Senin 15 Juli 2019, 12:20 WIB
Rekonsiliasi Hanya Repetisi
Saat ini, perbincangan mengenai rekonsiliasi dan koalisi antara kubu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Maruf semakin kencang dibicarakan. Belum lagi dalam isu rekonsiliasi ada "prasyarat" yang bukan membicarakan substansi perjuangan dari masing-masing kubu hasil dari tuntutan rakyat, malah membicarakan aktor.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas aktor dalam rekonsiliasi. Tulisan ini hanya mengingatkan kita mengenai repetisi atau pengulangan. Yang mungkin pada akhirnya bisa menjadi satu refleksi bagi politik kita di Indonesia. Dengan memahami repetisi maka dengan sendiri kita akan mengerti bahwa apakah rekonsiliasi itu murni atau hanya sebagai lelucon.
Zizek (2014) dalam kisah banyolannya menceritakan soal fungsi repetisi. Pada era sosialis, seorang politisi sedang berkunjung ke satu negara. Saat melewati sebuah kota ia bertanya pada pemandunya, kota apa ini? Si pemandu menjawab, Baden-Baden. Politisi tersinggung dan mengatakan, "Aku bukan orang bego, kau tak perlu mengulangnya dua kali."
Padahal kota Baden-Baden itu memang benar ada di Jerman dekat dengan perbatasan Prancis. Hanya karena memang politisi tidak mengetahui. Mungkin karena berposisi sebagai politisi dan merasa dirinya diberitahu dua kali oleh pemandu, maka pada akhirnya ia marah. Sebenarnya repetisi hanya berlaku bagi orang yang belum paham secara jelas, sehingga ada pengulangan untuk memastikan bahwa apa itu sudah dimengerti.
Repetisi di atas mengingatkan kepada kita bahwa setiap peristiwa politik selalu bersifat diakronik. Repetisi dalam hal positif, yakni mengingatkan kepada orang untuk lebih jelas sifatnya sangat penting. Intinya repetisi tujuannya untuk mempertegaskan.
Kendati demikian, repetisi yang terjadi saat ini dalam isu rekonsiliasi politik memberi dua arti. Pertama, rakyat harus diajarkan berulang-ulang yang sebenarnya bagi rakyat memuakkan, atau kedua, pemandunya yang memiliki keterbatasan karena hanya mampu menyuguhkan peristiwa yang sama pasca-pemilu. Repetisi dari peristiwa politik menjadi destruktif, tak bermakna, dan dangkal.
Paradoks
Dalam konseptual, rekonsiliasi politik merupakan sesuatu upaya yang baik. Rekonsiliasi upaya untuk mencairkan suasana konflik yang terjadi pada tubuh sosial. Dan persis bagi dua kubu Jokowi-Maruf dan Prabowo-Sandi berupaya melakukan rekonsiliasi karena menurut dua kubu pilpres tersebut telah terjadi pembelahan dan polarisasi pada kehidupan masyarakat. Sehingga rekonsiliasi menjadi imperatif untuk dilaksanakan.
Sesungguhnya alasan di atas sangat paradoks. Dikatakan paradoks, karena konflik yang terjadi kemarin tidak lahir begitu saja. Selalu ada upaya dari para elite politik yang membuat formasi dengan rapi dalam membajak tokoh-tokoh agama, aliran tertentu, yang lahir dari bawah, lalu akhirnya dipertentangkan. Dengan kata lain, konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial tidak terlepas dari kontribusi elite.
Kekeliruan cara berpikir mengenai rekonsiliasi menandakan bahwa betapa para politisi kita tidak serius membahas negara dan bangsa ini ke depannya. Keindonesiaan menjadi dangkal, terbatas, miskin kreativitas. Tak ada satu diskursus yang epistemik mengenai politik; imajinasi politik hanya mentok dalam pikiran tukar tambah keuntungan.
Isu rekonsiliasi ini kalau dilacak-lacak terus sebenarnya ada perintah di belakangnya, yang pura-pura tidak dimunculkan. Sesungguhnya isu yang sebenarnya adalah koalisi. Dan, dalam koalisi kedua pihak saling mencari keuntungan, siapa mendapatkan apa. Dengan demikian rekonsiliasi hanya berpura-pura serta kamuflase politik.
Peristiwa politik yang kita saksikan setiap hari sebenarnya mengajarkan betapa politik dilumat habisan oleh para cukong. Dalam konteks ini, rakyat menjadi penanda yang ambivalen, kadang diperlukan kadang dibuang, kadang juga dijadikan alasan. Artinya, pada saat diperlukan untuk memilih, dipanggil melalui politik prosedur, yang ternyata akhirnya diselesaikan di belakang layar dengan bungkus rekonsiliasi --isinya koalisi dengan membagi jatah jabatan.
Selain itu rekonsiliasi berisikan koalisi yang dipamerkan saat ini hanya sebatas alasan demi kebaikan rakyat, dan menghilangkan konflik politik. Ternyata tidak ada format rekonsiliasi atau koalisi untuk membahas rakyat yang tertindas, tanah yang bermasalah, hutan yang sudah tereksploitasi, masyarakat adat yang haknya semakin hilang, buruh yang semakin tereksploitasi, petani yang lahannya semakin hilang, dan sebagainya.
Dengan kata lain, rekonsiliasi yang bermaksud koalisi menandakan repetisi politik yang dilakukan oleh para cukong. Sebab kita menyaksikan bukan hanya pasca-pilpres, namun setiap waktu.
Pengulangan Semu
Ada baiknya kita memeriksa kembali, apakah rakyat perlu repetisi untuk memahami politik atau memang elite politik hanya mampu melakukan pengulangan. Jujur saja, banalitas praktik kekuasaan politik yang ada pada akhirnya kita kembali ke banyolan repetisi di atas. Seorang politisi sosialis merupakan politisi yang memiliki superior secara ideologis. Dan, ketika pemandu memberitahunya berulang-ulang, baginya itu adalah bentuk olokan betapa goblok dirinya. Sehingga dia marah, walaupun intinya dia tidak tahu kalau kemarahannya itu salah.
Kendati repetisi sebagai kisah memuakkan dalam perpolitikan kita, namun kita tetap memiliki sikap dengan keyakinan dan harapan. Kita menjadi Indonesia karena politik. Jadi hanya dengan jalan politiklah keyakinan itu bisa diartikulasikan. Sebab hanya dengan keyakinan politik, peristiwa akan muncul sendirinya. Peristiwa itu sebagai sesuatu hal yang dirindukan dan menjadi impian bersama.
Peristiwa muncul, menurut Badiou (2005), karena setiap situasi kehidupan selalu ada kesenjangan antara kehadiran dan keterwakilan lalu menumpuk dan menjadi akumulasi. Elemen ini yang tidak terhitung oleh ruang kehidupan sehingga peristiwa lahir dari elemen yang tak terhitung itu. Namun yang tak terhitung itu selalu ada kaitannya dengan tumpukan akumulasi dari kesenjangan.
Dengan adanya repetisi kejadian politik yang memuakan, maka kesetiaan diuji dalam diri rakyat. Kesetiaan selalu satu kesatuan dengan peristiwa dan situasi. Sehingga pada akhirnya publik akan menghadirkan satu peristiwa yang membuat tatanan besar tidak bisa menolaknya. Politik selalu menjanjikan hal-hal yang melampaui itu. Dalam format demokrasi, ruang itu selalu diberikan.
Kembali ke banyolan Zizek, dalam situasi kemarahan yang salah dari politisi sosialis, kita tak tahu kalau pemandunya menjatuhkan politisi pada perjalanan selanjutnya. Pada saat itu berakhirlah kehidupan politisi itu. Kemarahan karena kebodohan pun dengan sendirinya hilang.
Dengan demikian, dalam soal rekonsiliasi hanya pengulangan semu, karena nyatanya koalisi barter kepentingan, semua itu akan menumpuk dalam memori publik. Dan, saya punya satu keyakinan bahwa politik pada satu waktu akan memastikan bahwa lawanlah kemarahan itu dengan kemarahan kebenaran. Politik transformatif dan progresif akan muncul, itulah kesetiaan politik. ***