Senin 15 Juli 2019, 16:10 WIB
Terkenang Budi di Hari Pertama Masuk Sekolah
Anak-anak kembali masuk sekolah. Buku-buku disiapkan untuk dibaca. Dalam rentang sejarahnya, di generasi tahun 80-90an, buku bukan sekadar tumpukan kata, tapi juga pembekuan tentang sosok idola bernama "Budi". Budi tidak sekadar nama. Budi hadir sebagai katalisator, melambungkan imaji anak-anak Indonesia bermisi ilmu pengetahuan. Kata itu membeku terutama dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia. Budi menjadi potret sekaligus jejak perjalanan kisah literasi di dunia anak-anak.
Ini Budi, Ini Bapak Budi, Ini Ibu Budi adalah kalimat yang mafhum dijumpai sekaligus dihafal sebagai pijakan awal generasi Indonesia menelusuri dunia kata. Buku-buku pelajaran pada masa tahun 80-90-an sesak dengan kata Budi. Ia merujuk pada nama seorang anak laki-laki yang berprilaku baik, santun, dan sederhana (sesuai dengan arti kata "budi"). Kata itu juga biasa kita jumpai dalam frase kata sifat: "berbudi", "budi pekerti", dan "budiman". Menjadikan Budi sebagai tokoh utama dalam berbagai cerita guna menegaskan sebuah mimpi, harapan, dan cita-cita anak-anak Indonesia yang dikekalkan lewat sebuah nama.
Anak-anak mengeja, membaca dengan terbata, kemudian abadi dalam memori. Budi berjasa besar mengantarkan anak-anak melek kata. Ia hadir di kala manusia Indonesia sesak dengan kisah buta terhadap huruf. Budi menjadi "alat peraga" agar anak-anak tak bosan bertemu buku. Sebuah hal yang sederhana, namun berdampak besar. Kata "Budi" adalah temuan yang paling monumental di era itu. Ia lahir dari sebuah pemikiran akan niat luhur dengan misi mencerdaskan. Kata itu menginspirasi; anak-anak Indonesia kemudian lahir dengan nama Budi. Cobalah hitung, berapa ribu anak-anak Indonesia generasi 70-90-an yang bernama Budi? Nama itu bergengsi dan membanggakan pada zamannya. Pemilik nama seolah pemeran utama yang saban hari dikisahkan lewat buku-buku pelajaran sekolah.
Begitu populernya "Budi" sampai raja dangdut Rhoma Irama menggunakannya sebagai nama peran dirinya lewat film berjudul Berkelana I (1978). Warisan Budi juga mengekal lewat nama Menteri Perhubungan di Kabinet Kerja Jokowi, yakni Budi Karya Sumadi. Atau politikus kawakan Priyo Budi Santoso, serta jangan lupakan pula sosok Budi Anduk, pelawak yang beken dengan rambut ikalnya. Kata Budi tersebar di banyak buku pelajaran seperti Bahasa Indonesia: Belajar Membaca dan Menulis Ia, 2a, 3a, 4a dan 5a-5b yang semuanya diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan periode tahun 70-80-an.
Buku-buku tersebut tak semata berisi tentang kumpulan huruf dan kalimat, namun juga gambar. Hampir semua gambar dalam sampul depannya berkisah tentang anak sekolah bernama Budi yang memegang, membaca buku, dan menulis dengan suka cita, penuh senyum dan tawa. Lembar demi lembar juga penuh hiasan gambar. Maklum, barangkali anak-anak belum begitu suka membaca, dianggap terlalu membosankan dan menjemukan. Gambar Budi berperan layaknya dalam komik, membantu mereka mengerti dan memahami ekspresi tokoh yang dikisahkan.
Tak banyak yang mengetahui tentang sosok penemu dan pencipta "Budi" dalam hamparan buku pelajaran. Ia adalah Siti Rahmani Rauf, seorang pendidik yang pada 2016 lalu meninggal dunia pada usia 97 tahun. Kita dapat menelisik informasi tentang Siti Rahmani Rauf lewat tulisan Rachmawan Deddy berjudul Jangan Hanya Kenal Ini Budi, Kenali Juga Penulisnya (2010). Siti adalah lulusan sekolah pada zaman Belanda pada 1936. Setelah lulus ia diangkat sebagai guru di Padang Kota, serta pernah mengajar pula di Sekolah Rakyat di Kota Jambi.
Ia memang gemar menulis dan membaca, bahkan karya novelnya yang berjudul Di Ujung Penantian pernah diterbitkan sebagai cerita bersambung di Majalah Femina. Ia merasa prihatin saat melihat guru-guru sekolah dasar tak memiliki alat peraga dan bahan yang memadai saat mengajar. Ia pun membuat tokoh "Budi". Dengan segera nama Budi menyebar, dikenal dan kekal. Buku-buku menjadikan "Budi" tetap hidup dan menyapa anak-anak Indonesia.
Buku-buku tentang Budi menjadi memori, dikenang sebagai pembabakan awal generasi Indonesia bersentuhan dengan kata. Buku-buku itu mungkin telah lapuk dan termakan rayap. Namun "Budi" justru abadi hingga kini. Lahirnya kata Budi dibarengi dengan iringan doa dan ikhtiar agar anak Indonesia tak abai dalam mencintai buku. Buku-buku baru diproduksi menggantikan yang lama, tapi alat peraga dalam pembelajaran Bahasa Indonesia hingga kini masih beku, belum menemukan satu nama yang menggeser sosok Budi.
Kita patut bersyukur bahwa Budi tercipta. Sama seperti ide menaruh roda di bawah koper, membutuhkan waktu seratus tahun sejak roda ditemukan. Budi tercipta setelah sekian lama kata dan huruf menemani manusia Indonesia. Ingatan kita tentang Budi adalah penghargaan terhadap Siti Rahmani Rauf. Budi berpendar menjadi berbagai rupa tafsir. Ia tak mati dalam buku-buku. Ia hidup dalam imajinasi.
Kini, kita tak lagi melihat buku-buku dalam pelajaran sekolah. Tergantikan dengan berbagai perangkat elektronik. Nama Budi pun dianggap sebagai kisah masa lalu, ketinggalan zaman dan kuno. Anak-anak generasi milenial malu menyandang nama Budi. Mereka hanya menjadikan Budi semata sebagai metode giat membaca, menulis dan menggambar, tak lebih. Tapi bagaimanapun juga, Budi adalah sahabat setia, yang menemani perjalanan dan pembentukan karakter manusia Indonesia. Ia bersentuhan dengan dunia anak-anak lintas generasi, walau zaman telah berganti.
Aris Setiawan ; Pengajar di ISI Surakarta
Ini Budi, Ini Bapak Budi, Ini Ibu Budi adalah kalimat yang mafhum dijumpai sekaligus dihafal sebagai pijakan awal generasi Indonesia menelusuri dunia kata. Buku-buku pelajaran pada masa tahun 80-90-an sesak dengan kata Budi. Ia merujuk pada nama seorang anak laki-laki yang berprilaku baik, santun, dan sederhana (sesuai dengan arti kata "budi"). Kata itu juga biasa kita jumpai dalam frase kata sifat: "berbudi", "budi pekerti", dan "budiman". Menjadikan Budi sebagai tokoh utama dalam berbagai cerita guna menegaskan sebuah mimpi, harapan, dan cita-cita anak-anak Indonesia yang dikekalkan lewat sebuah nama.
Anak-anak mengeja, membaca dengan terbata, kemudian abadi dalam memori. Budi berjasa besar mengantarkan anak-anak melek kata. Ia hadir di kala manusia Indonesia sesak dengan kisah buta terhadap huruf. Budi menjadi "alat peraga" agar anak-anak tak bosan bertemu buku. Sebuah hal yang sederhana, namun berdampak besar. Kata "Budi" adalah temuan yang paling monumental di era itu. Ia lahir dari sebuah pemikiran akan niat luhur dengan misi mencerdaskan. Kata itu menginspirasi; anak-anak Indonesia kemudian lahir dengan nama Budi. Cobalah hitung, berapa ribu anak-anak Indonesia generasi 70-90-an yang bernama Budi? Nama itu bergengsi dan membanggakan pada zamannya. Pemilik nama seolah pemeran utama yang saban hari dikisahkan lewat buku-buku pelajaran sekolah.
Begitu populernya "Budi" sampai raja dangdut Rhoma Irama menggunakannya sebagai nama peran dirinya lewat film berjudul Berkelana I (1978). Warisan Budi juga mengekal lewat nama Menteri Perhubungan di Kabinet Kerja Jokowi, yakni Budi Karya Sumadi. Atau politikus kawakan Priyo Budi Santoso, serta jangan lupakan pula sosok Budi Anduk, pelawak yang beken dengan rambut ikalnya. Kata Budi tersebar di banyak buku pelajaran seperti Bahasa Indonesia: Belajar Membaca dan Menulis Ia, 2a, 3a, 4a dan 5a-5b yang semuanya diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan periode tahun 70-80-an.
Buku-buku tersebut tak semata berisi tentang kumpulan huruf dan kalimat, namun juga gambar. Hampir semua gambar dalam sampul depannya berkisah tentang anak sekolah bernama Budi yang memegang, membaca buku, dan menulis dengan suka cita, penuh senyum dan tawa. Lembar demi lembar juga penuh hiasan gambar. Maklum, barangkali anak-anak belum begitu suka membaca, dianggap terlalu membosankan dan menjemukan. Gambar Budi berperan layaknya dalam komik, membantu mereka mengerti dan memahami ekspresi tokoh yang dikisahkan.
Tak banyak yang mengetahui tentang sosok penemu dan pencipta "Budi" dalam hamparan buku pelajaran. Ia adalah Siti Rahmani Rauf, seorang pendidik yang pada 2016 lalu meninggal dunia pada usia 97 tahun. Kita dapat menelisik informasi tentang Siti Rahmani Rauf lewat tulisan Rachmawan Deddy berjudul Jangan Hanya Kenal Ini Budi, Kenali Juga Penulisnya (2010). Siti adalah lulusan sekolah pada zaman Belanda pada 1936. Setelah lulus ia diangkat sebagai guru di Padang Kota, serta pernah mengajar pula di Sekolah Rakyat di Kota Jambi.
Ia memang gemar menulis dan membaca, bahkan karya novelnya yang berjudul Di Ujung Penantian pernah diterbitkan sebagai cerita bersambung di Majalah Femina. Ia merasa prihatin saat melihat guru-guru sekolah dasar tak memiliki alat peraga dan bahan yang memadai saat mengajar. Ia pun membuat tokoh "Budi". Dengan segera nama Budi menyebar, dikenal dan kekal. Buku-buku menjadikan "Budi" tetap hidup dan menyapa anak-anak Indonesia.
Buku-buku tentang Budi menjadi memori, dikenang sebagai pembabakan awal generasi Indonesia bersentuhan dengan kata. Buku-buku itu mungkin telah lapuk dan termakan rayap. Namun "Budi" justru abadi hingga kini. Lahirnya kata Budi dibarengi dengan iringan doa dan ikhtiar agar anak Indonesia tak abai dalam mencintai buku. Buku-buku baru diproduksi menggantikan yang lama, tapi alat peraga dalam pembelajaran Bahasa Indonesia hingga kini masih beku, belum menemukan satu nama yang menggeser sosok Budi.
Kita patut bersyukur bahwa Budi tercipta. Sama seperti ide menaruh roda di bawah koper, membutuhkan waktu seratus tahun sejak roda ditemukan. Budi tercipta setelah sekian lama kata dan huruf menemani manusia Indonesia. Ingatan kita tentang Budi adalah penghargaan terhadap Siti Rahmani Rauf. Budi berpendar menjadi berbagai rupa tafsir. Ia tak mati dalam buku-buku. Ia hidup dalam imajinasi.
Kini, kita tak lagi melihat buku-buku dalam pelajaran sekolah. Tergantikan dengan berbagai perangkat elektronik. Nama Budi pun dianggap sebagai kisah masa lalu, ketinggalan zaman dan kuno. Anak-anak generasi milenial malu menyandang nama Budi. Mereka hanya menjadikan Budi semata sebagai metode giat membaca, menulis dan menggambar, tak lebih. Tapi bagaimanapun juga, Budi adalah sahabat setia, yang menemani perjalanan dan pembentukan karakter manusia Indonesia. Ia bersentuhan dengan dunia anak-anak lintas generasi, walau zaman telah berganti.
Aris Setiawan ; Pengajar di ISI Surakarta