Senin 15 Juli 2019, 11:15 WIB
Rekonsiliasi Apa?
Ajakan dan anjuran untuk rekonsiliasi bergema setelah Pilpres 2019 selesai, khususnya setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pasangan Prabowo-Sandi, dan itu bermakna bahwa keputusan KPU atas kemenangan Jokowi-Maruf sah. Tapi rekonsiliasi itu apa, dan kenapa diperlukan? Rekonsiliasi adalah perbaikan hubungan antara pihak-pihak yang bertikai. Nah, siapa yang bertikai?
Ada dua hal yang harus dianalisis secara terpisah soal pilpres dan akibat lanjutannya ini, yaitu soa Prabowo dan sebagian pendukungnya. Kita akan kaji dengan teliti apakah rekonsiliasi perlu dan bisa dilakukan.
Saat bertemu Jokowi, Sabtu kemarin Prabowo mengatakan bahwa yang baru saja berlalu adalah kompetisi politik dalam koridor demokrasi. Kadang pertarungan itu keras, tapi prinsipnya itu hanya bagian dari proses demokrasi saja, bukan permusuhan. Normalnya, setelah itu semua selesai, kita semua kembali seperti sedia kala.
Benarkah demikian? Kalau ini cuma soal demokrasi, ini tentu hanya soal pilihan politik dan kebijakan. Secara ideologi, tidak ada perbedaan antara Jokowi dan Prabowo. Yang berbeda tinggal soal strategi pembangunan. Misalnya, kalau Jokowi memberi tekanan khusus pada pembangunan infrastruktur, Prabowo (misalnya) menekankan pada keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan stabilitas moneter. Kalau Jokowi berusaha keras untuk membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing, Prabowo (misalnya) lebih menekankan untuk menggali sumber-sumber investasi dalam negeri.
Sayangnya bukan itu narasi politik yang dibangun oleh Prabowo. Ia menggambarkan pemerintah sekarang seperti penjahat. Ia memproduksi begitu banyak informasi palsu, klaim palsu, dan tuduhan palsu, seolah pemerintah sekarang adalah monster yang sedang mengisap darah rakyat, bekerja untuk menyengsarakan rakyat. Dalam narasi yang ia bangun, Prabowo mencitrakan lawan politiknya sebagai musuh.
Itu masih ditambah lagi dengan penggunaan simbol-simbol agama yang sangat tidak pada tempatnya. Prabowo sendiri bukan orang yang relijius, sebagaimana ia akui sendiri. Tapi tim kampanyenya membangun narasi seolah Jokowi adalah musuh umat Islam yang menzalimi, memojokkan, dan merusak umat Islam. Semua itu lagi-lagi dibangun berdasarkan informasi palsu.
Ketika proses pemungutan suara selesai, Prabowo membuat klaim kemenangan. Dasarnya lagi-lagi informasi palsu. Ia membangun narasi seolah KPU dan Bawaslu, dua lembaga negara yang terhormat dan independen, adalah lembaga yang culas dan curang, sehingga layak dimusuhi. Ia menyuruh pendukungnya untuk memaksa kedua lembaga itu mengubah hasil pemilihan, agar dia menang. Di pengadilan akhirnya terbukti bahwa semua itu tidak benar.
Sembilan nyawa melayang, ratusan luka-luka, banyak kerusakan, yang sebagian harus ditanggung oleh rakyat kecil. Semua itu berpangkal pada satu hal: Prabowo enggan mengakui kekalahan. Dapatkan itu semua disebut sebagai sekadar sebuah kompetisi dalam koridor demokrasi? Bagi saya tidak.
Prabowo dalam pertemuan dengan Jokowi pada akhir pekan lalu mencoba menampilkan dirinya seperti seorang negarawan. Ia mengatakan bahwa ia bersahabat dengan Jokowi. Seandainya itu benar, seharusnya itu tercermin dalam narasi dan sikap politik sepanjang proses pemilihan.
Yang perlu melakukan rekonsiliasi sebenarnya adalah dua sosok Prabowo. Yaitu sosok yang memiliki ambisi yang sangat besar untuk jadi presiden, dan sosok yang (seperti dia klaim) merupakan seorang negarawan. Kedua sosok itu tidak akur satu dengan yang lain. Sikapnya saling tidak konsisten dan bertentangan. Selama kedua sosok itu belum melakukan rekonsiliasi, situasi yang sama akan terulang lagi.
Persoalan kedua adalah soal sebagian pendukung Prabowo. Ada sebagian dari pendukung ini yang sebenarnya bertujuan bukan sekadar menjadikan Prabowo sebagai presiden. Mereka punya agenda ideologis sendiri, yang berbeda dengan ideologi Prabowo. Mereka berniat mengubah format negara, menjadikannya negara syariat. Atau setidaknya, mereka ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Apakah Prabowo setujuan dengan itu? Tidak. Mereka pun tidak sepaham dengan Prabowo. Ini adalah soal dua pihak yang mencoba saling memanfaatkan, dengan niat saling menyetir. Kelompok tadi tidak punya tokoh yang memadai yang bisa disorongkan untuk menyaingi Jokowi. Prabowo dalam hal ini bisa diandalkan.
Prabowo tidak punya cukup kekuatan kalau hanya mengandalkan basis massa nasionalis. Maka ia tidak keberatan berkoalisi dengan orang-orang yang tidak seideologi dengan dia. Yang penting menangkan dulu pertarungan. Prabowo berharap setelah menang ia akan bisa mengendalikan pendukungnya itu. Pihak pendukung tadi juga demikian. Prinsipnya, menangkan dulu pertarungan. Kalau sudah menang mereka berharap akan bisa menyetir Prabowo untuk menuruti kemauan mereka.
Kelompok ini jelas tidak menginginkan rekonsiliasi. Bagi mereka pemilihan presiden bukan sekadar proses demokrasi yang dimuliakan. Sebagian dari mereka justru mengharamkan demokrasi. Pilpres hanyalah batu loncatan, demokrasi adalah alat yang akan dipakai sementara, untuk mencapai tujuan. Tujuan mereka bukan menegakkan demokrasi, tapi sebaliknya, meruntuhkannya.
Kita menyaksikan bagaimana Prabowo dikecam karena mau bertemu Jokowi, oleh orang-orang yang memang tidak ingin ada rekonsiliasi. Orang-orang yang sempat membesar harapannya karena narasi-narasi politik yang dibangun oleh Prabowo tadi.
Jadi harus disadari bahwa rekonsiliasi tidak sesederhana seperti bertemu dan makan bersama di bawah sorot kamera. Rekonsiliasi adalah kesadaran bahwa ada sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu bangsa dan negara ini. Kepentingannya jauh melebihi pentingnya ambisi pribadi.
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
Ada dua hal yang harus dianalisis secara terpisah soal pilpres dan akibat lanjutannya ini, yaitu soa Prabowo dan sebagian pendukungnya. Kita akan kaji dengan teliti apakah rekonsiliasi perlu dan bisa dilakukan.
Saat bertemu Jokowi, Sabtu kemarin Prabowo mengatakan bahwa yang baru saja berlalu adalah kompetisi politik dalam koridor demokrasi. Kadang pertarungan itu keras, tapi prinsipnya itu hanya bagian dari proses demokrasi saja, bukan permusuhan. Normalnya, setelah itu semua selesai, kita semua kembali seperti sedia kala.
Benarkah demikian? Kalau ini cuma soal demokrasi, ini tentu hanya soal pilihan politik dan kebijakan. Secara ideologi, tidak ada perbedaan antara Jokowi dan Prabowo. Yang berbeda tinggal soal strategi pembangunan. Misalnya, kalau Jokowi memberi tekanan khusus pada pembangunan infrastruktur, Prabowo (misalnya) menekankan pada keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan stabilitas moneter. Kalau Jokowi berusaha keras untuk membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing, Prabowo (misalnya) lebih menekankan untuk menggali sumber-sumber investasi dalam negeri.
Sayangnya bukan itu narasi politik yang dibangun oleh Prabowo. Ia menggambarkan pemerintah sekarang seperti penjahat. Ia memproduksi begitu banyak informasi palsu, klaim palsu, dan tuduhan palsu, seolah pemerintah sekarang adalah monster yang sedang mengisap darah rakyat, bekerja untuk menyengsarakan rakyat. Dalam narasi yang ia bangun, Prabowo mencitrakan lawan politiknya sebagai musuh.
Itu masih ditambah lagi dengan penggunaan simbol-simbol agama yang sangat tidak pada tempatnya. Prabowo sendiri bukan orang yang relijius, sebagaimana ia akui sendiri. Tapi tim kampanyenya membangun narasi seolah Jokowi adalah musuh umat Islam yang menzalimi, memojokkan, dan merusak umat Islam. Semua itu lagi-lagi dibangun berdasarkan informasi palsu.
Ketika proses pemungutan suara selesai, Prabowo membuat klaim kemenangan. Dasarnya lagi-lagi informasi palsu. Ia membangun narasi seolah KPU dan Bawaslu, dua lembaga negara yang terhormat dan independen, adalah lembaga yang culas dan curang, sehingga layak dimusuhi. Ia menyuruh pendukungnya untuk memaksa kedua lembaga itu mengubah hasil pemilihan, agar dia menang. Di pengadilan akhirnya terbukti bahwa semua itu tidak benar.
Sembilan nyawa melayang, ratusan luka-luka, banyak kerusakan, yang sebagian harus ditanggung oleh rakyat kecil. Semua itu berpangkal pada satu hal: Prabowo enggan mengakui kekalahan. Dapatkan itu semua disebut sebagai sekadar sebuah kompetisi dalam koridor demokrasi? Bagi saya tidak.
Prabowo dalam pertemuan dengan Jokowi pada akhir pekan lalu mencoba menampilkan dirinya seperti seorang negarawan. Ia mengatakan bahwa ia bersahabat dengan Jokowi. Seandainya itu benar, seharusnya itu tercermin dalam narasi dan sikap politik sepanjang proses pemilihan.
Yang perlu melakukan rekonsiliasi sebenarnya adalah dua sosok Prabowo. Yaitu sosok yang memiliki ambisi yang sangat besar untuk jadi presiden, dan sosok yang (seperti dia klaim) merupakan seorang negarawan. Kedua sosok itu tidak akur satu dengan yang lain. Sikapnya saling tidak konsisten dan bertentangan. Selama kedua sosok itu belum melakukan rekonsiliasi, situasi yang sama akan terulang lagi.
Persoalan kedua adalah soal sebagian pendukung Prabowo. Ada sebagian dari pendukung ini yang sebenarnya bertujuan bukan sekadar menjadikan Prabowo sebagai presiden. Mereka punya agenda ideologis sendiri, yang berbeda dengan ideologi Prabowo. Mereka berniat mengubah format negara, menjadikannya negara syariat. Atau setidaknya, mereka ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Apakah Prabowo setujuan dengan itu? Tidak. Mereka pun tidak sepaham dengan Prabowo. Ini adalah soal dua pihak yang mencoba saling memanfaatkan, dengan niat saling menyetir. Kelompok tadi tidak punya tokoh yang memadai yang bisa disorongkan untuk menyaingi Jokowi. Prabowo dalam hal ini bisa diandalkan.
Prabowo tidak punya cukup kekuatan kalau hanya mengandalkan basis massa nasionalis. Maka ia tidak keberatan berkoalisi dengan orang-orang yang tidak seideologi dengan dia. Yang penting menangkan dulu pertarungan. Prabowo berharap setelah menang ia akan bisa mengendalikan pendukungnya itu. Pihak pendukung tadi juga demikian. Prinsipnya, menangkan dulu pertarungan. Kalau sudah menang mereka berharap akan bisa menyetir Prabowo untuk menuruti kemauan mereka.
Kelompok ini jelas tidak menginginkan rekonsiliasi. Bagi mereka pemilihan presiden bukan sekadar proses demokrasi yang dimuliakan. Sebagian dari mereka justru mengharamkan demokrasi. Pilpres hanyalah batu loncatan, demokrasi adalah alat yang akan dipakai sementara, untuk mencapai tujuan. Tujuan mereka bukan menegakkan demokrasi, tapi sebaliknya, meruntuhkannya.
Kita menyaksikan bagaimana Prabowo dikecam karena mau bertemu Jokowi, oleh orang-orang yang memang tidak ingin ada rekonsiliasi. Orang-orang yang sempat membesar harapannya karena narasi-narasi politik yang dibangun oleh Prabowo tadi.
Jadi harus disadari bahwa rekonsiliasi tidak sesederhana seperti bertemu dan makan bersama di bawah sorot kamera. Rekonsiliasi adalah kesadaran bahwa ada sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu bangsa dan negara ini. Kepentingannya jauh melebihi pentingnya ambisi pribadi.
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia