STRATEGI MILITER
Komando Gabungan Wilayah Pertahanan
Menjelang HUT TNI ke 74, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) menerbitkan Keputusan Panglima TNI No Kep/1055/IX/2019 untuk memutasi sejumlah pejabat struktural militer. Mutasi perwira TNI kali ini cenderung signifikan karena menandai kesiapan TNI membentuk Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Panglima TNI menunjuk Laksamana Madya TNI Yudo Margono sebagai Pangkogabwilhan I, Marsekal Madya TNI Fadjar Prasetyo sebagai Pangkogabwilhan II, dan Mayjen TNI Ganip Warsito sebagai Pangkogabwilhan III.
Kogabwilhan merupakan bagian integral dari Rencana Strategis pembangunan “Kekuatan Pokok Minimum” Pertahanan 2024. Sejak 2010, rencana pembentukan komando operasi TNI ini tertunda akibat menunggu kesiapan infrastruktur utama termasuk pangkalan dan satuan pendukung. Akhirnya, melalui Perpres No 42/2019 tentang perubahan kedua organisasi TNI, Presiden Jokowi kembali memerintahkan pembentukan Kogabwilhan.Sebagai salah satu Komando Utama Operasi (Kotamaops) TNI, Kogabwilhan bertugas sebagai “penindak awal” bila terjadi konflik di wilayah dan sebagai “kekuatan penangkal” ancaman dari luar negeri. Dalam prosesnya, pemerintah mempertimbangkan beberapa faktor ketika membentuk Kogabwilhan. Pertama, sesuai Pasal 1 UU No 34/2004, “gelar pertahanan negara … disusun dengan memerhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan”. Karena itu, Markas Besar TNI membentuk tiga Kogabwilhan dengan memerhatikan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan gelar kekuatan seluruh Kotamaops TNI—baik di angkatan darat, laut maupun udara, serta batas geografis provinsi.
Kedua, Pasal 48 Ayat (2) Perpres No 10/2010 mengatur bahwa Panglima Kogabwilhan (Pangkogabwilhan) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Panglima TNI. Mengacu pada struktur organisasi TNI, susunan organisasi Kogabwilhan pun dibentuk sesuai kebutuhan untuk mengendalikan operasi terpadu antar-matra/satuan di masing-masing wilayah pertahanan. Pembentukan Kogabwilhan cenderung konsisten dengan berbagai perkembangan militer terkini.
Pada Mei 2018, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto telah meresmikan empat satuan baru: Divisi Infantri 3/Kostrad, Pasukan Marinir-3, Komando Armada III, dan Komando Operasi Angkatan Udara III. Tak kalah signifikan, pembangunan beberapa pangkalan terpadu di daerah perbatasan termasuk di Natuna, Morotai, Biak dan Saumlaki.
Beberapa tahun terakhir, Mabes TNI pun kian intensif menggelar latihan gabungan dan simulasi tempur yang melibatkan berbagai kemampuan dan spektrum operasi militer. Dalam latihan gabungan Dharma Yudha 2019, misalnya, TNI mengerahkan sekitar 12.500 prajurit untuk menguji kesiapsiagaan dan interoperabilitas alutsista dari tiga matra perang. Dalam latihan ini, pesawat nir-awak CH4 berjenis MALE (Medium Altitude Long Endurance) digelar di Pusat Latihan Tempur Marinir Asembagus, Situbondo dengan kendali jarak jauh dari Surabaya.
Surplus perwira tinggi
Ketiga, organisasi TNI—khususnya matra darat menghadapi persoalan serius berupa kesenjangan (gap) antara kebutuhan ideal jumlah nyata perwira tinggi dan kolonel dengan kebutuhan personel yang diperlukan. Pada 2017, misalnya, terdapat surplus perwira tinggi 35 persen dari total kebutuhan 115 posisi struktural dan kolonel sekitar 28 persen dari total 1.180 posisi.
Secara kepangkatan, Pangkogabwilhan dijabat perwira tinggi dengan pangkat bintang-3, Kepala Staf dijabat perwira bintang-2, dan para Asisten Pangkogabwilhan dijabat oleh perwira bintang-1. Diperkirakan susunan organisasi Kogabwilhan memerlukan 27 perwira tinggi dan ratusan posisi struktural yang dapat diawaki oleh perwira berpangkat kolonel.
Namun, jenjang kepangkatan dan riwayat karier (tour of duty) tetap jadi norma utama dalam setiap kebijakan pembinaan personel TNI.
Namun, jenjang kepangkatan dan riwayat karier (tour of duty) tetap jadi norma utama dalam setiap kebijakan pembinaan personel TNI.
Pengalaman memimpin sejumlah Kotamaops seperti Divisi Infanteri Kostrad atau Grup Kopassus dan Komando Daerah Militer merupakan kriteria bagi perwira tinggi TNI-AD yang dicalonkan jadi Pangkogabwilhan. Serupa, perwira yang pernah menjabat Komandan Gugus Tempur Laut/Pangkalan Udara Utama dan Panglima Komando Armada/Komando Operasi AU adalah kualifikasi bagi kandidat Pangkogabwilhan dari matra laut dan udara.
Pembentukan Kogabwilhan merupakan indikasi kuat bahwa Mabes TNI secara terencana telah menyiapkan transformasi pertahanan agar Indonesia memiliki kekuatan perang yang dapat menjawab tantangan perang modern di abad ke 21. Kogabwilhan menandai awal transformasi pertahanan menuju terbentuknya kekuatan tri matra yang dapat melakukan operasi gabungan dalam wilayah pertahanan yang spesifik.
Kogabwilhan akan mengharuskan Mabes TNI mengadopsi teknologi militer terkini yang memungkinkan terjadinya inter-operability antar sistem persenjataan tri-matra. Mabes harus mengembangkan kemampuan penginderaan, sensor, komunikasi, hingga kendali operasi yang memungkinkan masing-masing Pangkogabwilhan dapat mengendalikan secara penuh gelar taktis yang dilakukan Divisi Kostrad, Armada Laut, dan Skuadron Udara dalam satu operasi militer gabungan.
Ke depan, Mabes TNI harus mengupayakan terciptanya integrasi lintas matra yang memungkinkan gelar Divisi TNI AD berpadu dengan gelar baru TNI AL yang berbasis pendekatan Zona Identifikasi Maritim Indonesia (IMIZ/Indonesia Maritime Idenfication Zone) dan gelar kubah TNI AD untuk membentuk Sistem Pertahanan Ruang Udara Indonesia (ADIS/Air Defense Identification System). Gelar terpadu lintas matra ini jadi pekerjaan rumah utama para Pangkogabwilhan untuk memastikan gelar terpadu tiga komando wilayah dapat menopang tercapainya kekuatan gabungan yang tangguh.
(Andi Widjajanto ; Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Indonesia)