujuan tersebut, pemerintah harus menganggarkan dalam APBN ratusan triliun rupiah untuk membangun jaringan SPAM di seluruh Indonesia. Juga beberapa proyek air minum yang sedang dikembangkan dan sudah beroperasi di beberapa kota harus dibatalkan.
Hilangnya Peran Swasta
Pembahasan akhir proses legislasi RUU-SDA masih menyisakan masalah strategis yang dikhawatirkan akan semakin menjauhkan peran pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air bersih/minum rakyat oleh negara karena keterbatasan anggaran yang tersedia dalam APBN, meskipun multi-years.
RUU-SDA disusun atas inisiatif DPR untuk menggantikan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan MK nomor 85/PUU-XII/2013. Kemudian pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sebagai leading sector, menerbitkan DIM. Untuk selanjutnya akan ada proses legislasi melalui berbagai bentuk pembahasan antara Panja DPR dengan pemerintah.
Pembahasan RUU-SDA ini sudah hampir tiga tahun berjalan. Persoalan mendasarnya adalah keterlibatan swasta dalam SPAM serta pemahaman para pihak yang belum bisa membedakan antara SPAM dengan AMDK. Namun kali ini saya hanya akan membahas singkat terkait keterlibatan swasta pada SPAM karena untuk AMDK perdebatan di proses legislasi sudah relatif selesai. Perbedaan pemahaman ini menimbulkan perdebatan panjang dan berlangsung alot.
Bunyi DIM No. 408/RUU-SDA Pasal 51 adalah: "Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46."
Selanjutnya atas usulan salah satu anggota Panja RUU-SDA, bunyi DIM No. 408/RUU-SDA Pasal 51 ayat (1) direvisi menjadi: "Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usah milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM."
Frasa "kerja sama dengan swasta untuk penyelenggaraan SPAM" dihilangkan. Sehingga SPAM sepenuhnya hanya dapat dilaksanakan oleh BUMN/BUMD/BUMDes.
Pertanyaannya, apakah benar BUMN/BUMD/BUMDes akan mampu memenuhi 100% kebutuhan masyarakat atas air bersih/minum? Padahal sesuai Sustainable Development Goals (SDG), bahwa pada 2022 pemerintah sudah harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas air sebesar 100%. Lalu mengapa swasta harus dilarang sementara fatwa ke-6 Keputusan MK masih memperbolehkan swasta dengan syarat tertentu dan ketat?
Dipaksakannya DIM No. 408 untuk diubah karena patut diduga Panja khawatir dengan kata SPAM jika dikaitkan dengan swasta yang sekarang mengelola usaha AMDK, sehingga frase SPAM harus hilang dari sentuhan swasta. Pemahaman yang keliru soal swasta SPAM dengan swasta AMDK, ternyata berakibat fatal untuk RUU-SDA dengan dihapusnya peran swasta di SPAM.
Posisi Pemerintah
Dengan dihilangkannya peran swasta dalam pengusahaan SPAM, maka pemerintah mengalami banyak kendala dan mustahil dapat memenuhi 100% hak rakyat atas air. Karena, pertama, investasi ratusan triliun diperlukan untuk mencapai target akses 100% masyarakat atas air minum harus dipenuhi oleh anggaran BUMN/BUMD/BUMDesa dan dipastikan juga akan membebani APBN/APBD karena negara berkewajiban menyediakan 100% akses air minum ke masyarakat.
Kedua, seluruh pelosok Indonesia harus ada BUMN/BUMD/BUMDesa yang menyelenggarakan SPAM. Kalau asal BUMN/BUMD/BUMDes, dikhawatirkan mereka hanya akan menjadi makelar perizinan saja. Ketiga, menimbulkan masalah dengan pihak swasta yang saat ini telah menyelenggarakan SPAM di beberapa daerah, misalnya di Kabupaten Tangerang, Kota Semarang, Kota Malang, dan sebagainya.
Kekhawatiran bahwa adanya keterlibatan swasta di dalam menyelenggarakan SPAM dapat mengurangi hak rakyat atas air bersih/minum dapat diatur sesuai fatwa MK, yaitu dengan syarat tertentu dan ketat. Seperti, pertama, tarif sepenuhnya ditetapkan pemerintah. Kedua, penyelenggaraan SPAM dilelang dan mendahulukan BUMN/BUMD/BUMDes (right to match); swasta hanya boleh ikut jika tidak ada BUMN/BUMD/BUMDes yang berminat. Intinya keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan SPAM adalah pilihan terakhir.
Supaya ketika sudah menjadi UU tidak bermasalah dan kembali diajukan Judicial Review, pertama, kiranya dalam Rapat Timus (dijadwalkan berlangsung hari ini) masih diberi ruang untuk membahas kembali Pasal 51 ayat (1) tersebut dengan Panja RUU-SDA ataupun dengan Presiden atau Rapat Timus ditunda supaya Menteri PUPR dapat berkonsultasi dengan Presiden terlebih dahulu.
Kedua, memformulasikan peraturan perundangan yang dapat disusun sebagai pelaksanaan atas Pasal 50 ayat (4) huruf d (DIM No. 404) bahwa "Penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dapat berupa penggunaan.... huruf d: Badan Usaha Swasta", seperti yang telah disetujui pada Raker Panja RUU-SDA dan pemerintah pada 23 Juli 2018. Semoga.
Agus Pambagio ; Pemerhati kebijakan pubik dan perlindungan konsumen
Pembahasan dimulai dengan Rapat Kerja (Konsinyering) Panja RUU-SDA hingga 29 Mei. Kemudian Rapat Panja dengan pemerintah (Kementerian PUPR, Kementerian LHK, Kementerian ESDM, dll). Sisa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang belum sempat dibahas lalu kembali dibahas pada 1 - 8 Juli. Setelah itu Panja RUU-SDA akan melakukan rapat akhir dengan Tim Perumus (Timus) mulai 15 Juli untuk menuntaskan RUU SDA supaya dapat segera diplenokan untuk pengesahan di tahun ini.
Banyak perdebatan bermunculan pada saat pembahasan, salah satunya perihal Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang tercantum pada DIM No. 408 atau di Pasal 51 ayat (1) RUU-SDA. Perdebatan antarfraksi di Panja RUU SDA sangat tajam dan menegangkan karena sebagai wakil rakyat tentu mereka membawa kepentingan masing-masing konstituen partainya dengan dalih demi rakyat.
Banyak anggota Panja RUU-SDA yang tidak dapat membedakan SPAM dengan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Keadaan ini juga sering menimbulkan salah persepsi mengartikan pasal-pasal di RUU-SDA dan DIM Pemerintah.
Perdebatan menjadi semakin seru ketika salah satu anggota RUU SDA menyampaikan pandangannya terkait dengan Pasal 51 ayat (1) RUU SDA atau DIM No. 408. Ia meminta dengan tegas supaya DIM No. 408 direvisi dengan melarang pihak swasta terlibat dalam pengembangan SPAM. Oleh Panja disetujui untuk direvisi pada sidang Senin (8/7).
Dampak dari persetujuan tersebut, pemerintah harus menganggarkan dalam APBN ratusan triliun rupiah untuk membangun jaringan SPAM di seluruh Indonesia. Juga beberapa proyek air minum yang sedang dikembangkan dan sudah beroperasi di beberapa kota harus dibatalkan.
Hilangnya Peran Swasta
Pembahasan akhir proses legislasi RUU-SDA masih menyisakan masalah strategis yang dikhawatirkan akan semakin menjauhkan peran pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air bersih/minum rakyat oleh negara karena keterbatasan anggaran yang tersedia dalam APBN, meskipun multi-years.
RUU-SDA disusun atas inisiatif DPR untuk menggantikan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan MK nomor 85/PUU-XII/2013. Kemudian pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sebagai leading sector, menerbitkan DIM. Untuk selanjutnya akan ada proses legislasi melalui berbagai bentuk pembahasan antara Panja DPR dengan pemerintah.
Pembahasan RUU-SDA ini sudah hampir tiga tahun berjalan. Persoalan mendasarnya adalah keterlibatan swasta dalam SPAM serta pemahaman para pihak yang belum bisa membedakan antara SPAM dengan AMDK. Namun kali ini saya hanya akan membahas singkat terkait keterlibatan swasta pada SPAM karena untuk AMDK perdebatan di proses legislasi sudah relatif selesai. Perbedaan pemahaman ini menimbulkan perdebatan panjang dan berlangsung alot.
Bunyi DIM No. 408/RUU-SDA Pasal 51 adalah: "Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM dan dapat melibatkan pihak swasta yang bergerak dalam bidang industri air minum dengan memenuhi prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46."
Selanjutnya atas usulan salah satu anggota Panja RUU-SDA, bunyi DIM No. 408/RUU-SDA Pasal 51 ayat (1) direvisi menjadi: "Izin penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usah milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan udara milik desa penyelenggara SPAM."
Frasa "kerja sama dengan swasta untuk penyelenggaraan SPAM" dihilangkan. Sehingga SPAM sepenuhnya hanya dapat dilaksanakan oleh BUMN/BUMD/BUMDes.
Pertanyaannya, apakah benar BUMN/BUMD/BUMDes akan mampu memenuhi 100% kebutuhan masyarakat atas air bersih/minum? Padahal sesuai Sustainable Development Goals (SDG), bahwa pada 2022 pemerintah sudah harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas air sebesar 100%. Lalu mengapa swasta harus dilarang sementara fatwa ke-6 Keputusan MK masih memperbolehkan swasta dengan syarat tertentu dan ketat?
Dipaksakannya DIM No. 408 untuk diubah karena patut diduga Panja khawatir dengan kata SPAM jika dikaitkan dengan swasta yang sekarang mengelola usaha AMDK, sehingga frase SPAM harus hilang dari sentuhan swasta. Pemahaman yang keliru soal swasta SPAM dengan swasta AMDK, ternyata berakibat fatal untuk RUU-SDA dengan dihapusnya peran swasta di SPAM.
Posisi Pemerintah
Dengan dihilangkannya peran swasta dalam pengusahaan SPAM, maka pemerintah mengalami banyak kendala dan mustahil dapat memenuhi 100% hak rakyat atas air. Karena, pertama, investasi ratusan triliun diperlukan untuk mencapai target akses 100% masyarakat atas air minum harus dipenuhi oleh anggaran BUMN/BUMD/BUMDesa dan dipastikan juga akan membebani APBN/APBD karena negara berkewajiban menyediakan 100% akses air minum ke masyarakat.
Kedua, seluruh pelosok Indonesia harus ada BUMN/BUMD/BUMDesa yang menyelenggarakan SPAM. Kalau asal BUMN/BUMD/BUMDes, dikhawatirkan mereka hanya akan menjadi makelar perizinan saja. Ketiga, menimbulkan masalah dengan pihak swasta yang saat ini telah menyelenggarakan SPAM di beberapa daerah, misalnya di Kabupaten Tangerang, Kota Semarang, Kota Malang, dan sebagainya.
Kekhawatiran bahwa adanya keterlibatan swasta di dalam menyelenggarakan SPAM dapat mengurangi hak rakyat atas air bersih/minum dapat diatur sesuai fatwa MK, yaitu dengan syarat tertentu dan ketat. Seperti, pertama, tarif sepenuhnya ditetapkan pemerintah. Kedua, penyelenggaraan SPAM dilelang dan mendahulukan BUMN/BUMD/BUMDes (right to match); swasta hanya boleh ikut jika tidak ada BUMN/BUMD/BUMDes yang berminat. Intinya keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan SPAM adalah pilihan terakhir.
Supaya ketika sudah menjadi UU tidak bermasalah dan kembali diajukan Judicial Review, pertama, kiranya dalam Rapat Timus (dijadwalkan berlangsung hari ini) masih diberi ruang untuk membahas kembali Pasal 51 ayat (1) tersebut dengan Panja RUU-SDA ataupun dengan Presiden atau Rapat Timus ditunda supaya Menteri PUPR dapat berkonsultasi dengan Presiden terlebih dahulu.
Kedua, memformulasikan peraturan perundangan yang dapat disusun sebagai pelaksanaan atas Pasal 50 ayat (4) huruf d (DIM No. 404) bahwa "Penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dapat berupa penggunaan.... huruf d: Badan Usaha Swasta", seperti yang telah disetujui pada Raker Panja RUU-SDA dan pemerintah pada 23 Juli 2018. Semoga.
Agus Pambagio ; Pemerhati kebijakan pubik dan perlindungan konsumen