BUDAYA POLITIK
Politik Ampas
Adalah George McTurnan Kahin (1918-2000), Indonesianis asal Amerika Serikat yang mendirikan Modern Indonesia Project di Cornell University New York. Gairahnya pada keindonesiaan muncul dari fakta begitu mudahnya bangsa ini meremehkan dan menyalahartikan setiap bentuk perjuangan untuk integritas kebangsaan (B Tulus Wardaya, Membangun Republik).
Penelitian Kahin yang terlibat langsung secara fisik dalam intrik politik semasa revolusi kemerdekaan meninggalkan warisan sosiologis betapa banyak tokoh bangsa ini telah disepelekan (underrated) bahkan disalahmengerti (misunderstood).Spesifikasinya pada ilmu politik murni membuatnya tetap berada di jalur disiplin dalam pendekatan traktat itu, tanpa peduli karakter bawaan bangsa ini dalam tren kuat untuk begitu mudah menihilkan segala upaya menuju martabat kebangsaan.
Persis apa yang terpapar dalam pesan berantai di WhatsApp beberapa waktu lalu: 98 persen ingin bangsa Indonesia berdaulat, 78 persen ingin bangsa Indonesia berkembang maju mengalahkan Singapura, 68 persen ingin bangsa Indonesia tumbuh sebagai macan Asia, tetapi (!) hanya 1 persen yang mau diajak ke arah sana.
Pelbagai simtom berupa kerusuhan di beberapa tempat secara bergantian yang notabene pasti bukanlah tanpa provokasi dari pihak-pihak tertentu merupakan contoh betapa upaya terhadap penihilan integritas politik kebangsaan itu tidaklah main-main (Kompas, 13/9).
Problem filosofis
Secara kategoris, terjadi ambiguitas dalam tipikalitas masyarakat Indonesia. Karakter sosiologis masyarakat kita yang komunal menyetor suatu cara pandang khusus sebagai masyarakat organis daripada organisatoris. Ciri masyarakat organis adalah spontan dan massal, berfokus pada subyek. Sementara masyarakat organisatoris menunjuk pada manajemen sosial secara struktural, berfokus pada sistem.
Dalam masyarakat organisatoris, penataan masyarakat berdasarkan sistem menghasilkan kultur otoritatif. Sementara dalam masyarakat organis, kuantifikasionalitas jauh lebih berperan daripada rasionalitas. Ciri masyarakat Indonesia sebagai masyarakat organis menempatkan pribadi di atas sistem. Subyek lebih tinggi daripada obyek.
Tak ayal, ketika sistem kroni dimasukkan sebagai variabel dalam penyusunan sebuah struktur sosial politik, tak ada lagi jeritan protes atas pelanggaran moralitas itu. Tidak adanya protes (indignation) dari pelbagai pihak, bahkan sebaliknya ada kecenderungan kuat untuk melanggengkan sistem tersebut, berarti labirin masyarakat organis begitu kuat mengikat dan tanpa ujung.
Akibatnya, meritokrasi tak berlaku dalam masyarakat organis Indonesia. Betapapun seorang pemimpin telah melakukan suatu pekerjaan besar dalam level kebangsaan, pastilah prestasi itu tak menimbulkan respek yang wajar.
Sebaliknya, justru selalu saja detail kesalahan yang dicari-cari dan digelembungkan secara massal dan masif untuk dipakai sebagai serangan balik. Kedok yang dipakai untuk serangan balik itu dicari-cari sedemikian rupa dan melalui rekayasa pembentukan opini, bahkan atas nama ekuilibrium governansi. Kudung saleh ”oposisi” tak pernah bersifat konstruktif, tetapi begitu destruktif secara agresif. Yang penting asal berlawanan, asal berseberangan, entah dengan tujuan untuk sekadar kelihatan eksis tanpa pernah peduli dengan arti eksistensi itu sendiri. Yang jamak adalah sekadar penggelembungan isu (bubbling), mengikuti alur masyarakat yang komunal serta oral.
Terbadankan
Meskipun kultur feodalisme telah dinyatakan gugur sebagai sebuah matra lewat keruntuhan Orde Baru, tetap saja karakter asali masyarakat Indonesia menempatkan keruntuhan feodalisme tersebut hanyalah sebagai sebuah katup yang terlepas. Keruntuhan itu hanyalah bersifat simbolik dan artifisial, tak pernah bersifat substansial apalagi fundamental.
Dalam cara tutur Bourdieu, ketidakberaturan sosial senantiasa menggariskan sesuatu yang lepas dalam jeroan masyarakat dalam traktat peran patronik. Sejak Orba, secara drastis tetapi spartan model sosiologi patron-client telah (ber)geser oleh kompleks inferioritas yang ternyata bersifat natural sebagai akar tumbuh kepribadian masyarakat kita (bdk. Tulus Sudarto, Politik Kumalungkung, Kompas 5/2/2018).
Posisi patron terhadap client tak lagi sekuat model kerajaan, tetapi dari dulu tak pernah ada dalam konsep keseharian masyarakat kita. Patron hanyalah obyek kesalahan, dihujat diturunkan, dimaki, di-bully, dinihilkan. Jika seorang patron bekerja baik, dia tak otomatis dapat respek dan apresiasi sewajarnya.
Sebaliknya, jika ia membuat kekeliruan sekecil apa pun, pasti kesalahan minor itu langsung digoreng. Kesukaan masyarakat menggoreng isu inilah yang menjadi ciri khas betapa sebetulnya kompleks minder (inferiority complex) jauh lebih kuat daripada kesediaan untuk secara visioner berjalan maju ke depan.
Mengapa kultur otoritatif tak bisa berkembang di ranah terdasar dalam struktur masyarakat Indonesia, alasan utama adalah tipe masyarakat Indonesia yang sangat subyektif daripada obyektif telah menempatkan pribadi di atas sistem. Indikator harian yang sudah biasa kita alami adalah kekacauan dalam antrean, kesemrawutan berlalu lintas dan ketaatan yang hanya muncul ketika ada otoritas yang lebih sedang mengawasi.
Selebihnya terlihat bagaimana wajah asli masyarakat Indonesia yang diistilahkan oleh almarhum Romo Mangunwijaya seperti sekelompok kepiting dalam sebuah ember. Semua pihak saling berebut untuk bisa naik ke atas, berusaha keluar dari ember, dengan segala risiko harus mengalahkan dan ”membunuh” yang lain.
Energi untuk mendestruksi selalu lebih mudah diaplikasikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Ibarat seorang yang lemah secara mental diberi kekuasaan, pasti penampilan kekuasaan itu jauh lebih sangar dan sangat destruktif.
Contohnya soal pilihan untuk merawat kebinekaan di mana-mana begitu sulit dan memakan waktu panjang serta gradual. Jauh lebih mudah untuk mengobarkan benih-benih counter-toleransi. Bahwa energi untuk intoleransi telah menjadi pilihan pragmatis dari seperbagian masyarakat Indonesia, fakta ini tentu jadi beban komunal yang pasti sangat potensial untuk benturan horizontal ataupun vertikal.
Harus kita akui, kita bangsa yang terbentuk dari ”sisa-sisa”. Bahkan, ideologi turahan pun begitu digilai bukan karena ideologi itu an sich terbukti bagus secara teoretis dan praktis, tetapi hanya karena ideologi itu sekadar jadi tempat ternyaman untuk sampah-sampah filosofis yang tergelembungkan oleh pelbagai propaganda bombastis. Betapapun ngawur-nya ideologi itu, politik telah menjadikannya begitu kelihatan jemawa. Wallahualam.
( Tulus Sudarto, Rohaniwan, Bekerja di Paroki St Maria Lourdes Sumber, Magelang )