Jumat 12 Juli 2019, 12:55 WIB
Risiko Besar Legalisasi Poligami
Provinsi Aceh sebagai sebuah wilayah yang berstatus otonomi khusus kembali mewacanakan sebuah kebijakan yang bermuatan kontroversi. Salah satu rencana wacana kontroversi tersebut bersumber dari munculnya wacana pembentukan qanun (perda) terkait legalisasi poligami. Berdasarkan pernyataan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh di salah satu media, banyaknya pernikahan siri di masyarakat menjadi latar belakang legalisasi poligami di Aceh. Pernikahan siri dianggap memberikan dampak buruk karena banyak suami yang tidak bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.
Secara kasat mata, legalisasi poligami menjadi jalan instan dalam penyelesaian persoalan fenomena nikah siri. Tetapi tanpa disadari bahwa legalisasi poligami menjadi salah satu jalan keluar akan fenomena siri menjadi satu langkah yang sangat tidak tepat. Pengesahan kebijakan poligami akan memunculkan sebuah kondisi yang cocok dengan istilah "menyelesaikan masalah dengan efek samping memunculkan masalah baru yang lebih kompleks." Beberapa persoalan akan rencana dan dampak pendek maupun panjangnya dapat muncul tanpa terduga akan pengesahan wacana bermuatan kontroversi ini.
Problem pertama yang terlihat dari wacana kebijakan ini adalah ketika diwacanakan, kebijakan ini sudah mendapatkan penolakan dari beberapa pihak karena pengesahan kebijakan ini dirasa belum melalui pertimbangan yang matang. Seperti aktivis perempuan Aceh Azharul Husna yang menyatakan bahwa regulasi yang mengatur persoalan poligami dianggap tidak penting, mengingat bahwa dalam hukum Islam sudah diatur dan di Indonesia sendiri sudah tertuang dalam undang-undang perkawinan.
Begitupun Komnas Perempuan, mereka menolak wacana ini dengan alasan bahwa perda ini cenderung mengekspresikan cara pandang patriarkis, wacana ini hanya menguntungkan pihak laki-laki saja yang memiliki kebebasan untuk menikah lebih dari satu perempuan.
Jika ditelisik lebih dalam wacana pembentukan perda ini ternyata tidak dilatarbelakangi oleh data yang bersifat empiris. Wawancara salah satu media dengan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh menyatakan bahwa angka pernikahan siri di Aceh belum diketahui pasti --belum ada data secara empiris mengenai fenomena ini. Beberapa isi dari perda pun, yang membahas legalisasi poligami, tidak memberikan payung hukum pada perempuan, justru banyak pasal yang bersifat patriarkis.
Misalnya saja Pasal 48 yang menyatakan bahwa istri cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tidak dapat melahirkan keturunan merupakan persyaratan yang dapat melegalkan poligami. Pasal tersebut ketika diimplementasikan dapat berisiko semakin memperbesar peluang bagi seorang laki-laki untuk melakukan dominasi atas perempuan dalam sebuah rumah tangga.
Poligami nyatanya memang sebuah penampakan konstruksi kuasa laki-laki yang superior yang disertai dengan nafsu untuk menguasai perempuan. Menurut penuturan LBH-APIK bahwa faktor biologiseksual akan mempengaruhi hal-hal yang berunsur prestise dalam praktik poligami. Hal ini akan menimbulkan berbagai kekerasan kepada perempuan dalam perkawinan poligami.
Munculnya risiko negatif atas poligami didukung atas data riset dari Komnas Perempuan yang menyebutkan bahwa kekerasan seksual, fisik, psikis serta penelantaran ekonomi sering terjadi pada perempuan dalam perkawinan poligami di Indonesia. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh University of British Columbia pada 2012 menyatakan bahwa poligami menutup ruang egaliter bagi perempuan dalam sebuah rumah tangga. Potret buruk di atas memiliki risiko yang besar akan terjadi pada praktik poligami di Aceh.
Poligami secara tidak langsung akan berdampak pada lingkungan terdekat. Tanpa disadari jika anak akan menjadi pihak yang mendapatkan dampak buruk dalam perkawinan poligami, mengingat praktik poligami tidak mempertimbangkan persetujuan dari anak. Mengutip studi yang ditulis oleh Natalie Exposito dari Fakultas Hukum Universitas Seton Hall bahwa anak dalam keluarga poligami akan merasakan absennya sosok ayah. Kondisi ini juga berdampak pada psikologis diri seorang anak dengan memunculkan output berupa anak yang akan cenderung mengisolasi diri dari lingkungan sosial. Akan semakin kompleks dampak psikologis bagi seorang anak jika poligami memunculkan konflik pada orangtua mereka.
Permasalahan ini tampaknya harus menjadi perhatian pemerintah pusat untuk melakukan intervensi untuk memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah Aceh. Poin pertama yang menjadi pertimbangan adalah dalam mengambil kebijakan, pemerintah daerah seharusnya melakukan beberapa pertimbangan seperti melakukan survei pada keluarga yang melakukan praktik poligami sehingga pemerintah daerah mendapatkan gambaran yang empiris mengenai dampak dari perkawinan tersebut.
Lebih lanjut, pemerintah perlu melakukan sebuah riset mendalam untuk melihat kehidupan perkawinan poligami dari berbagai sisi, tidak hanya pada sisi suami atau ayah, melainkan pada anggota keluarga lainnya. Kajian yang dilakukan dapat memberikan gambaran referensi apakah wacana kebijakan layak diajukan pada ruang legislasi untuk disahkan menjadi kebijakan publik.
Poligami memang tidak diharamkan pada salah satu agama, yaitu Islam. Kita sebenarnya tidak dapat menolak secara telak poligami di negara maupun daerahnya. Tetapi ketika wacana poligami yang berada pada ranah abu-abu dilegitimasi dalam peraturan formal, tampaknya banyak pihak, tidak hanya negara tetapi masyarakat secara umum melihat dampak yang akan ditimbulkan. Salah satu yang paling ditakutkan banyak pihak adalah poligami menimbulkan dampak sosial yang buruk bagi lingkungan terdekatnya yaitu keluarga kecil mereka.
Sofia Al Farizi ; Pemerhati perempuan dan kesehatan ibu-anak