Pasalnya, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam menilai, melalui tim yang akan dibentuk tersebut, pemerintah berusaha menyeret persoalan hukum ke ranah politik.
Choirul mengatakan hal itu terlihat dari tugas tim yaitu memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil kajian hukum terhadap tindakan yang dinilai melanggar hukum pasca Pemilu 2019.
Choirul mengatakan tugas yang diberikan kepada anggota tim itu adalah tugas penyelidik.
"Tugas itu karakternya intervensi terhadap penegakan hukum. Apalagi melihat struktur keanggotaannya. Artinya, setelah diputuskan lewat kajian dan dinyatakan orang itu melanggar pasti akan jalan kasusnya. Itu kan sarat kriminalisasi," ujar Choirul Anam kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta (10/05/2019).
"Menkopolhukam menarik persoalan hukum jadi persoalan politik yang mestinya dihindari. Karena itu cerminan dari karakter Orde Baru," sambungnya.
Pada Surat Keputusan yang diteken Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, pada 8 Mei 2019, tugas tim tersebut juga menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas tim kepada Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan selaku Ketua Pengarah.
Setidaknya ada 24 anggota yang terdiri dari 13 orang berlatarbelakang pakar hukum dari pelbagai perguruan tinggi.
Anggotanya termasuk I Gede Panca Astawa dari Universitas Padjajaran, Farida Patittinggi yang menjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan Bintar R. Saragih dari Universitas Indonesia. Selebihnya terdapat pejabat di empat kementerian, Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Tapi menurut Komnas HAM, kehadiran tim tersebut akan memangkas dan menakut-nakuti seseorang dalam menyampaikan pendapat maupun pikirannya. Padahal, hal itu telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.
"Kita ketahui karakter demokrasi bersifat noiseatau riuh. Itu karena demokrasi memang memberi ruang kepada setiap orang mengeluarkan pikiran dan pendapat dan kerap berbeda-beda," ujar Komisioner Komnas HAM, Munafrizal Manan.
"Tidak seharusnya ada suatu kebijakan yang bernuansa menebar ancaman dan menciptakan atmosfer ketakutan bagi warga negara," sambungnya.
Lebih jauh Choirul Anam mengatakan, keterlibatan belasan pakar hukum dalam Tim Asistensi Hukum, tidak menjamin adanya objektivitas dalam menilai suatu kasus, sekalipun mereka dianggap berintegritas tinggi. Sebab bagaimanapun, para ahli itu bekerja di bawah kewenangan pemerintah.
"Mau nggak mau karena di bawah Kemenkopolhukam, mau isinya semua profesor, hukum jadi instrumen untuk kepentingan-kepentingan politik. Karena ini di bawah kementerian politik. Jadi tokoh-tokoh itu tidak menjawab apapun," tegas Choirul Anam.
Publik diminta tidak berburuk sangka
Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam, Adi Warman, menilai kekhawatiran Komnas HAM tidak tepat.
Justru menurutnya, tim ini bertujuan melindungi agar "tidak ada pihak yang terzalimi".
Ia mengatakan prosesnya dilakukan secara terbuka dengan menggandeng para pakar hukum yang independen dan tidak memiliki afiliasi politik dengan siapapun.
"Justru ini kemajuan di zaman modern, membuka diri kepada tokoh-tokoh ahli hukum yang memiliki kapasitas, integritas, orang kampus. Malah tim diberikan kesempatan berdiskusi dengan tim lain yang bisa dipertanggung jawabkan secara akademisi," ujar Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam, Adi Warman, kepada BBC News Indonesia, Jumat (10/05).
"Mereka digaransi bekerja berdasarkan ilmu. Jadi jangan buruk sangka, lihat dulu hasilnya," sambungnya.
Dia juga mengatakan, Tim Asistensi Hukum dibentuk supaya aparat penegak hukum tidak terus menerus disudutkan dan dipersalahkan ketika menyelidiki suatu kasus yang tersangkut dengan pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Sebab, keputusan Kepolisian maupun Kejaksaan Agung telah melewati pertimbangan pakar.
"Ini akan membuat nyaman tindakan penyidik benar-benar murni hukum, bukan area abu-abu atau kepentingan politik," jelasnya.
Adi Warman pun mengklaim, kajian hukum dan hasil rekomendasi dari para pakar hukum Tim Asistensi, tidak dimaksudkan melompati proses penyelidikan di Kepolisian.
"Tidak masuk (penyelidikan)," katanya.
Terpanggil untuk kepentingan negara
I Gede Panca Astawa yang merupakan Guru Besar Universitas Padjajaran, mengatakan menerima permintaan menjadi salah satu anggota Tim Asistensi Hukum, karena "untuk kepentingan negara". Ia mengaku tak memiliki kedekatan dengan Presiden Joko Widodo ataupun Menkopolhukam, Wiranto.
"Saya melihat negara memanggil, saya tidak lihat Wiranto-nya," ujar I Gede Panca Astawa, kepada BBC News Indonesia, Jumat (10/05).
Dalam bekerja nanti, ia mengklaim akan objektif sebagai akademisi di bidang hukum tata negara dan administrasi negara. Begitu pula dengan pakar lain yang memiliki latarbelakang ilmu hukum pidana.
"Dalam melakukan kajian itu, akan diletakkan secara proporsional. Kami akan berembuk apakah ucapan ini masuk kategori yang melanggar atau tidak. kalau tidak melanggar diberikan rekomendasi, misalnya tindakan ini tidak perlu ditindak," jelasnya.
Hasil kajian dan rekomendasi yang diberikan itupun, tidak dimaksudkan mengintervensi proses hukum yang akan berjalan. Para pakar, kata dia, hanya menjadi pagar agar aparat penegak hukum "tidak lepas kontrol".
"Biar hati-hati, jangan sampai polisi reaktif. Hati-hati juga tidak menghilangkan ketegasan," ujarnya.
"Jadi kami tidak bermaksud mengintervensi, justru mengawal aturan yang ada," sambungnya.
I Gede Panca Astawa juga memastikan, Tim Asistensi Hukum tidak akan memberangus hak seseorang menyampaikan pendapat seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar.
"Tidak mungkin kami melakukan itu. Kami akan berpegang pada aturan yang ada."
Meski belum efektif bekerja di Tim Asistensi Hukum, tugas para anggota akan menelaah tindakan dan ucapan yang ada di media sosial, media cetak, elektronik, maupun di ruang publik.
Ia mencontohkan, jika ada ucapan dari pihak-pihak yang menghina simbol negara yaitu presiden, maka besar kemungkinan akan direkomendasikan diusut penegak hukum.
"Suka tidak suka, jangan lihat orangnya tapi jabatannya. Itu simbol negara. Kita tidak ingin simbol negara dihina, itu harus dapat suatu ganjaran," tukasnya.
"Kalau ujaran kebencian, hoaks, caci maki, atau fitnah, itu nggak bisa dibiarkan. Nanti kita lihat ada nggak aturannya," katanya. [tsc]