Senin 15 Juli 2019, 15:12 WIB
Berharap Masih Ada Oposisi
Sejak Reformasi, apa pun yang disebut sebagai oposisi politik hanya gertak pedas sambal. Sejarah politik Indonesia modern tak pernah cukup kuat memunculkan sikap politik oposisional kecuali pada masa Demokrasi Liberal 1950-an yang sangat sebentar. Demokrasi Liberal yang selalu memunculkan debat sengit di parlemen itu membuat Sukarno jadi otoriter dengan membubarkannya. Hatta protes dan mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Lalu, pada 1960, Hatta menulis risalah kecil yang tajam, Demokrasi Kita. Sukarno melarang peredaran buku ini dan membredel Pandji Masjarakatyang pertama kali memuatnya.
Sejak Presiden Sukarno membubarkan parlemen, sejak itulah oposisi hancur dalam kepolitikan di Indonesia. Dan semakin parah saat estafet kepemimpinan beralih ke Soeharto yang semakin merepresi dan mengekang kemunculan oposisi dari semua partai politik. Selama 32 tahun, praktis Orde Baru bermain politik tanpa perlawanan berarti dari partai politik. Keruntuhan Orde Baru pada 1998 tidak dengan sendirinya memunculkan partai oposisi yang tangguh. Sejak Reformasi, dengan kemunculan seratus lebih partai politik dan tanpa satu pun yang pernah menang pemilu 50 persen, tak ada yang bisa dianggap sebagai partai oposisi sampai sekarang, meski jumlah partai terus berkurang.
Dua Alasan Hatta
Alasan yang pernah dikemukakan Hatta tampaknya masih tetap berlaku hingga sekarang. Ada dua alasan pokok yang dikemukakan Hatta. Pertama, seperti terulang pada pemilu pertama era Reformasi, adalah akibat "sistem pemilihan jang terlalu demokratis". Dengan kemudahan mendirikan partai dan sistem pemilu yang terlalu longgar, muncullah banyak partai yang bersaing sengit untuk masuk parlemen. Tapi, akibat terlalu banyak biaya untuk masuk parlemen, pemerintahan tidak pernah stabil dan selalu dalam kegaduhan adu kepentingan kelompok.
Selama masa Demokrasi Liberal, tiap pemerintahan tidak pernah stabil dan program yang disusun tidak pernah bisa benar-benar dilaksanakan. Soeharto tentu saja tak mau hal itu terjadi pada pemerintahannya. Sayangnya, Soeharto bertindak keterlaluan jauh: menyingkirkan hampir semua partai politik, bahkan mengkambinghitamkan PKI, dan memasukkan ABRI dalam parlemen --satu tindakan konyol dalam pemikiran politik sipil modern.
Tentu saja, tiap pemerintah bahkan sejak Reformasi menginginkan stabilitas politik. Koalisi adalah harga mati. Sejak pemilihan umum pertama di era Reformasi (7 Juni 1999), hanya Gus Dur yang jatuh di parlemen akibat berbagai intrik partai politik. Untungnya, sekarang, hal ini sudah sangat muskil terjadi lagi dalam kepolitikan Indonesia, meski bukan tidak mungkin. Kita bahkan sudah memiliki pemimpin yang menjabat dua masa jabatan. Tapi, akibat masih terlalu banyak partai, tiap pemerintah harus membangun koalisi dengan partai lain agar tetap aman menjabat.
Kedua adalah penyalahgunaan kekuasaan. Kata Hatta (1966: 14), "Kalau dinegeri-negeri jang sudah lama mendjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan menjalah-gunakan kekuasaan, apalagi dalam negeri jang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan mendjadi partai pemerintah berarti "membagi rezeki". Golongan sendiri dikemukakan, masjarakat dilupakan." Tentu saja, akibatnya, praktik penjatahan kelompok lingkaran sendiri untuk menempati pos jabatan tertentu selalu terjadi. Secara umum, hal ini sebenarnya sangat wajar: yang berhasil berkuasa akan melakukan transformasi biaya politik ke bentuk kekuasaan jabatan politik.
Masalah muncul saat pejabat publik tersebut menyalahgunakan kekuasaan. Tak mudah mengontrol penyalahgunaan kekuasaan dari orang/lembaga yang sedang berkuasa. Sejarah sudah membuktikannya. Dalam lembaga modern, kita tahu dan sadar bahwa partai politik sungguh bukanlah perusahaan bisnis dengan statuta jelas untuk meraih keuntungan, tapi juga bukan lembaga amal religius yang sebisa mungkin menjauh dari kalkulasi kepentingan duniawi dan kekuasaan. Tak ada seorang pun, apalagi para politisi, yang secara naif menerima bahwa modal finansial politis yang telah dikeluarkannya hanya sedekah semata.
Dari sanalah, benih penyalahgunaan kekuasaan itu tertanam kokoh. Logika uang bermain: uang sebagai investasi, yang sebisa mungkin menghasilkan laba-kekuasaan, dan kekuasaan-laba akan bisa menghasilkan uang lagi. Akumulasi kekuasaan terjadi. Inilah rezim pasar dalam politik. Tak peduli mau berideologi apa: sekuler, religius, marxis, nasionalis, atau campuran. Yang berada di luar kekuasaan sungguh sangat sering tidak kebagian jatah. Oposisi itu adalah praktik politik kantong kering kerontang --selain duit jatah dari negara-- rakyat bagi partai yang masuk parlemen atas konversi total jumlah perolehan suara pemilih.
Demokrasi dan Oposisi
Demokrasi, sejak kemunculannya kembali di zaman modern, sudah sangat waspada pada penyalahgunaan kekuasaan. Itulah sebabnya, prosedur inti demokrasi adalah pemecahan kekuasaan menjadi tiga kekuatan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai sang wasit permainan politik. Pembagian ini adalah suatu idealitas demokratis, tapi jarang sekali berjalan sebagaimana adanya. Tiga lembaga kekuasaan politik itu, terutama eksekutif seperti zaman Orde Baru, tetap sangat berpeluang menyalahgunakan kekuasaan. Itulah sebabnya, suatu oposisi terutama di dalam lembaga legislatif menjadi sangat penting --selain kekuasaan-supremasi hukum wajib ditegak-tegas-kejamkan kepada siapa pun apa pun jabatan dan status sosialnya.
Secara kalkulasi politik demi kerakyatan, sebenarnya bisa saja kita sangat berharap bahwa (partai) Prabowo tak usah secara resmi-formal mengakui kekalahan terhadap Jokowi. Toh keputusan KPU dan MK tetap memenangkan pilihan mayoritas rakyat Indonesia. Kita bisa berharap Prabowo bersama partainya tetap saja "bermusuhan" sebagai partai oposisi yang sebenarnya. Dan, kalau bisa, tapi sudah pasti mustahil, tetap berkoalisi menjadi oposisi besar bersama Koalisi Indonesia Adil Makmur (Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, Berkarya) yang telah mendukungnya sebagai calon presiden.
Tapi, dan sungguh tetapi, partai oposisi yang berintegritas dan kuat tidak akan terjadi. PAN sudah hampir pasti akan masuk ke kubu Jokowi, dan akan disusul Demokrat dengan pelan-pelan. Dan sudah pasti kita tidak bisa melihat oposisi pada tingkat politik lokal yang jauh lebih cair lagi. Pada tingkat nasional, akibat terlalu banyak disorot media massa, mungkin partai politik tampak bermusuhan. Tapi, pada tingkat lokal dan di berbagai daerah, partai-partai politik kawin-mawin koalisi yang susah dijelaskan berdasarkan ideologi politik partai.
Kita tidak bisa berharap terlalu serius bakal ada partai oposisi yang memegang teguh sikap oposisional: mengkritik dan sekaligus mengajukan usul program-ideologis yang bisa menantang pemerintahan yang sedang memegang kekuasaan. Oposisi tentu saja bukan hanya bersikap selalu menolak, tapi adalah sikap menolak dengan mengajukan alternatif yang teruji dan ampuh secara keilmuan kebijakan publik. Sejak Reformasi, hal ini sungguh susah kita saksikan. Justru "oposisi" lahir dan hadir dari sosok pemimpin daerah yang kuat, visioner, dan benar-benar menunjukkan kinerja bagus.
Selain itu, akibat kuasa internet, kita justru menyaksikan suatu gerakan oposisional dari platform media sosial atau new media seperti Facebook atau Twitter, bukan terutama dari partai politik yang anggotanya masuk parlemen nasional. Pada zaman sekarang, media massa dan media sosial bisa menggagalkan kebijakan pemerintah yang tidak populer. Maka, untuk sementara, kita anggap saja oposisi sebagai guyonan politik nasional.
M. Fauzi Sukri ; Esais, penulis buku Bahasa Ruang, Ruang Puitik (2018)
Sejak Presiden Sukarno membubarkan parlemen, sejak itulah oposisi hancur dalam kepolitikan di Indonesia. Dan semakin parah saat estafet kepemimpinan beralih ke Soeharto yang semakin merepresi dan mengekang kemunculan oposisi dari semua partai politik. Selama 32 tahun, praktis Orde Baru bermain politik tanpa perlawanan berarti dari partai politik. Keruntuhan Orde Baru pada 1998 tidak dengan sendirinya memunculkan partai oposisi yang tangguh. Sejak Reformasi, dengan kemunculan seratus lebih partai politik dan tanpa satu pun yang pernah menang pemilu 50 persen, tak ada yang bisa dianggap sebagai partai oposisi sampai sekarang, meski jumlah partai terus berkurang.
Dua Alasan Hatta
Alasan yang pernah dikemukakan Hatta tampaknya masih tetap berlaku hingga sekarang. Ada dua alasan pokok yang dikemukakan Hatta. Pertama, seperti terulang pada pemilu pertama era Reformasi, adalah akibat "sistem pemilihan jang terlalu demokratis". Dengan kemudahan mendirikan partai dan sistem pemilu yang terlalu longgar, muncullah banyak partai yang bersaing sengit untuk masuk parlemen. Tapi, akibat terlalu banyak biaya untuk masuk parlemen, pemerintahan tidak pernah stabil dan selalu dalam kegaduhan adu kepentingan kelompok.
Selama masa Demokrasi Liberal, tiap pemerintahan tidak pernah stabil dan program yang disusun tidak pernah bisa benar-benar dilaksanakan. Soeharto tentu saja tak mau hal itu terjadi pada pemerintahannya. Sayangnya, Soeharto bertindak keterlaluan jauh: menyingkirkan hampir semua partai politik, bahkan mengkambinghitamkan PKI, dan memasukkan ABRI dalam parlemen --satu tindakan konyol dalam pemikiran politik sipil modern.
Tentu saja, tiap pemerintah bahkan sejak Reformasi menginginkan stabilitas politik. Koalisi adalah harga mati. Sejak pemilihan umum pertama di era Reformasi (7 Juni 1999), hanya Gus Dur yang jatuh di parlemen akibat berbagai intrik partai politik. Untungnya, sekarang, hal ini sudah sangat muskil terjadi lagi dalam kepolitikan Indonesia, meski bukan tidak mungkin. Kita bahkan sudah memiliki pemimpin yang menjabat dua masa jabatan. Tapi, akibat masih terlalu banyak partai, tiap pemerintah harus membangun koalisi dengan partai lain agar tetap aman menjabat.
Kedua adalah penyalahgunaan kekuasaan. Kata Hatta (1966: 14), "Kalau dinegeri-negeri jang sudah lama mendjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan menjalah-gunakan kekuasaan, apalagi dalam negeri jang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan mendjadi partai pemerintah berarti "membagi rezeki". Golongan sendiri dikemukakan, masjarakat dilupakan." Tentu saja, akibatnya, praktik penjatahan kelompok lingkaran sendiri untuk menempati pos jabatan tertentu selalu terjadi. Secara umum, hal ini sebenarnya sangat wajar: yang berhasil berkuasa akan melakukan transformasi biaya politik ke bentuk kekuasaan jabatan politik.
Masalah muncul saat pejabat publik tersebut menyalahgunakan kekuasaan. Tak mudah mengontrol penyalahgunaan kekuasaan dari orang/lembaga yang sedang berkuasa. Sejarah sudah membuktikannya. Dalam lembaga modern, kita tahu dan sadar bahwa partai politik sungguh bukanlah perusahaan bisnis dengan statuta jelas untuk meraih keuntungan, tapi juga bukan lembaga amal religius yang sebisa mungkin menjauh dari kalkulasi kepentingan duniawi dan kekuasaan. Tak ada seorang pun, apalagi para politisi, yang secara naif menerima bahwa modal finansial politis yang telah dikeluarkannya hanya sedekah semata.
Dari sanalah, benih penyalahgunaan kekuasaan itu tertanam kokoh. Logika uang bermain: uang sebagai investasi, yang sebisa mungkin menghasilkan laba-kekuasaan, dan kekuasaan-laba akan bisa menghasilkan uang lagi. Akumulasi kekuasaan terjadi. Inilah rezim pasar dalam politik. Tak peduli mau berideologi apa: sekuler, religius, marxis, nasionalis, atau campuran. Yang berada di luar kekuasaan sungguh sangat sering tidak kebagian jatah. Oposisi itu adalah praktik politik kantong kering kerontang --selain duit jatah dari negara-- rakyat bagi partai yang masuk parlemen atas konversi total jumlah perolehan suara pemilih.
Demokrasi dan Oposisi
Demokrasi, sejak kemunculannya kembali di zaman modern, sudah sangat waspada pada penyalahgunaan kekuasaan. Itulah sebabnya, prosedur inti demokrasi adalah pemecahan kekuasaan menjadi tiga kekuatan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai sang wasit permainan politik. Pembagian ini adalah suatu idealitas demokratis, tapi jarang sekali berjalan sebagaimana adanya. Tiga lembaga kekuasaan politik itu, terutama eksekutif seperti zaman Orde Baru, tetap sangat berpeluang menyalahgunakan kekuasaan. Itulah sebabnya, suatu oposisi terutama di dalam lembaga legislatif menjadi sangat penting --selain kekuasaan-supremasi hukum wajib ditegak-tegas-kejamkan kepada siapa pun apa pun jabatan dan status sosialnya.
Secara kalkulasi politik demi kerakyatan, sebenarnya bisa saja kita sangat berharap bahwa (partai) Prabowo tak usah secara resmi-formal mengakui kekalahan terhadap Jokowi. Toh keputusan KPU dan MK tetap memenangkan pilihan mayoritas rakyat Indonesia. Kita bisa berharap Prabowo bersama partainya tetap saja "bermusuhan" sebagai partai oposisi yang sebenarnya. Dan, kalau bisa, tapi sudah pasti mustahil, tetap berkoalisi menjadi oposisi besar bersama Koalisi Indonesia Adil Makmur (Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, Berkarya) yang telah mendukungnya sebagai calon presiden.
Tapi, dan sungguh tetapi, partai oposisi yang berintegritas dan kuat tidak akan terjadi. PAN sudah hampir pasti akan masuk ke kubu Jokowi, dan akan disusul Demokrat dengan pelan-pelan. Dan sudah pasti kita tidak bisa melihat oposisi pada tingkat politik lokal yang jauh lebih cair lagi. Pada tingkat nasional, akibat terlalu banyak disorot media massa, mungkin partai politik tampak bermusuhan. Tapi, pada tingkat lokal dan di berbagai daerah, partai-partai politik kawin-mawin koalisi yang susah dijelaskan berdasarkan ideologi politik partai.
Kita tidak bisa berharap terlalu serius bakal ada partai oposisi yang memegang teguh sikap oposisional: mengkritik dan sekaligus mengajukan usul program-ideologis yang bisa menantang pemerintahan yang sedang memegang kekuasaan. Oposisi tentu saja bukan hanya bersikap selalu menolak, tapi adalah sikap menolak dengan mengajukan alternatif yang teruji dan ampuh secara keilmuan kebijakan publik. Sejak Reformasi, hal ini sungguh susah kita saksikan. Justru "oposisi" lahir dan hadir dari sosok pemimpin daerah yang kuat, visioner, dan benar-benar menunjukkan kinerja bagus.
Selain itu, akibat kuasa internet, kita justru menyaksikan suatu gerakan oposisional dari platform media sosial atau new media seperti Facebook atau Twitter, bukan terutama dari partai politik yang anggotanya masuk parlemen nasional. Pada zaman sekarang, media massa dan media sosial bisa menggagalkan kebijakan pemerintah yang tidak populer. Maka, untuk sementara, kita anggap saja oposisi sebagai guyonan politik nasional.
M. Fauzi Sukri ; Esais, penulis buku Bahasa Ruang, Ruang Puitik (2018)