Jumat 12 Juli 2019, 11:00 WIB
Penguatan Pendidikan Agama
Perdebatan tentang perlu tidaknya pendidikan agama di sekolah kembali mengemuka. Perdebatan ini dipicu oleh saran "penghapusan" pendidikan agama di sekolah oleh praktisi pendidikan Setyono Djuandi Darsono, yang merupakan chairman Jababeka, kepada Presiden Joko Widodo agar pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah.
Saya sengaja memberikan tanda petik pada kata penghapusan karena kata itu ditafsirkan secara berbeda, baik oleh publik maupun Darsono sendiri. Publik memahami saran penghapusan secara tekstual, yakni mata pelajaran agama dieliminasi dari kurikulum pendidikan. Sementara Darsono, sebagaimana disampaikan oleh pihak desk komunikasi Jababeka Ardiansyah Djafar, menilai saran itu sebagai sebuah otokritik tentang masuknya paham radikal dalam pendidikan agama.
Jika dihubungkan dengan kontroversi "islamisasi" seragam sekolah di Gunung Kidul beberapa waktu lalu, perdebatan ini menemukan konteksnya. Demikian juga dengan beberapa hasil riset, seperti yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta, CISFORM UIN Yogyakarta, Wahid Fondation, dan LAKIP yang secara umum menemukan adanya kecenderungan radikalisme dalam pendidikan agama. Dalam konteks ini, kritik Darsono terhadap pendidikan agama adalah hal yang wajar dan tepat.
Tapi jika kecenderungan ini benar-benar didorong ke arah wacana penghapusan pendidikan agama, maka dorongan ini tidak tepat. Sebab pendidikan agama berbeda dengan radikalisme agama yang tumbuh belakangan ini.
Radikalisme paham keagamaan di Indonesia tumbuh bersama derasnya promosi Islam di ruang publik pasca-runtuhnya Orde Baru. Promosi ini cukup berwarna. Ada sebagian yang mengarah pada tuntutan formal agar Islam masuk secara struktural ke dalam sistem ketatanegaraan. Namun ada juga yang secara kreatif mempromosikan Islam melalui jalur kultural. Di tengah promosi ini, ada paham radikal yang menelusup baik ke dalam jalur struktural maupun kultural.
Pada jalur struktural muncul paham keagamaan seperti khilafah, negara Islam, dan perda syariat. Sementara di jalur kultural, muncul fitur-fitur radikalisme yang sebagian tumbuh menjadi budaya populer. Seperti cadar, celana tiga perempat, fenomena hijrah, jenggot, dan lain sebagainya.
Adapun pendidikan agama sendiri terlepas dari perkembangan promosi Islam di ruang publik tersebut. Pendidikan agama sudah eksis sejak sebelum kemerdekaan. Memang benar pada awalnya keberadaan pendidikan agama diawali dengan tarik ulur politik antara partai-partai berbasis agama dengan partai-partai nasionalis. Tapi tarik ulur itu berada dalam bingkai politik kebangsaan yang konstitusional.
Sejak awal, pendidikan agama memang didesain dalam bingkai kebangsaan. Meskipun pada saat bersamaan, perdebatan klasik antara paham agama dan sekuler selalu mengemuka dan mewarnai keberadaan pendidikan agama di sekolah. Tetapi tidak ada perdebatan yang mengarah pada penghapusan pendidikan agama dikarenakan alasan munculnya radikalisme paham keagamaan dalam pendidikan agama.
Fenomena Baru
Dengan demikian, radikalisme paham keagamaan dalam pendidikan agama merupakan fenomena baru yang terjadi seiring dengan promosi Islam di ruang publik. Terhadap persoalan ini, pemerintah tidak tinggal diam. Kementerian Agama, yang dalam hal ini memiliki kewenangan membina pendidikan agama melalui PP No 55 tahun 2007, sudah melakukan penguatan pendidikan agama dalam melawan infiltrasi radikalisme paham keagamaan.
Salah satu di antaranya --saya terlibat langsung di dalamnya-- adalah pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berorientasi Islam rahmatan lil alamin. Pembelajaran ini berbasis pada nilai-nilai demokrasi, keragaman, toleransi, dan humanisme. Bahkan untuk mendesain pengembangan ini, pada 2014 Kementerian Agama mengirim guru-guru agama berprestasi untuk mempelajari pendidikan agama di Inggris yang dinilai berhasil menjadi kohesi sosial bagi masyarakat Inggris yang plural.
Penguatan dan pengembangan pendidikan agama seperti ini menjadi pilihan yang lebih strategis dan produktif dari pada melemparkan opini tentang penghapusan pendidikan agama. Opini penghapusan pendidikan agama hanya akan mengulangi perdebatan klasik yang menguras energi dan emosi. Perlu ada kesadaran dari semua pihak untuk tidak masuk lagi ke wilayah ini. Ibaratnya, pendidikan agama itu harga mati, sama seperti NKRI. Jika ada masalah dengan pendidikan agama, selesaikan masalah itu tanpa memancing perdebatan klasik yang sebenarnya sudah berhenti dalam kesepakatan-kesepakatan di masa lalu.
Penguatan pendidikan agama sebagai kohesi sosial kehidupan kebangsaan bukan persoalan yang mudah. Ada sejumlah persoalan yang menjadi dinding tebal yang menghalangi pekerjaan ini. Salah satu persoalan yang cukup problematis adalah masalah epistemologi pengetahuan keagamaan yang masih merujuk pada pengetahuan keagamaan Islam klasik. Epistemologi ini berbasis pada pengetahuan Islam era kodifikasi yang dogmatis dan indoktrinatif. Situasi inilah yang menjadikan pendidikan agama rawan disusupi paham keagamaan yang radikal.
Salah satu di antaranya --saya terlibat langsung di dalamnya-- adalah pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berorientasi Islam rahmatan lil alamin. Pembelajaran ini berbasis pada nilai-nilai demokrasi, keragaman, toleransi, dan humanisme. Bahkan untuk mendesain pengembangan ini, pada 2014 Kementerian Agama mengirim guru-guru agama berprestasi untuk mempelajari pendidikan agama di Inggris yang dinilai berhasil menjadi kohesi sosial bagi masyarakat Inggris yang plural.
Penguatan dan pengembangan pendidikan agama seperti ini menjadi pilihan yang lebih strategis dan produktif dari pada melemparkan opini tentang penghapusan pendidikan agama. Opini penghapusan pendidikan agama hanya akan mengulangi perdebatan klasik yang menguras energi dan emosi. Perlu ada kesadaran dari semua pihak untuk tidak masuk lagi ke wilayah ini. Ibaratnya, pendidikan agama itu harga mati, sama seperti NKRI. Jika ada masalah dengan pendidikan agama, selesaikan masalah itu tanpa memancing perdebatan klasik yang sebenarnya sudah berhenti dalam kesepakatan-kesepakatan di masa lalu.
Penguatan pendidikan agama sebagai kohesi sosial kehidupan kebangsaan bukan persoalan yang mudah. Ada sejumlah persoalan yang menjadi dinding tebal yang menghalangi pekerjaan ini. Salah satu persoalan yang cukup problematis adalah masalah epistemologi pengetahuan keagamaan yang masih merujuk pada pengetahuan keagamaan Islam klasik. Epistemologi ini berbasis pada pengetahuan Islam era kodifikasi yang dogmatis dan indoktrinatif. Situasi inilah yang menjadikan pendidikan agama rawan disusupi paham keagamaan yang radikal.
Solusi Epistemologis
Perlu ada keberanian untuk keluar dari epistemologi klasik ini. Kementerian Agama perlu mencoba menerapkan kajian-kajian filsafat ilmu-ilmu keislaman kontemporer yang selama ini berhenti di ruang-ruang diskusi di kampus-kampus Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) ataupun sekadar menjadi artikel jurnal untuk mengumpulkan angka kredit. Misalnya pemikiran keislaman Al-Jabiri, Syahrur, Arkoun, Jaser Auda, dan para pemikir Islam kontemporer lainnya. Ide-ide dari para pemikir Islam kontemporer ini sangat potensial untuk digunakan sebagai fondasi epistemologis dalam mengembangkan kurikulum PAI.
Di samping keberanian, perlu kompetensi akademik dalam menurunkan kajian-kajian filsafat ini ke dalam wilayah praktis kurikulum pendidikan. Banyak akademisi di PTKI di bawah Kementerian Agama yang memiliki kompetensi ini. Hanya saja dibutuhkan peran birokrat yang mampu melakukan analisis kebutuhan dengan memberikan tugas ini kepada orang yang tepat. Butuh juga dukungan politis dari para legislator. Namun bukan dukungan yang bersifat politik dagang sapi, melainkan dukungan politik kepada Kementerian Agama dalam melakukan penguatan pendidikan agama.
Bagus Mustakim ; Instruktur Nasional pada Direktorat PAI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, sedang menempuh studi di Program Doktor Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Di samping keberanian, perlu kompetensi akademik dalam menurunkan kajian-kajian filsafat ini ke dalam wilayah praktis kurikulum pendidikan. Banyak akademisi di PTKI di bawah Kementerian Agama yang memiliki kompetensi ini. Hanya saja dibutuhkan peran birokrat yang mampu melakukan analisis kebutuhan dengan memberikan tugas ini kepada orang yang tepat. Butuh juga dukungan politis dari para legislator. Namun bukan dukungan yang bersifat politik dagang sapi, melainkan dukungan politik kepada Kementerian Agama dalam melakukan penguatan pendidikan agama.
Bagus Mustakim ; Instruktur Nasional pada Direktorat PAI Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, sedang menempuh studi di Program Doktor Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta